4. Menabrak Seseorang

591 42 2
                                    

Setelah hari kedatanganku di New York, Om Bram dan istrinya tidak pernah menyinggung Andreas lagi sedikitpun. Pria dingin itu juga tidak pernah muncul lagi setelah hari menjemputku di bandara. Kini sudah hampir tiga tahun berlalu sejak kedatanganku di New York. Aku sudah bisa menjalani hidup di negara ini dengan tenang. Sepertinya aku sudah menyesuaikan diri. Aku pun sudah bisa move on sedikit demi sedikit dari keterpurukanku. Aku beruntung karena kesibukanku juga lah yang banyak membantu untuk keluar dari belenggu keterpurukan. Meski terselip rasa khawatir bagaimana jika Mas Reza masih hidup lalu membenciku jika bertemu denganku nanti.

Ritme hidupku di New York tidak ada yang istimewa. Berjalan monoton, seperti tinggal menekan tombol repeat maka apa yang terjadi hari ini sudah bisa ditebak alurnya, tidak akan jauh beda dari hari-hari sebelumnya. Aku mengenal seorang mahasiswi asal Indonesia bernama Tania. Dia seumuran denganku. Bedanya dia masih single dan langsung kuliah setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah atas. Kami menjalin pertemanan yang positif. Tidak menganut paham pergaulan bebas sama sekali. Pada saat berkenalan dengan Tania untuk pertama kali, aku memang sudah menekankan padanya kalau aku ke New York bukan untuk senang-senang. Tujuanku hanya untuk kuliah, cepat selesai dan aku bisa segera pulang ke Indonesia. Meski kata orang New York memiliki segala yang diinginkan oleh umat manusia, tapi tidak halnya dengan aku yang selalu ingin cepat pulang ke rumah.

Selain dengan Tania aku juga memiliki teman baik laki-laki. Namanya Jason, dia warga campuran New Jersey dan Italia. Dia seorang asisten dosen untuk salah satu mata kuliahku. Awal perkenalan kami karena dia pernah menggantikan salah satu dosen selama tiga bulan lamanya. Sejak itu aku sering jalan dengan Jason. Jalan sebagai teman, tidak ada hubungan spesial apa pun di antara kami. Aku juga sering mengajak Tania bila sedang jalan dengan Jason.

Hari ini sambil menunggu jadwal kelas berikutnya dan Tania sedang berada di perpustakaan.Kami belajar sambil bercanda. Tak ketinggalan bergosip pastinya.

"Yung, lo sama Jason gimana?" tanya Tania dengan suara lirih.

"Baik saja. Kenapa memangnya?" Aku bertanya tanpa melihat ke arah Tania, karena saat ini aku sedang sibuk menulis di ordinary-ku menyalin beberapa point penting isi buku di hadapanku.

"Lo nggak pernah ehem-ehem?" Pertanyaan Tania membuatku mengalihkan pandangan dari ordinery menatap wajah Tania. Tania kemudian membuat gerakan menyatukan kesepuluh jarinya dengan membentuk masing-masing lima jari dengan bentuk kerucut, atau seperti orang berciuman. Aku tertawa tertahan agar tidak meledak karena aku sadar saat ini kami berada di perpustakaan yang sangat hening.

"Lo gila ya? Gue sama Jason itu cuma temenan doang. Nggak lebih." Aku melempar sebuah buku tipis ke muka Tania. Tania mengaduh kesakitan karena buku tadi mengenai tepat di hidungnya.

"Ach... masak sih? Lo kan jalan sama Jason udah sekitar enam bulanan. Memang lo nggak merasakan getar-getar aneh gitu kalo pas lagi sama dia? Secara kan dia cakep bingit lo, Yung. Lo nggak naksir dia gitu?"

Aku kembali mengulum senyum dan menggeleng.

"Apa dia masih kalah ganteng ya sama mas Reza lo?" Belum sempat aku menjawab pertanyaan bodoh Tania, ada suara dehaman lembut mengejutkan kami berdua.

"Hai, Jason come here!"Aku menepuk-nepuk bangku kosong di sampingku. Tidak lama kemudian dia sudah duduk, memangku tangan kanan dengan dagu lancipnya. Matanya menatap tajam ke arahku.

"Well, who is Mas Reza? Lalu siapa yang sedang dibanding-bandingkan dengan Mas Reza? Me? Sedikit banyak saya bisa loh Bahasa Indonesia," ucap Jason penuh selidik, menatapku dan Tania bergantian.

Handsome Doctor for Pretty CEOOnde as histórias ganham vida. Descobre agora