ADENA

151 22 3
                                    

Selama hidupnya, Adena tidak percaya yang namanya hantu. Karena itulah, saat proyek mereka berikutnya ditetapkan tentang rumah angker di Jalan Sudirman, dia tidak berkutik. Bagaimana cara seorang yang tak percaya hantu bisa membuat orang lain percaya?

"Kamu ke lokasi aja sama paranormal gitu, biar ngerasain sendiri." Begitulah usul Bagas, editornya Adena, ketika seminggu ini artikelnya bolak-balik dikoreksi karena kurang menarik.

Karenanya malam itu Adena berada di sini, di rumah yang dipermasalahkan. Tak peduli gelap di sekitar, dia terus menulis apa yang dilihat oleh Ki Tubondo—paranormal yang menemani—di buku kecilnya.

"Bagaimana Dek Adena, berguna untuk artikelnya?" tanya Ki Tubondo.

"Hmm, karena nggak ngerasain sendiri, tetap bingung mau menulis apa," jawab Adena.

"Dek Adena tidak merasakan apa-apa di tempat ini?"

"Gak, biasa aja."

Ki Tubondo mengusap janggutnya. Padahal, mereka sekarang di pusat terkuatnya. Harusnya orang tanpa indra keenam pun bisa merasakan ada yang aneh di tempat itu. Ki Tubondo saja sudah tidak tahan berdiri di ruangan itu.

"Saya bisa buka mata batin kamu kalau mau," tawar Ki Tubondo. Adena menimbang-nimbang tawaran itu sebentar sebelum akhirnya mengiyakan.

Ki Tubondo meletakkan telapak tangannya di dahi Adena, kemudian sambil berkomat kamit perlahan turun hingga menutup matanya.

"Buka matamu perlahan," ujarnya.

Disuruh buka mata secara perlahan, dia justru buru-buru buka matanya dan celingak-celinguk sekitar. Sedetik kemudian dia menyesal.

Tepat di depan Adena, berdiri bayangan hitam yang tinggi besar. Badannya terlalu tinggi hingga harus berjongkok, bahkan setelah berjongkok pun kepalanya masih harus ditekuk lagi karena menyentuh langit-langit. Mulutnya menganga lebar seperti akan menelan Adena bulat-bulat. Taringnya tumbuh hingga ke dalam rongga mulutnya. Yang paling mengerikan adalah saat mata Adena bertemu pandang dengan mata putihnya, sosok besar itu tersenyum lebar.

"Kyaaaaaa!!!"

ooOOoo

"Gimana Adena, udah lancar nulisnya?" Yang datang menghampiri Adena di mejanya itu adalah Bagas. Langsung saja dia mendapat tatapan tajam penuh dendam.

"Terima kasih atas sarannya kemarin, aku jadi tambah benci Ka Bagas," ucap Adena ketus.

"Siapa sangka kamunya mau aja." Bagas merasa sedikit bersalah saat itu.

"Ya mau gimana lagi, namanya kerja, Ka." Adena kembali mengetukkan jemarinya di tombol keyboard. "Trus, yang kemarin bilang mau nemanin ke mana, yah?" Adena membuka topik baru.

"Ah, itu ... sorry tiba-tiba maag-ku kambuh, ini makanya aku mau pulang cepet buat periksa."

"Halah alesan." Adena mencibir.

Bagas berjalan mendekati Adena sambil mengintip di balik punggungnya, memperhatikan layar laptop Adena. Tulisan yang seminggu lalu hanya seperti laporan ilmiah, kini mulai memancarkan emosi yang dapat dirasakan. Bagas tersenyum dengan perkembangan ini.

"Apa sih senyum-senyum gak jelas? Mau pulang kan katanya? Hush! Hush!" usir Adena.

"Iya deh, iya. Besok deadline jangan lupa loh."

"Bawel ih, makanya ini lagi ngebut nulisnya."

Adena kembali fokus pada tulisannya. Masih tidak bisa dia lupakan bagaimana dia berlari terbirit-birit meninggalkan rumah itu saking ketakutannya. Ini kali pertamanya dia mau tidak mau mengakui bahwa hantu itu benar-benar ada.

Meskipun kini dia memiliki bahan yang cukup menarik untuk dimasukkan ke dalam artikelnya, masalah baru mencuat. Adena tidak tau caranya menyampaikan perasaannya waktu itu. Kalimat biasa tidak mampu menggambarkan ketakutan yang dirasakannya. Karena itulah, ketika langit menggelap dan para karyawan lain berangsur pulang, dia masih belum bisa menyelesaikan artikelnya.

