Rinai

36 5 0
                                    

Aku memperhatikannya dari tepi pantai. Memandangi sosoknya dari jauh. Kehadirannya di pantai yang selalu sepi kecuali ketika para nelayan baru pulang melaut ini, mendadak membuat pantai ini jadi tak se-sepi dan se-membosankan biasanya--setidaknya bagiku.

Walaupun yang dia lakukan hanya duduk di sudut pantai yang sama setiap sorenya--yang kira-kira berjarak 20 meter dari tepi pantai--sambil sesekali menulis sesuatu entah apa di scrap book yang selalu dibawanya.

Beberapa bulan lalu dia datang ke pulau kecil ini, tapi baru beberapa minggu belakangan ia sering ke pantai setiap sorenya. Kedatangannya itu seperti bidadari dari kahyangan yang tiba-tiba jatuh dan nyasar ke pantai ini. Menjadikan di pantai ini ada hal yang lebih indah untuk dipandang selain laut dan sand dollar-nya.

Selama ini aku hanya berani menatapnya dari tepi pantai. Alih-alih mengumpilkan sand dollar yang akan kujadikan craft untuk dijual, aku malah sering curi-curi pandang ke arahnya. Dari jarak sejauh ini, aku sudah bisa melihat dengan cukup jelas wajah orientalnya yang cantik, walau tanpa polesan. Juga ekspresi seriusnya saat sedang menulis di scrap book yang terkadang terlihat lucu di mataku.

Namanya Rinai. Aku tahu karena sering mendengar namanya diucapkan oleh orang-orang sekitar. Sejak kedatangannya beberapa bulan lalu, gadis itu memang selalu jadi pembicaraan. Dan macam-macam isi pembicaraannya itu. Kebanyakan dari mereka merasa simpati padanya, tapi tak sedikit pula yang menyebarkan berita yang kurang sedap tentangnya. Entah itu benar atau tidak.

Keluarganya abis mengalami kejadian nahas. Gak jelas kejadiannya gimana. Dia satu-satunya yang selamat. Tapi gara-gara kejadian itu dia jadi bisu-tuli.

Kasihan ya.. cantik padahal anaknya. Untung dia gak depresi sampe bunuh diri.

Semua keluarganya meninggal. Dia gak punya apa-apa lagi. Bersyukur sekali ada Bu Risma yang membawanya ke sini, beliau satu-satunya keluarga jauh yang tersisa.

Tapi denger-denger sih, orang tuanya itu pake cara gak bener buat ngerintis usaha mereka. Gak jujur gitu lah. Banyak orang yang gak suka sama mereka.

Gak lama sebelum mereka kena musibah besar itu, usaha mereka udah bangkrut karena semua pelanggan dan relasinya udah gak ada yang percaya lagi.

Mungkin karma kali ya.. Kasihan gadis itu, dia jadi harus menanggung semuanya sendiri. Dia udah gak punya apa-apa lagi.

Kira-kira begitu lah omongan orang-orang yang kudengar tentang Rinai. Memang tidak jelas informasi tentang musibah apa yang menimpanya sampai dia kehilangan keluarganya dan menjadi bisu-tuli seperti sekarang, kecuali Bu Risma--budenya. Tapi aku takkan menelan bulat-bulat apa yang dikatakan orang-orang itu. Disamping benar atau tidaknya, aku percaya kalau dia orang yang baik.

"Rhean, pulangnya jangan kesorean!"teriak Bapak yang sedang memerintahkan anak buahnya untuk mengangkuti sisa-sisa hasil tangkapan melaut kali ini.

Biasanya keluargaku akan mengadakan makan malam kecil-kecilan di rumah jika Bapak baru pulang melaut. Seperti sebagai ungkapan rasa syukur karena beliau pulang dengan selamat. Mungkin beberapa minggu lagi mereka akan kembali pergi melaut.

"Iya, Pak,"sahutku.

Kembali ke Rinai, setiap pagi aku juga sering melihatnya menitipkan kue biatannya di warungnya Bi Enah untuk dijualkan. Lalu biasanya sore sebelum ke pantai, dia akan mengambil uang hasil penjualannya.

Entah sejak kapan aku jadi suka memperhatikannya seperti ini. Dia cantik, dan tak bisa kupungkiri, aku terpikat dengan itu. Dia juga gadis yang baik dan ramah, tapi karena berita miring yang tidak jelas kebenarannya itu saja yang membuatnya selalu jadi bahan omongan.

Guardian...??Where stories live. Discover now