2

5.3K 661 190
                                    

Abah Yusuf menawarkan putrinya untuk dinikahi Zaid bukan semata karena keegoisan beliau. Bukan berarti karena Zaid pria pekerja keras, banyak harta, dan merupakan donatur tetap di Darul Ulum, lantas Abah ingin menjadikan pria itu sebagai menantu.

Tidak. Abah tidak selicik itu.

Zaid pernah bercerita pada Abah mengenai kisah hidupnya yang kelam. Tak dipungkiri, Abah juga sempat merasa kesal sekaligus iba akan perbuatan hina yang pria 31 tahun tersebut lakukan di masa lalu. Penyesalan yang Zaid rasakan mungkin tak dapat mengubah apa pun, tapi pria itu cukup beruntung karena Allah masih memberinya kesempatan untuk bertaubat.

"Bagaimana bisa, anak asuhan pondok sepertimu itu bisa terjerumus ke lembah maksiat, Zai? Ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah kamu habiskan di pondok An-Najiah milik Abi-mu. Lantas, kenapa bisa kamu terjun ke lembah hitam itu?" tanya Abah tak habis pikir kala itu.

Menunduk dalam, Zaid merasa sangat hina di hadapan Abah. Namun, ia lebih hina lagi di hadapan Allah. "Karena seorang wanita, Bah." Pria itu menitikkan air mata. Jelas ada terselip ribuan penyesalan bahkan tak terhingga jika mengingat kemaksiatan 6 tahun lalu yang pernah dilakukannya. "Jika bisa, saya nggak mau mengungkit atau mengingat masa kelam itu." Air matanya diseka. Abah ditatap dengan mata sembabnya, "Tapi, setiap melihat foto Abi, setiap mengunjungi makam Abi, dan setiap melihat ... Hhh." Zaid tak sanggup menyebut sosok terakhir yang sangat berbekas dan menghantui dirinya sepanjang masa. "Ingin rasanya saya mengubur diri sendiri, jika saja dosa di masa lalu itu bisa diampunkan dengan cara demikian."

"Astaghfirullah, Zai." Abah menepuk pelan pundak Zaid, mencoba menenangkan pria itu agar sedikit lebih tenang. Pikiran pria itu sedikit tak stabil. "Jangan berpikir untuk melakukan sesuatu yang sia-sia seperti itu, Nak. Allah mengingatkanmu akan masa kelammu itu supaya kamu selalu sadar dan tak hentinya memohon ampun pada-Nya."

Hening sejenak. Abah memberi kesempatan pada Zaid untuk menenangkan diri dan melanjutkan ceritanya. "Iya, Bah. Saya sadar itu. Jika saja Allah tidak menegur saya melalui kecelakaan maut itu hingga koma, mungkin sampai saat ini saya masih berada dalam masa kegelapan dan terus membuat Mama menitikkan air mata tanpa henti." Air matanya kembali diseka. Menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Perasaannya sedikit lega ketika ia menceritakan masalah tersebut kepada Abah Yusuf. "Bangun dari koma, saya langsung bertobat, Bah. Saya kembali mendalami ilmu agama saya, belajar langsung ke sahabat Abah yang berada di Mesir. Setelah kecelakaan itu, saya bertekad untuk menjadi seorang hafidz. Itu merupakan cita-cita Almarhum Abi saya semasa hidup beliau. Dan baru bisa saya lakukan setelah membuatnya berhenti bernapas." Zaid kembali menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Mengingat mendiang sang ayah, Zaid merasa sangat terpukul.

"Jadikan masa lalu sebagai pelajaran, Nak. Ambil nilai positifnya dan buang yang jeleknya. Kita semua tak luput dari dosa, maka bertobatlah jika masih diberi kesempatan oleh Allah untuk bertobat. Kita di dunia ini hanya sementara, kekal hanya di akhirat." Zaid mengangguk. "Kita lihat bagaimana keadaan dunia ini sekarang. Jika Allah berkehendak, virus kecil, bahkan lebih kecil dari debu itu tak mampu membuat manusia berkutik. Dalam sekejap, ribuan nyawa melayang. Itu adalah teguran dari Allah bahwa tak ada yang mampu menandingi kekuasaan-Nya. Untuk itu, kita masih beruntung, diberi Allah kesempatan untuk terus memohon ampun dan bertaubat sebelum akhirnya nanti nyawa kita dicabut. Sesungguhnya hidup ini hanya pinjaman, suatu saat akan diambil kembali oleh Allah." Abah menatap Zaid lekat, "Abah bangga sama kamu, Nak. Jadilah sosok yang lebih baik untuk keluargamu nanti. Kamu anak satu-satunya bagi Abi dan Mama-mu. Jika bukan kamu, siapa lagi yang akan mendoakan mereka ketika mereka telah meninggal? Sesungguhnya, doa anak sholeh akan menyelamatkan orangtua kita di akhirat kelak."

"Iya, Bah. In Syaa Allah saya bisa menjadi pribadi baik seperti yang Abi saya inginkan. Terima kasih sama Abah karena Abah sudah bersedia mendengarkan curhatan saya. Bahkan Abah nggak menyudutkan saya sama sekali. Makasih, Bah."

Nusaiba (Tamat)Where stories live. Discover now