Kepalanya sudah berasap. Secara teknis, tulisannya sudah selesai, tapi masih ada rasa ragu. Apa benar artikel seperti ini yang dia ingin tuliskan?

Di tengah sedang serius berpikir itulah, tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan. Adena pun tersentak kaget dari kursinya. Suara selop sepatu yang berhantaman dengan lantai di luar sana membangkitkan sisi paranoidnya.

Di pikirannya jika ada orang datang malam-malam ke sini hanya dua kemungkinan. Ada pegawai yang kelupaan sesuatu, atau ada maling. Namun, setelah merasakan pengalaman melihat makhluk gaib kemarin malam, kemungkinan ketiga pun terlahir.

Adena meneguk ludahnya pelan. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Ketika pintu terbuka dan menampakkan wajah Bagas, Adena menghela lega.

"Loh Adena, belum pulang?" tanya Bagas kebingungan.

"I-iya nih Ka, lembur."

Bagas melirik di sekitar Adena. Tidak ada siapa pun selain Adena di ruangan itu. "Padahal kamu bisa aja loh selesaikan di rumah, gak harus kerja sampai malam sendirian gini."

"Gak apa Kak, di sini lebih fokus nulisnya." Adena kembali menghadap laptop, tapi kemudian dia berpaling ke Bagas lagi. "Trus Ka Bagas ngapain ke kantor lagi?"

"Mau ngambil barang yang ketinggalan," jawabnya langsung seperti dugaan pertama Adena. Pembicaraan mereka berdua pun terhenti di sana. "Mau kubuatin kopi gak?" tawar Bagas.

"Gak usah Ka, udah selesai kok."

"Kalau gitu kopinya buat nemani aku ngoreksi tulisanmu."

Adena terdiam ragu harus membalas apa. Di satu sisi, dia tidak mau merepotkan malam-malam begini, tapi di sisi lain dia memang perlu pendapat.

"Hmm, boleh deh. Tapi banyakin gulanya."

Lima menit kemudian, Bagas kembali dengan dua cangkir kopi di tangannya. Secangkir dia serahkan ke Adena, secangkir lagi dia sesap sendiri. Dengan serius Bagas menggulirkan halaman hingga paling bawah. Adena menatap Bagas dengan perasaan cemas.

"Sudah bagus kok."

"Masa sih, Ka? Aku malah merasa ada yang kurang," balas Adena tidak puas dengan tanggapan Bagas.

"Nggak kok, segini juga sudah bagus. Lagian kasian kamunya pulang kemalaman."

Adena tertunduk. Melihat ekspresi tidak puasnya Adena, Bagas pun berkata, "Kamu itu kalau kerja serius banget, yah."

"Kalau kerja kan memang harus serius," balas Adena.

"Serius itu gak salah, tapi jangan lupa dinikmati. Kalau kamu gak bisa menikmati kerjaanmu, lama-lama malah bikin sengsara."

Perkataan Bagas barusan mengetuk sesuatu di kepala Adena. Dia pun mengambil alih laptop sebentar kemudian mengedit sedikit bagian penutupnya. Bagas tersenyum melihat komentar tambahan Adena tentang kepuasannya melihat hantu pertama kali. Langsung saja tulisan final itu mendapat oke.

Setelahnya, mereka pun berberes untuk pulang. Di tengah berberes, hp Adena berbunyi keras mengagetkannya. Tanpa jeda dia angkat panggilan itu.

[Halo Adena, kata bos kamu masih ngantor?] Suara itu tidak asing. Sebelum menjawab, Adena memeriksa layar hp-nya memastikan siapa yang bicara.

"Ka Bagas?"

[Iya, ini Bagas. Kalau masih di kantor bisa bawakan kunci rumahku gak? Ketinggalan di meja.]

Adena melirik sekitar dan mendapati 'Bagas' yang dari tadi bersamanya sudah tidak ada.

"Ka Bagas sekarang di mana?" tanya Adena dengan suara bergetar.

[Di depan rumahku, gak bisa masuk nih, tolong yah.]

Air mata menumpuk di sudut mata Adena. "Ma-maaf Ka, ambil sendiri aja yah. Aku mau pulang."

GenFest 2020: Chicklit x HorrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang