2

11.8K 531 50
                                    

“Adek jangan pulang dulu. Baru juga seminggu disini.”

Aku menghela nafas, mungkin ini sudah keduapuluh kalinya Bunda mengatakan hal yang sama dalam beberapa hari kemarin. Wajah sekarang sepertinya pernah ditunjukannya padaku. Ah... ya, kira-kira saat aku memutuskan untuk mandiri dengan memilih tinggal di flat hasil tabunganku dari sebagian penghasilanku dari restoran kecil milik keluarga.

“Please, Bunda,” ujarku memelas. “Flatku pasti sangat kotor, udah ditinggal seminggu lebih loh. Dan aku udah ijin 3 hari. Aku nggak enak sama yang lain.”

“Itu kan restoran punya kamu, kenapa pake ngerasa nggak enak segala sih? Seharusnya kamu kan tinggal duduk manis mantengin koki-kokimu kerja. Nggak perlu capek masak dan ngurus ini itu. Kamu lihat kan hasilnya. Kamu sakit, Cha. Terus juga, kamu tuh mending cari apartemen yang gede sekalian. Belinya mahal gara-gara bayar view-nya doang. Tapi isinya. Aduh. Kamar cuma satu, dapur juga sempit, ruang tamu juga seuprit. Kamu tuh beli apartemen apa kos-kosan sih?”

Aku memutar bola mata sedikit mendengus. Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu. Ayah sudah menurunkan koran paginya.

“Bunda, Elysia kan udah gede. Udah punya tempat tinggal sendiri. Ya biarlah dia ngurus semua tanggung jawabnya. Lagian nih ya, kalo seumpama chacha suka sama pekerjaannya jadi chef, kenapa dia harus berhenti? Yang penting kan dia senang.”

“Ya tapi kan Yah, nggak perlu pindah segala. Rumah ini kan gede. Mahesa udah nikah. Si Evan juga bentar lagi nyusul. Adikmu nggak pulang-pulang dari sekolahnya. Kamu juga milih pindah ke apartemen ala kos-kosan itu. Percuma dong punya anak banyak tapi rumah ini sepi.” Ku lihat mata bunda mulai berair. Sebentar lagi pasti terisak dan pergi ke kamar. Lalu ayah akan menyusul bunda. Sudah menjadi kebiasaan dan sangat sulit untuk mengabaikannya, sampai aku yang pelupa ini bisa mengingat kebiasaan bunda yang satu ini.

Aku memijat pelipisku yang berdenyut. “Bunda...”

“Jangan-bicara-dengan-nada-kasihan-seperti-itu.” Bunda menekan setiap suku kata yang diucapkannya. “Bunda nggak papa. Bunda cuma kesepian,” lanjutnya lirih, mengusap sebutir kristal yang meleleh di sudut matanya. “Pokoknya kamu cepetan nikah ya. tapi jangan sama si Fahri.”

“Fabian, Bunda.”

“Ya pokoknya itu deh. Sebodo amat siapa namanya.” Bunda kembali menngunyah potongan buahnya. “Mendingan kamu sama si Reagan. Iya kan, Yah?”

“Reagan? siapa?” alisku berkerut bingung memandang kedua orang tuaku. Mencoba mengingat nama itu. Tapi tak satupun data dalam kepalaku bisa mengingat nama asing itu.

Ayah memandang bunda sejenak, lalu menyeruput susu dalam cangkir kopinya. Sejak menikah dengan bunda, ayah terpaksa menghilangkan kebiasaannya minum kopi karena bunda coffe addict yang punya penyakit lambung yang sangat parah hingga sempat dioperasi. Sehingga ayah melenyapkan segala bentuk kopi di rumah ini.  Padahal ayah sendiri memiliki kebun kopi yang luas dan pabrik kopi yang cukup sukses. “Reagan itu kolega ayah dan abangmu. Dia itu  CEO perusahaan yang mensuplai peralatan pabrik gitu. Mesin-mesinnya.”

“Kaya dong dia?”

“Iya dong. Udah kaya, sopan ganteng lagi. Pokoknya calon menantu idaman deh.” Bunda bicara dengan sorot mata berkobar. Mengacung-acungkan potongan buah strawberry-nya ke wajahku, yoghurt dipermukaan buah itu sedikit meluber dan menetes di meja makan.

Aku memandang bunda dengan mulut terbuka. Sedangkan ayah hanya mengeleng-gelengkan kepala.

“Pokoknya kamu harus nikah sama dia ya? Harus mau.” ujar bunda tegas, sambil memakan potongan buahnya dengan gaya yang mungkin menurut beliau dapat membuatku ngeri.

The Forgotten Masquerade [Dalam Perbaikan]Where stories live. Discover now