Pre-wedding Catastrophe

228 29 6
                                    

Mengurusi pernikahan Andre dan Celia adalah cobaan terberat dalam 8 tahun karirku sebagai wedding planner. They're good people though. Bukan termasuk pasangan yang hobi memperdebatkan warna kartu undangan, maupun jenis bunga yang akan dijadikan pajangan. Bukan juga tipe yang banyak maunya, yang sering kali menuntut konsep pernikahan yang bikin sakit kepala.

Dan di sanalah letak ketakaburanku.

Aku terlanjur beranggapan bahwa akan sangat mudah bekerja sama dengan keduanya. Kesan pertama yang baik itu memudar seiring dengan semakin banyaknya waktu yang kuhabiskan untuk merancang pernikahan mereka.

Kesialan datang bertubi-tubi sejak si calon mempelai pria nyaris hanyut terseret ombak saat pengambilan foto pre-wedding. Sebagai orang yang mengawasi jalannya pemotretan, aku otomatis dijadikan kambing hitam oleh pihak keluarga, dan diancam akan dilaporkan ke pihak berwajib atas tuduhan kelalaian yang membahayakan nyawa. That makes no sense! Seolah akulah dalang di balik ombak besar yang tiba-tiba menerjang Andre dan menyeretnya ke tengah lautan.

"Mbak Sabrina, kemarin aku pesan anggrek, bukan lavender."

Gadis di hadapanku menyela laporan yang kubeberkan sejak 5 menit yang lalu. Kualihkan pandangan dari tablet dan memberi gadis itu tatapan heran.

"Kemarin kamu bilang lavender, Cel."

Kucek lagi layar tablet. Di sana jelas-jelas terpampang kalimat 'Lavender 200 tangkai' diiringi simbol centang di sebelahnya, pertanda properti yang bersangkutan sudah kupesan ke vendor yang bersangkutan.

"Aku enggak mungkin pakai lavender." Celia tertunduk. "Itu favoritnya Rendy."

Ah, Rendy. Tentu saja aku masih ingat pria yang pernah menjadi calon suaminya Celia. Tinggi, berambut ikal, dan ganteng. Mereka berpisah ketika persiapan pernikahan sudah mencapai 80 persen dan butuh waktu 2 tahun sampai akhirnya Celia kembali menemuiku bersama calon suaminya yang baru.

Ya, beberapa orang memang seberuntung itu. Lepas dari satu lelaki tampan, kemudian jatuh ke pelukan lelaki tampan lainnya.

Kembali ke masalah lavender. Sudah banyak yang mengakui bahwa "ketelitian" merupakan atribut milikku yang paling mengagumkan. Aku yakin tidak ada kesalahan pencatatan. Kalau di tabletku tertera 'lavender', that's it then.

Namun, melihat kegalauan yang menghinggapi wajah klienku, aku memutuskan untuk tidak membantah. Tidak bisa dipungkiri, kami sama-sama capek. Undangan yang salah cetak, beberapa file foto yang rusak, dan ratusan cendera mata yang cacat, sudah cukup untuk membuat kami kelabakan selama sebulan terakhir.

"I'll do something."

H-2 pernikahan dan pesanan bunga dekorasi diubah secara mendadak.

Pihak vendor—yang terlanjur memesan 200 tangkai lavender—sempat protes karenapesanan diubah di detik-detik terakhir. Kesialan selanjutnya muncul tidak lama kemudian. Selang beberapa jam setelah perundingan alot masalah bunga, telepon datang dari perancang gaun pengantin pesanan Celia.

Guess what?

Gaunnya robek di bagian punggung.

"Mbak, no matter what," Aku segera menepikan mobil, tidak mau ambil risiko mengemudi dalam keadaan emosi. "besok gaun itu sudah harus kembali seperti semula!"

Sosok ibunya Andre—sang ratu sosialita—mulai menari-nari di pikiranku. Bagaimana kalau setelah ini beliau menyebarkan berita ketidakbecusanku pada teman-teman arisannya yang bejibun? Imbasnya akan sangat besar. Bisnis wedding planner-ku bisa hancur dan orang-orang yang bekerja denganku juga bakalan terkena dampaknya.

Telepon ditutup setelah si designer mengucapkan setuju. Nada suaranya terdengar berat, jelas sekali keberatan karena mesti bekerja semalaman. Rasanya agak tidak enak karena memerintahnya begitu, tapi apa lagi yang bisa kulakukan?

Terdengar suara ketukan pada kaca mobil, membuatku langsung memutar kepala ke samping. Nihil. Tidak ada seorang pun di luar sana. Hanya jalanan sepi yang diterangi lampu bercahaya remang. Apa salah dengar? Di tengah kebingunganku, sekelebat bayangan hitam melintas cepat di depan mobil. Aku refleks menoleh, berharap menemukan sosok pejalan kaki yang sedang menyeberang jalan. Sekali lagi, tidak ada apa pun.

Kutelungkupkan kepala ke setir mobil dan menghela napas. Mungkin stres yang menumpuk berhasil membuat otakku jadi tidak beres. Paris in Rain-nya Lauv masih mengalun lewat speaker mobil. Sayangnya, musik lembut itu tidak lagi ampuh untuk menenangkan pikiranku. Padahal hanya satu pernikahan—aku pernah mengurus sampai tiga pernikahan sekaligus—tapi lelahnya minta ampun.

Setidaknya tinggal dua hari lagi.

***

­It's the D-day!

Dan sebuah lampu hias besar yang menggantung di aula memilih untuk jatuh menimpaku hari itu juga.

Pikiranku masih di awang-awang ketika seseorang menarik lenganku tiba-tiba. Sepersekian detik setelahnya, terdengar suara memekakkan seolah ada puluhan piring yang dipecahkan bersamaan. Suasana langsung berubah hiruk-pikuk.

"Bagaimana ini? Akadnya sejam lagi!"

"Panggilkan pihak keluarga!"

"Mbak Sabrina baik-baik saja?"

Aku mengangguk. Tatapanku masih terpaku pada kekacauan di tempatku berdiri beberapa detik yang lalu. Debaran jantungku bertalu-talu dan aku hanya bisa membisu. Seandainya tadi tidak ada yang menarikku ....

"Kaki Mbak berdarah!"

Teguran itu membuatku menunduk. Ada luka di bagian tumit.

"Aku ke toilet sebentar." Untunglah hanya luka kecil. Sepertinya tergores pecahan lampu kristal. "Tolong urus ini."

Tidak ada jalan lain. Jadwal acara terpaksa dimundurkan.

Aku berusaha membersihkan lukaku dengan cepat. Suasana aula sangat kacau ketika kutinggalkan. Jangan sampai setelah ini aku lagi yang disalahkan.

"Bertahanlah!" Kutatap pantulan wajahku di cermin. "Sedikit lagi selesai!"

Baru saja selesai memotivasi diri sendiri, lampu toilet mati mendadak. Berusaha untuk tetap tenang, tanganku refleks meraba-raba, mencoba menemukan tas dan mengambil ponsel. Namun, yang kudapati hanyalah udara kosong. Dan untuk kedua kalinya hari ini, aku mendengar suara kaca pecah. Tidak seheboh tadi, tapi diikuti oleh aroma manis yang familier.

Lampu toilet kembali menyala, membuatku menghembuskan napas lega. Hal pertama yang tertangkap pandangan adalah tas make-up yang isinya berhamburan. Aku terkesiap ketika melihat botol Jo Malone kesayanganku tercerai-berai di lantai dan menumpahkan seluruh isinya. Sumpah, buatku itu lebih mengerikan dari mati lampu.

Sayangnya aku salah. Parfum mahal yang pecah sama sekali tidak ada apa-apanya.

Pada cermin di hadapanku, ditulis besar-besar dengan warna merah tua—yang kucurigai berasal dari lipstik punyaku yang sekarang tergeletak di wastafel—adalah sederet kalimat yang sontak membuat tanganku terangkat menutupi mulut.

HENTIKAN PERNIKAHAN INI ATAU MATI

"R"

Aku ingin berteriak, tapi lidahku kelu. Bahkan untuk sekedar menjauh, kakiku sudah tidak mampu. Satu-satunya lampu di toilet mulai berkedip-kedip, sedetik terang, sejurus kemudian kembali gelap gulita. Lewat pantulan kaca, aku melihat bayangan. Berdiri tepat di belakangku adalah sesosok pria tinggi berambut ikal. Di tengah pencahayaan yang tidak stabil, tampangnya tidak begitu jelas. Namun, aku menyadari senyum yang menghiasi separuh mukanya yang hancur dan memerah oleh darah.

Sosok itu ... aku mengenalinya.

"R".

Rendy.

Calon suaminya Celia yang 2 tahun lalu tewas karena kecelakaan.

GenFest 2020: Chicklit x HorrorWhere stories live. Discover now