7. Kayya Yang Tercinta

73 7 5
                                    

          "Kau sadar dengan yang kau ucapkan?" ucap Sona dengan mata tajamnya.

Tubuh Hema bergetar. Karan melepas pelukan dan menatap Sona. "Kakak, sudahlah,"

Hema menitihkan air matanya dan bersujud dihadapan Sona dan Karan. "Maafkan ibu, Sona. Maafkan ibu, Karan. Ibu sudah membuat kesalahan besar pada kalian," tangis Hema pecah.

Karan merasa tidak enak dengan aktivitas yang sedang dilakukan Hema, memegang pundak Hema dan mengajaknya berdiri. "Ibuu, apa yang ibu lakukan?" tanya Karan sembari menyeka air mata Hema. Sona hanya menatap benci pada ibu kandungnya itu.

"Maafkan ibu, Karan. Maafkan," Hema menyatuan kedua tangan dengan isak tangis. "Ibu menyesali perbuatan ibu pada kalian,"

Karan tersenyum, "Aku senang ibu sudah sadar dengan kesalahan ibu. Sudah lama aku memaafkan ibu,"

Hema menatap Karan tak percaya. Beruntung sekali ia memiliki putra seperti Karan, Karan pria yang tampan dan juga berhati mulia. Sikap orang normal yang ditunjukan seharusnya adalah sikap Sona.

"Benarkah?" Hema masih menyatukan kedua tangannya. Karan mengangguk. Hema langsung memeluk Karan dengan erat seolah ia tak mau kehilangan Karan.

"Karan, kau sadar yang sudah kau lakukan?" Sona berucap lirih namun terdengar jelas di suasana sepi.

"Kakak, dia ibu kita. Kita wajib memaafkan-nya,"

"Dengar, nyonya Sinha. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah memaafkanmu!" ucap Sona dengan tegasnya lalu ia masuk ke dalam rumah.

Karan hanya menatap Sona sejenak dan menunduk, "Sudahlah, seiring waktu berlalu Kakak akan memaafkan ibu," Karan berusaha berpikir positif. Hema hanya bisa mengangguk.

"Oh ya, ibu. Siapa dia?" tanya Karan sambil menatap Kinjal.

Hema menyeka air matanya---tersenyum dan merangkul Kinjal, "Dia adik tirimu, Karan,"

Karan tersenyum lalu mengulurkan tangannya, "Hai, siapa namamu?" tanya Karan ramah.

Kinjal kecil membalas jabatan tangan Karan dengan senyum, "Kinjal."

"Kinjal, mulai sekarang dia adalah Kakak-mu," ucap Hema.

"Mau menjadi temanku?" Karan bersemangat.

"Teman," balas Kinjal lalu mereka tertawa.

Setelah kejadian itu, Hema dan Kinjal tinggal bersama Sona, Kayya, Deija dan Karan. Hari-hari berlalu dengan setiap kebencian yang dirasakan oleh Sona. Suatu hari ...

"Karan, malam ini aku akan datang ke pesta pernikahan temanku. Ini sudah cukup malam, bisa aku menitipkan Kayya padamu?" ucap Sona yang sudah siap dengan lahenga-nya.

"Tentu, lagipula dia juga belum tidur. Aku akan mengajaknya bermain," balas Karan.

"Baiklah, aku menitipkan Kayya padamu. Satu hal, Deija akan ikut denganku. Dia bilang akan mengunjungi kuil dan menginap semalam disana. Aku akan pulang terlambat, sampai jumpa," ucap Sona lalu pergi diikuti Deija.

"Sampai jumpa," balas Karan.

Pukul 9 malam, Karan dan Kayya masih belum tidur, sejak Sona berangkat---mereka bermain ular tangga di ruang keluarga.

"Karaaaan!" pekik seseorang.

Karan dan Kayya langsung menoleh ke sumber suara, "Suara siapa itu, paman?" tanya Kayya.

UffDonde viven las historias. Descúbrelo ahora