Talk of The Devil

154 27 2
                                    

Pernah nggak punya pasien yang diduga kuat punya masalah kesehatan mental dan setiap kali kunjungan terapi selalu nakut-nakutin lo? Katanya, ruang kerja praktik gue ada wangi getah kemenyan toba yang kecampur sama bau bunga bangkai. Setiap jam dua belas lewat tiga menit, si penghuni tak kasatmata bakal duduk di kursi kerja dan ngetik 'halo, boleh kenalan?' di sticky notes warna-warni yang sengaja gue pasang di layar depan.

Asshole.

Boba milk tea yang biasanya jadi pelega dahaga dalam sesi istirahat rasanya jadi nggak asyik lagi buat dikunyah. Kalender kerja di atas meja menunjukkan masih ada tiga kali pertemuan dengan pasien bernama Mayang Kuyang. Namanya aja sesuatu. Catatan gue selama terapi adalah Mayang mengidap penyakit delusional. Kasus Mayang lebih mendekati perilaku grandiose atau sederhananya Mayang percaya kalau dia punya bakat besar dan telah menemukan sejumlah makhluk halus di setiap inci sudut ruangan.

Mayang bikin keluarganya jadi paranoid. Dan lama-lama gue juga terjebak halusinasinya. Deringan telepon bikin gue tersentak dari lamunan dan lirik sana-sini. Sebagai orang yang nggak percaya sama hantu, keterkejutan barusan benar-benar sesuatu. Geez!

"Soraya?"

"Jerry!" Gue memekik. "Inget juga lo sama gue! Kapan kita hang out bareng?"

Suara tawa Jerry di seberang sana kedengaran renyah banget. "Gue kira lo udah jadi psikiater tenar yang super busy. Nanti malam gimana? Gue jemput, deh."

"Lo tau gue kerja di mana, nih?"

"RS Satya Husada, kan?"

"Jam sembilan, ya! Ada laporan yang harus gue kerjain jadi mesti lembur."

"See you soon, Raya!"

Kencan di hari Jumat! Checked.

Untung hari ini gue bawa tas make-up dan pakai atasan surplice merah yang baru beli minggu lalu. Jerry teman lama gue yang baru balik dari Kanada. Ngambil gelar master psikolog dan punya lisensi praktik di sana. To be honest, Jerry ini cowok idaman yang sedihnya sulit digapai.

Being almost thirty five isn't easy. Semua orang nanyain kapan lo nikah. Beberapa orang yang gue anggap dekat di hidup gue mulai nyaranin untuk leaving my job and start build my own family. Gue merenung sejenak. Mendaratkan dagu di tautan jemari. Ruang praktik ini udah gue tempati enam tahun. Nggak ada yang berubah. Keseharian gue disibukkan sama mendengarkan keluh kesah orang lain dan memberi mereka solusi. In fact, mana ada waktu buat nyari bahu lelaki yang bisa dijadiin sandaran?

Tiga jam kemudian gue udah nanganin empat pasien berturut-turut. Mencatat progress dan terus berharap nggak ada pasien gue yang mengalami kemunduran. Balik lagi ke Mayang, cuma dia pasien yang sulit membuka telinga untuk mendengar masukan. Gimana, nggak? Tiap kali gue mau ngomong, dia jejeritan sambil mandang gue dengan tatapan horor.

Sebenarnya, apa yang dilihat Mayang?

Gue lagi memikirkan cara untuk memahami wanita itu, sementara pesan Jerry yang terpampang di layar ponsel jadi kuabaikan. Jerry ngabarin kalau dia mendadak ada urusan. And so be it. Mungkin laporan tentang Mayang bisa gue selesaikan hari ini. Lagi pula, gue ingin membuktikan kalau nggak bakal ada yang megang keyboard gue di pukul dua belas malam selain Soraya seorang.

Untuk itu, gue nyalain kamera yang selalu tersimpan rapi di laci. Menaruhnya di tengah ruangan dan memastikan lensanya menghadap meja kerja. Besok, rekaman ini akan gue tunjukkan ke Mayang dan semoga aja dia mulai sadar kalau ucapannya hanya imajinasi belaka.

Mesin pembuat kopi gue nyalain tepat pukul sebelas lewat lima puluh menit. Gue mulai ngantuk dan bentar lagi bakal siap-siap pulang. Tapi, hidung gue mengernyit. Ada bau aneh yang—gue nggak mau ngakuin kalau itu bau kemenyan—tercium di kopi gue. Ada rasa asam yang tercicip di lidah. Sewaktu gue mau mastiin expired date di bungkus kopi, suara itu muncul.

Tik-tuk-tik-tak-tok-tak-tok-clock!

"Halo, boleh kenalan?"

Bulu kuduk gue naik semua. Mata ini mengejap berkali-kali untuk mastiin tulisan di layar monitor gue. Kemudian secara spontan, gue lihat jam digital. Waktu yang disebut sesuai dengan ucapan Mayang. Gue menggeleng cepat. Rasa-rasanya malam terlalu larut dan gue juga udah capek.

Buru-buru gue menekan tombol shut down dan memberanikan diri menyambar kamera. Saat rekaman itu diputar balik, di sanalah gue melihat seseorang yang nggak asing lagi. Sosok itu duduk di kursi gue, dengan pakaian serba putih dan rambut panjang kusut yang nggak disisir rapi. Kamera itu terlepas begitu saja dari tangan.

Gue lari secepat mungkin menuju pintu, memutar knop, dan ... for God's sake! Gue terkunci.

"Soraya?"

Sebuah suara menghampiri pendengaran, tapi asalnya nggak terlihat.

"Namaku Mayang. Kenapa kamunggak percaya aku ada di sini?"

GenFest 2020: Chicklit x HorrorWhere stories live. Discover now