5

935 39 8
                                    

Aku terbangun dengan tubuh yang lemas. Rasanya aku tak mampu menggerakan satu ototpun. Tulangku seperti dilolosi.

Aku berhasil membuka mata setelah beberapa menit terjaga dengan mata terpejam. Menghirup aroma menenangkan yang sumbernya amat dekat rasanya. Sekujur tubuhku sakit, nyeri dan pegal. Seperti baru saja mendaki Gunung Semeru dengan berlari. Aku menyadari itu saat aku mencoba duduk. Kepalaku berputar dan rasanya kaku di sana-sini.

Mataku tertuju pada noda yang terlihat mencolok di sprei putihku. Begitu jelas, seolah-olah mengejek. Membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri. Membuatku ingat apa yang terjadi semalam. Mengapa aku kelelahan dan lemas seperti sekarang.

Aku kotor.

Dan tersangkanya adalah lelaki yang menyebut dirinya Raven. Pria dengan telinga tertindik itu masih tidur diujung ranjangku. Wajah tampannya terlihat polos sekarang. Meski lekukan tegas wajahnya tak tersamarkan. Terlelap puas setelah mengambil satu-satunya hartaku. Auranya berbeda dengan beberapa jam yang lalu. Saat dia... aku mengelengkan kepala. Mencoba mengusir ingatan itu.

Kepalaku masih berdentam-dentam rasanya. Tapi aku memaksakan diri untuk berjalan ke kamar mandi. Berbekal selimut, menutupi tubuh polosku dan berjalan tertatih. Sedikit terhuyung, membuka pintu sepelan mungkin.

Wanita di hadapanku sangat kacau. Benar-benar parah. Rambutnya seperti sarang burung. Seolah ia telah menembus badai di gurun.

Mata dan bibirnya bengkak. Darah kering di sudut bibirnya. Beberapa lebam terlihat mengerikan di kulit putih langsatnya. Seolah tak ingin ketinggalan, kissmark dan bekas gigitan ikut menghias leher dan pundak.

Aku memandang bayanganku sendiri dengan senyum miris. Nyaris menghantamkan kepalaku ke tembok agar memori itu hilang. Ingatan yang tak ingin ku ingat. Aku mengkhianati Fabian. aku memandang lebam di jari tanganku. Cincin itu sudah tidak ada di jariku. Dicabut paksa dan entah dibuang kemana. Aku harus menemukannya.

Aku mendapati punggung dengan tatto besar berupa sayap burung berwarna hitam masih berada di ranjangku ketika aku keluar dari kamar mandi. Aku nyaris melupakan pria bejat ini masih disini. Ah... Raven – gagak besar, cocok dengan tattonya. Aku memutari ranjang, memandang wajah bajingan tengik itu. Aku tak yakin, tapi aroma dan wajahnya mirip dengan seseorang. Tapi siapa?

Reagan? Aku tersentak. Ya. aroma musk yang membuatku nyaris tidak berkonsentrasi saat bekerja kemarin. Tapi dia bilang jika dirinya Raven. Dan telinganya ditindik. Khas bad boy. Aku yakin dia bukan reagan. Bukan bos besar dengan tingkah sombongnya.

"Sudah puas menikmati pemandangannya?" Kelopak matanya sedikit terbuka.

Spontan aku menjauh. Suaranya pun sama. Tapi...

"Jangan pikir kalau aku Reagan, El," ujarnya menguap lebar sambil merengangkan otot-otot tangannya yang terlatih. "Jam segini kamu sudah bangun? Biasanya belum," gumamnya lalu duduk diatas ranjang tanpa mempedulikan ketelanjangannya. Lekukan di perutnya sangat tegas. Nyaris tak bisa mengalihkan pandanganku dari sana.

Wajahku panas. Aku membuang muka.

Terdengar tawa renyah dari sumber yang kuhindari. "Tak perlu malu, El. Kamu sudah lihat semuanya semalam. Dan jika kita sudah menikah, kamu akan lebih sering melihatku seperti ini."

"Siapa bilang kita akan menikah?!" ujarku kesal.

"Kamu tak mungkin menikah dengan tukang selingkuh seperti Fabian, El. Dan lagipula kamu sudah tidak perawan lagi. Siapa yang mau denganmu, huh?"

Laki-laki ini benar-benar tidak bisa menyaring kata-kata. Dengan kalap aku beringsut maju dan mulai memukulinya. "Kamu! Pria kurang ajar! Apa salahku sampai kau melakukan semua ini huh? Dasar brengsek! Apa kamu tak pernah belajar etika dan norma? Apa orang tuamu tak pernah mengajarimu?"

Dia menerima setiap pukulan, cakaran dan jambakan tanganku di wajah dan tubuhnya. Tanpa perlawanan, dia menerimanya tanpa ekspresi apapun. Kaku. Dingin. Tak ada pembelaan diri. Dia bahkan tak menangkis satupun pukulan yang kuberikan.

"Sudah puas, El?" ujarnya lirih setelah aku berhenti memukulinya.

Tak terlihat tanda kekerasan di kulit coklat terangnya membuatku semakin kesal. Mataku sembab, tanpa sadar aku terisak dan menangis. "Kamu lebih parah dari binatang!" Umpatku sekuat tenaga di sela-sela air mata.

Ekspresinya melunak. Dia mencoba memelukku, namun aku memberontak. Mencoba mendorong lengan kekarnya. Tapi tenaga ku habis, tak mampu melawan lebih. Dengan lembut dia menarikku ke dadanya.

"Aku tau aku salah, El." Ujarnya lirih di telingaku.

Penyesalan terselip dalam nadanya. Membuatku mengeryit tak mengerti.

Sebuah pernyataan waras dari orang yang tidak waras. Sungguh tak terduga. Luar biasa. Orang ini masih punya rasa penyesalan?

Lalu dia merengkuh wajahku. Meluruskan pandangan kami. Kobaran itu nyarmta terpancar di matanya yg gelap. "Aku cemburu! Aku tidak tahan melihatmu dibodohi laki-laki itu. Mungkin kamu tidak mengingatku. Tapi yang jelas. Mulai sekarang, kamu harus mengingatku, lupakan fabian brengsek yang hanya menginginkan hartamu." Ungkapnya membabi-buta.

"A-apa mak-sudmu?" Aku melepaskan tangannya dari wajahku. Sesaat dia membiarkanku melakukan itu. Mundur beberapa langkah. Nyaris roboh ketika tangannya tiba-tiba menahanku menjauh.

Wajahnya terlihat putus asa. Kengerian mengganti kobaran api di matanya. Sedetik kemudian berubah menjadi kehampaan. Matanya mengunci mataku.

"Sebaiknya kau tidur, Love bird." Suaranya seakan menghipnotisku. Rasa kantuk menyerang perlahan. Meredupkan mataku. Ini aneh, aku tidak bisa menolaknya.

"Tu-tunggu..."

"Apa lagi,El?"

"Kau adik Reagan?" ujarku disela kantuk yang menyerang. Mengapa pertanyaan bodoh ini yang kuajukan?

"Anggaplah begitu, El."

Rasa kantuk ini benar-benar membingungkan, "Aku... tidak mengerti..."

"Segera. Segera kau akan mengerti. Tapi tidak sekarang. Untuk sekarang, sebaiknya, kau tid..."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 06, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Forgotten Masquerade [Dalam Perbaikan]Where stories live. Discover now