BLACKENED

218 32 5
                                    

Fairuz Magdalene menyukai warna hitam. Blus hitam. Rok span hitam. High heels hitam. Tas Prada hitam. Sampai kuteks hitam. Kalau bisa, dia mungkin ingin menghitamkan giginya sekalian.

Fai juga menyenangi riasan smokey eyes yang mempertajam matanya, membuat sorotnya begitu menusuk pada sepasang bola matanya yang hitam legam, sampai-sampai lawan bicaranya seolah mampu melihat pantulan wajah mereka sendiri saat menatap wanita itu dari dekat.

Kadang Fai membawa payung hitam, membuat penampilannya makin eksentrik.

Namun, bukan semata penampilan yang membuat Fai tersohor. Wanita itu dua tahun lagi kepala tiga, tetapi belum berjodoh juga dengan seorang pun pria. Kabar angin berkata, semua pacarnya takut pada Fai—kencan pertama, dan sang pria lari tunggang langgang, lalu trauma berkepanjangan sampai pulang kampung dan tak kawin-kawin lagi.

"Tentu kabar angin tak bisa dianggap serius, benar, Ms. Magdalene?" Mr. Cain, seraya menelaah laporan yang diserahkan Fai pagi itu, seolah menanggapi sambil lalu. Namun, sesekali matanya mencuri lihat pada wanita di seberang mejanya. "Paling logis menganggap bahwa para pria itu kehilangan kepercayaan dirinya di hadapanmu, yang mandiri dan tak pernah butuh pengakuan dari pria mana pun. You're a woman of strength, courage, and dignity."

Fai tampak menahan diri untuk tak berdecak. Dia dapat melihat bahwa semua itu hanya rayuan. Mr. Cain bukan pria pertama yang mengatakan itu padanya, dan Mr. Cain jelas tak benar-benar memercayai kalimat yang barusan diucapkannya sendiri.

"Orang-orang bilang saya memakan jeroan para bujangan untuk sarapan, dan mengisap ubun-ubun anak kucing untuk senang-senang." Fai memajukan tubuh, gestur menantang. Dilihatnya Mr. Cain menarik napas tak kentara, menyesap aroma parfumnya. "Bahkan saya diisukan mendiami gudang bawah tanah penuh boneka voodoo. Anda tak takut, Mr. Cain?"

Mr. Cain tak lagi repot-repot menyembunyikan ketertarikannya. Pria itu menjatuhkan semua laporan ke atas meja, lalu menumpu dagu pada sepasang jari-jari tangannya yang saling terkait.

"Bagaimana bisa saya menentukan takut atau tidak jika belum pernah melihat tempatmu tinggal, Ms. Magdalene?"

Fai tersenyum simpul. Kerling matanya menggoda. "Kalau begitu, luangkah Anda petang ini untuk sebuah undangan makan malam di gudang bawah tanah saya yang sederhana?"

***

Mr. Cain hanya bermain-main denganmu.

Fai menghela napas saat membaca chat masuk dari Mr. Seth, salah satu rekan kerjanya yang juga mencoba main mata dengannya beberapa hari belakangan. Fai mencoba mengabaikannya, lalu satu chat lagi masuk.

Dia pria hidung belang. Jangan bukakan pintu untuknya.

Fai akhirnya membalas dengan gemas. Aku tidak melihat warna lain di hidungnya selain olive.

Fai buru-buru mematikan ponsel setelah terdengar deru mesin mobil di luar pintu kacanya.

Dengan gaun sewarna langit malam dan high heels hitam mengilap serta riasan wajah tak bercela, Fai menyambut Mr. Cain yang mengenakan mantel di luar setelannya yang dilengkapi manset, celana kain biru malam, dan sepatu dengan warna serupa.

Fai memerhatikan ketika pria itu menatap takjub pada gudang bawah tanah-nya.

"Ini bukan gudang bawah tanah yang sederhana," tuntut Mr. Cain sambil terkekeh. "Ini restoran bintang lima. Ah, Anda tampak memukau, Ms. Magdalene."

"Makan malam sudah terhidang." Fai membimbing tamunya ke meja panjang di ujung ruangan dalam keremangan cahaya lampu gantung. "Saya menutup restoran lebih cepat untuk undangan makan malam ini."

Meja-meja lain kosong, tulisan tutup tergantung pada kaca pintu, dan para pelayan dalam balutan jas resmi menunggu. Para pelayan itu semuanya pria, dan semuanya menatap penuh damba pada Fairuz Magdalene. Tatapan mereka menjadi agak dingin saat tertuju pada Mr. Cain.

Keduanya duduk berhadapan. Fai menjentikkan jari sebagai isyarat, dan para pelayan berbaris membawakan hidangan pembuka.

"Mengapa bekerja sebagai sekretarisku jika kau memiliki usaha sendiri?" tanya Mr. Cain.

"Live my life at its best." Fai mengaitkan sejumput rambutnya yang mengikal ke belakang telinga. "Sebagian besar atasan di kantor adalah pria, dan saya hanya salah satu dari sekian banyak pelayan di sana. Di sini, sayalah bosnya."

"Itu maksudku, Ms. Magdalene. Mengapa menjadi pelayan di kantor, jika kau bisa menjadi bos di sini?"

"Mengapa hanya menjadi atasan, atau hanya menjadi pelayan, jika saya bisa menjadi keduanya sekaligus?"

Saat salah satu pelayan itu menaruh gelas koktail di depan Mr. Cain, sang pelayan membalikkan nampan dengan cepat dan memperlihatkan tulisan "Menjauhlah dari Nona" sekilas kepada Mr. Cain.

"Tampaknya para pelayan itu benar-benar memujamu," komentar Mr. Cain saat para pelayan menjaga jarak. "Dan kurang menyukaiku."

"Maafkan mereka," ringis Fai, setengah berbisik. "Beberapa di antaranya adalah saudara dari desa, dan para kerabat yang merantau ke kota mencari pekerjaan."

"Tak heran mereka tampak begitu protektif." Mr. Cain menyesap koktailnya yang hitam pekat. "Sekarang kita tahu alasan teman kencanmu tak bertahan. Para pelayanmu terlalu kurang ajar untukmu yang merupakan wanita terpandang. Merekalah yang menakut-nakuti semua pria yang mendekatimu. Wanita jinak sepertimu mustahil menjadi ancaman."

"Oh, tidak, Mr. Cain. I'm my own woman." Fai berdiri dari kursinya. Dengan langkah-langkah kecil, dan suara ketukan heels yang bertempo lambat pada lantai ubin, Fai mendekati kursi Mr. Cain. Wanita itu, tanpa ragu, duduk di pangkuan atasannya. "Saya sendiri yang menakut-nakuti para pria itu."

Mr. Cain tak bernapas selama sepuluh detik penuh, matanya membelalak. Kemudian, pria itu mulai menggelepar di kursinya.

"Jika Anda sudah selesai dengan appetizer, Mr. Cain, kita akan menikmati hidangan utama." Fai beranjak berdiri dan mengamati Mr. Cain yang kulitnya berubah gelap seolah tinta telah disuntikan ke dalam pembuluh darahnya. "Menu spesial malam ini: Anda, Mr. Cain."

***

"Sudah kubilang, dia itu bajingan." Mr. Seth berkata dengan puas di kursinya seraya membenarkan letak serbetnya. "Omong-omong, terima kasih sudah mengundangku makan malam, Fai."

"Tentu, Mr. Seth. Enjoy your cocktail."

Mr. Seth baru mencicipi koktailnya sesesap saat matanya menangkap salah satu wajah di antara deretan pelayan Fai. Pelayan itu, disadarinya, mirip dengan atasannya yang bulan lalu resign. Hanya saja Mr. Cain agak sedikit lebih gemuk dari si pelayan, rambutnya lebih panjang dan bergelombang, dan kulitnya tak segelap itu. Katakanlah Mr. Cain kehilangan beberapa kilo bobotnya, rambutnya dipotong, lalu kulitnya menggelap, maka sang mantan atasan dan si pelayan akan benar-benar serupa.

Lagi pula, mustahil Mr. Cain berseragam pelayan.

Mr. Seth meletakkan gelas. Lalu matanya kembali menangkap tulisan pada serbetnya yang tadi baru dia rapikan. Mirip tulisan tangan Mr. Cain: Menjauhlah dari Nona.

"Nah, Mr. Seth." Fai beranjak dari kursinya dan berjalan anggun ke arah rekan kerjanya. "Siap untuk hidangan utama?"

GenFest 2020: Chicklit x HorrorUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum