237 27 42
                                    

いち [ichi] : satu

Agustus di Hokkaido, menjadi 'rumah' bagi musim panas paling menyengat di sepanjang tahun. Suhunya di siang hari hampir menyentuh angka 30 derajat celsius, angka paling ditakuti karena matahari tengah bersemangat membakar kulit manusia dengan sinar ultravioletnya.

Peluh tak luput dari setiap dahi mereka yang tetap beraktivitas penuh di musim panas ini. Rasa haus pun seolah meningkat drastis. Pabrik pembuat minuman dalam kemasan pasti jauh lebih untung ketika musim panas seperti sekarang, buktinya, hanya tersisa belasan botol minuman di lemari pendingin swalayan ini. Sisa angka yang cukup akurat untuk menggambarkan betapa ganasnya rasa haus yang menghampiri setiap pembeli.

"Huft~" Satu desah lelah berhasil keluar dari mulut gadis itu. Hokkaido sungguh tak main-main, panasnya membuat pendingin ruangan terasa seperti tak bekerja dengan baik.

Meski cuaca sedang panas begini, Swalayan Ito tak sepi pengunjung, bahkan di hari aktif kerja. Kasir-kasir dipenuhi antrean. Sedikitnya 5-8 orang dalam satu lorong kasir. Gadis itu—yang juga menjadi bagian dari antrean—sedikit mengibaskan kerah kemeja putih tipisnya. Gerah. Rasanya ia ingin menerobos antrean di depannya agar cepat kembali ke rumah. Namun urung, ia ingat bahwa kini ia hidup di negeri orang, bukan di tempatnya dilahirkan, Indonesia.

Satu-persatu antrean di depannya telah dilayani. Hanya tersisa satu pengunjung hingga gilirannya membayar.

Gadis itu kini terpaku dengan apa yang dilakukan oleh pekerja kasir; mengambil barang belanjaan pengunjung dari keranjang, men-scan kode batang produk, lalu memasukkannya ke tas kain milik pengunjung. Berulang-ulang hingga belanjaan tak bersisa. Kemudian, di layar monitor akan tertera berapa harga yang harus dibayar.

"Lima ribu lima ratus yen." Pekerja kasir tersenyum ramah seraya mengarahkan layar monitor ke pengunjung.

Pengunjung yang kini tepat berdiri di depannya membuka dompet lalu mengambil beberapa lembar uang. Setelahnya, menyerahkan pada perkerja kasir.

"Maaf, Nona, uang Anda kurang dua ribu lima ratus yen," ucap pekerja kasir setelah menghitung uang yang diterimanya.

"Benarkah? Coba hitung sekali lagi."

Dengan cekatan pekerja kasir mulai menghitung uang itu kembali. "Benar Nona, uang Anda hanya tiga ribu yen," balasnya setelah selesai menghitung.

Sedang pengunjung itu terlihat bingung. Sampai akhirnya, seseorang di belakangnya menyerahkan selembar 1000 yen dan selembar 2000 yen kepadanya.

"Pakai uangku saja," tawarnya.

"Ah, tidak perlu. Aku bisa mengurangi belanjaanku." Pengunjung itu menolak. Ia tak mau berhutang pada orang asing.

"Tidak apa, Nona. Pakai saja." Gadis itu bersikeras. Ia menyerahkan uangnya pada pekerja kasir.

Setelah menerima uang, pekerja kasir mulai mengemas belanjaan pengunjung lalu menyerahkan uang kembalian kepada gadis itu. Seusai pengunjung itu selesai dan keluar dari barisan antrean, kini giliran gadis itu membayar belanjaannya.

Kedua tangannya kini penuh dengan kantong belanjaan dengan isi berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Setelah membayar dan menolong pengunjung yang kekurangan uang tadi, ia langsung beranjak menuju lahan parkir untuk mengambil mobilnya lalu kembali ke rumah.

Langkahnya terhenti ketika ia melihat gadis mirip pengunjung yang beberapa menit lalu ia tolong. Ia menghampiri pengunjung itu. Berniat untuk menawarkan tumpangan, mengingat pengunjung itu tak dapat membayar kekurangan tadi. Berarti, kini dia sama sekali tidak memiliki uang.

"Selamat siang, Nona," sapanya.

"Selamat siang. Ah, kamu! Nona yang tadi menolongku, bukan?" riuh pengunjung itu.

Gadis itu tersenyum ramah. "Benar," balasnya.

"Terima kasih telah menolongku," kata pengunjung itu seraya mengangguk sopan.

"Sama-sama. Omong-omong, namaku Secha." Secha memperkenalkan diri seraya membungkukkan badannya 15 derajat.

"Aku Takahashi Akira. Senang bertemu dengan Nona Secha. Nama nona hanya 'Secha'? Tidak ada nama keluarga?" tanya Akira bingung. Sebab nama 'Secha' cukup asing di telinga orang Jepang. Dan lagi, Secha tidak menyebutkan nama keluarganya.

"Seraphina Secha. Tidak ada nama keluarga." Secha membalas dengan senyumnya, lagi.

"Ah, begitu."

Sepersekian detik kemudian, suasana menjadi hening di antara Secha dan Akira. Hanya suara mobil lalu lalang yang menyelinap di antara mereka.

Sebenarnya, Secha ingin menyampaikan tawarannya pada Akira. Namun ia urungkan, karena Akira terlihat ragu, seperti ingin berbicara tapi tidak segera.

"Nona Secha, sepertinya kali ini aku membutuhkan bantuanmu lagi. Bolehkah?" Akira bersuara. Secha pun langsung mengarahkan atensinya pada gadis yang terlihat lebih muda darinya ini.

"Tentu saja. Biar kutebak, Nona Takahashi membutuhkan tumpangan?"

"Benar. Jika Nona Secha tidak keberatan, aku ingin menumpang sampai distrik sebelum gelanggang taekwondo itu." Akira menunjuk arah tempat tinggalnya.

Arah pandang Secha segera menatap ke arah gelanggang taekwondo yang ditunjuk oleh Akira. Kediaman Akira tidak begitu jauh dan searah dengan rumahnya. Jadi, ia rasa bukan masalah jika ia bersedia mengantar Akira pulang.

"Boleh. Aku tidak keberatan." Secha menjawab seraya tersenyum ramah dan menganggukan kepalanya dua kali.

Sedang Akira, gadis muda itu tersenyum lebar. Rautnya terlihat begitu lega. "Terima kasih, Nona Secha," balasnya seraya membungkukkan badan.

Langkah-langkah Secha dan Akira hampir membawa mereka ke lahan parkir tempat dimana mobil Secha berada. Di sekitar lahan parkir ramai anak-anak kecil yang tengah bermain. Hal ini wajar, karena Swalayan Ito adalah swalayan kuno yang terletak di antara dua distrik yang cukup padat.

Secha menatap anak-anak kecil itu, mereka terlihat bahagia seperti hidup tanpa beban. Tersenyum dan dengan lincah berlarian dari ujung-ujung lapangan. Hingga di dekat gawang sepak bola, Secha mendapati anak kecil yang melambaikan tangan ke arahnya.

"Kakak! Tolong aku!" teriak anak kecil itu dari kejauhan.

Secha berjalan mendekatinya dan diikuti oleh Akira. "Ada apa?" tanyanya setelah sampai.

"Kakak itu, dia menolongku." Anak kecil itu menunjuk ke arah lelaki di tengah lapangan. "Sekarang dia dikepung. Tolong dia, aku takut dia dipukuli."

Secha menatap lamat-lamat lelaki yang dikepung di tengah lapangan itu. Dari fisiknya, lelaki itu tampak tak asing di mata Secha. Sepertinya sebelum ini Secha pernah bertemu dengannya.

Sementara di tengah lapangan, lelaki dengan fisik atletis itu menatap tajam ke arah pengepung. Satu persatu pengepung mulai menyerangnya hingga ia terkapar.

"Kakak tolong dia, cepat!"

"Nona Seraphina, tolong dia!"

Akira dan anak itu berteriak. Sedangakan Secha, gadis itu tersenyum sembari terus menatap ke arah lapangan.

"Lelaki itu, dia tidak perlu untuk kita tolong, Nona Takahashi."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
𝐇𝐎𝐒𝐓𝐀𝐆𝐄Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang