4

13.7K 603 61
                                    

“Buka matamu, sayang. Aku ingin kau melihatku. Mengingatku.”

Aku terengah, mencoba mengambil oksigen mungkin sebanyak dari udara disekitarku setelah beberapa lama nyaris tidak bernafas karena pria yang mendekapku terlalu erat. Dada bidangnya menghimpit tubuhku, tangannya melingkupi, memenjarakanku dalam pelukan hangat. Deru nafasnya begitu dekat, panas menyentuh epidermis. Menimbulkan percikan api disetiap selnya. Aroma memabukan itu memenuhi indra penciumanku. Seolah menandaiku untuk selalu ingat dengan aroma itu.

Perlahan aku membuka mata, memerjap pelan menyesuaikan diri dalam suasana yang minim cahaya. Rahang kokoh yang bersih dari jambang menjadi pemandangan pertama. Mataku menjelajah naik tanpa mengangkat dagu, mengintip dibawah bulu mataku. Kulihat samar bibir tipis itu melengkung ke atas. Hidung mancung dan tegas.  Dia menaikan daguku agar pandangan kami sejajar. Mata itu. Abu-abu. Gelap. Nyaris hitam.

“Aku ingin kau mengingatku, sayang.”

Suara berat itu bagaikan musik dari surga di telingaku. Menyejukan. Menentramkan hati. Membuatku ingin...

 “Ehem, jadi bagaimana menurut anda, Miss?”

Suara berat itu mengusik lamunanku. Aku tergagap, “Eh?” kulihat dia mengangkat alis, menunggu kalimatku, “Ya. saya setuju.”

Aku melihat dia mengulum senyum. “Sepertinya putri anda sedang tidak fokus bekerja, Sir.”

Terdengar jelas nada menyindir dalam kalimatnya. Perempuan seksi disebelahnya berdeham dengan gaya yang dianggun-anggunkan. Sementara acuhkan perempuan aneh itu, mataku terfokus pada senyum miring yang sedang menghiasi wajah tampannya. Senyuman itu membuatku merinding. Membuatku takut sekaligus... ah, apa yang aku pikirkan? Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku.

“Putriku baru saja sembuh dari sakit, nak. Mungkin dia masih kurang sehat.” Terlihat jelas sorot kawatir dan sedikit iba di kedua matanya.

Aku tersenyum gugup. “Aku baik-baik saja. Aku sudah sehat.” Suaraku sedikit meninggi tanpa kusadari. Dan pria dihadapanku itu menaikan alisnya, membuatku semakin kesal.

“Easy, Miss,” ujarnya tenang. Kembali menyunggingkan senyumnya yang membuatku semakin...

Aku menggelengkan kepala dengan keras. Berusaha mengusir pikiran kotor yang menghinggap di otakku tiap kali melihat senyuman itu. Aroma musk yang pekat membuatku tidak dapat berkonsentrasi pada pertemuan ini. aku mengenggam bolpoin ditanganku dua kali lebih kencang dari biasanya. Tanganku basah karena gugup, membuatku beberapa kali menjatuhkan benda kecil menyebalkan ini.

Sungguh aku nyaris berteriak frustasi karena tidak mengerti apapun yang dikatakan pria tampan itu. Juga percakapan ayahku yang dengan tanggap mengimbanginya. Yang dapat aku tangkap adalah mereka membicarakan tentang tangki ukuran besar dengan diameter sekitar 5 meter dan tinggi 7 meter dan mengenai masin pengaduk bla bla bla entah apa itu. Aku benar-benar rindu spatula digenggamanku. Aroma butter. Dan mungkin suara daging yang masuk ke penggorengan. Aaargh!

“Ada yang salah miss?”

Reagan menyadarkanku. Spontan aku menutup mulut, “Anu... ini, bolpoinnya licin. Jatuh terus,” elakku.

Dia menatapku sambil mengulum senyum, “Mungkin aku ingin pinjam penaku? Tidak begitu licin, enak digengam,” ujarnya sambil tersenyum miring.

Pipiku memerah. Wajahku panas. Astaga... kenapa kalimatnya begitu... Oh tidak. aku rasa otakku sudah terkontaminasi penaruh buruk dari Gina. Dengan segera aku menggelengkan kepala. “Tidak... tidak... aku ada bolpoin lain. Silakan lanjutkan.”

Aku menunduk, malu. Meremas kertas dihadapanku tanpa sengaja. Berusaha seminimal mungkin tidak memandang wajah tampan itu.

 “Sudah waktunya makan siang,” ujarnya tiba-tiba sambil melihat jam tangah mewah yang melingkar kokoh dipergelangannya. Aku membuang pandangan saat dia mengangkat wajahnya, “Bagaimana jika kita lanjutkan sambil makan siang?” tawarnya. Mata perempuan disampingnya berbinar menjijikan. Dia mengangguk sedikit antusias sambil membereskan kertas-kertas dihadapannya.

The Forgotten Masquerade [Dalam Perbaikan]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz