6

5.3K 693 240
                                    

"Kita pulang."

Genggaman tangan Zaid dilepas, dan Nusaiba mengabaikan panggilan cemas Zaid dengan menerobos kerumunan pembeli yang berlalu-lalang. Ia tak peduli pembeli lain marah-marah karena ia tabrak tanpa meminta maaf.

Ia sedang kesal, sungguh.

Tapi, ia sendiri tak tahu kesal pada siapa dan dengan alasan apa? Ia bahkan belum mendengar penjelasan Zaid mengenai perempuan yang bernama Olivia itu. Apakah dia mantan kekasihnya atau mungkin saudaranya?

Menyadari ketidakdewasaannya, Nusaiba berhenti melangkah. Ia memukul pelan kepalanya, karena seolah menunjukkan kepada Zaid bahwa ia tengah cemburu buta.

"Aku kenapa, sih?" kesalnya pada diri sendiri. "Ngapain kamu seolah menunjukkan pada Zaid kalau kamu itu sedang cemburu, Cha? Ah. Dasar Nusaiba dodol."

"Cha. Tunggu dulu."

Menghela napas kesal, Nusaiba memutar tubuh. "Apa?"

"Kamu kenapa buru-buru?"

"Buru-buru apanya? Kamu nggak ngerasa matahari makin terik? Panas, tau." Nusaiba mencoba berdalih. Ia pura-pura mengipasi wajahnya menggunakan telapak tangan, demi membuat Zaid percaya pada ucapannya.

"Ya, seenggaknya jangan juga asal nabrak orang lain. Tadi, loh, kamu nabrak nenek-nenek. Kasian, sampe gigi palsunya kabur ntah ke mana."

"Iyakah?" Nusaiba menggaruk pelipisnya yang tak gatal, kemudian meringis merasa bersalah. "Aku nggak sadar."

"Neneknya udah nggak apa-apa, kok. Gigi palsunya udah ketemu tadi," jawab Zaid. "Sekarang ayo kita pulang. Kasian Zidan ditinggal lama-lama." Zaid kembali menggenggam pergelangan tangan Nusaiba, lantas melangkah bersama menuju parkiran.

Sepanjang perjalanan pulang, dengan mengendarai motor matic Yamata milik Zaid, keduanya tak saling bicara. Beberapa kali Nusaiba hampir terjungkal karena enggan berpegangan ke pinggang Zaid. Pria itu tampaknya juga gagal memahami perasaan yang tengah melanda sang istri saat ini. Ia hanya diam dengan pikiran berkecamuk.

"Olivia"

Sosok itu masih setia menghantuinya walau enam tahun telah berlalu. Walau wanita itu mengenakan masker, tetap saja Zaid bisa mengenalinya. Mata itu ... Sama seperti mata Zidan.

Banyak pertanyaan yang berkelibat di kepalanya. Urusannya dengan Olivia belum berakhir. Ia harus mencari tahu alasan wanita itu pergi meninggalkannya dalam keadaan sekarat, dan membiarkannya mengurus Zidan seorang diri. Setidaknya, Olivia harus memberinya penjelasan.

Tinn! Tiinn!

"Iiih."

"Aduh. Kenapa, Cha?"

Motor yang dikendarai Zaid hampir saja oleng ketika Nusaiba tiba-tiba mencubit pinggangnya kuat. Jika Nusaiba tak melakukan itu, mungkin mereka menabrak pengendara lain atau mungkin mereka yang akan tertabrak.

"Bawa motor itu jangan melamun. Udah nggak sayang nyawa, ya? Kalau nggak sayang nyawa jangan ngajak-ngajak orang. Aku masih muda dan banyak keinginanku yang belum kesampaian, tau," marah Nusaiba.

"Maaf, saya nggak fokus."

"Nggak fokus karena mikirin apa? Ketemu pacar lama atau gimana?"

"Eh? Bu ... Bukan, Cha." Zaid tergagap.

"Ah, pintar berdalih. Jangan pikir aku nggak tau kamu liat apa ya tadi di pasar."

"Iya. Kamu pasti tau aku liat apa tadi."

Nusaiba spontan menampar punggung Zaid. "Tuh, kan. Siapa dia?"

Terkekeh, Zaid menjawab, "Tukang jagal sapi, tukang sayur, Amoy jual kue, tauke jual ikan asin, penjaga keamanan, tukang parkir, dan tentunya istri saya yang cantik."

Nusaiba (Tamat)Where stories live. Discover now