Puasa Pertama El dan Lala

Start from the beginning
                                    

Aku terkekeh. Astaga putraku yang satu ini. Kenapa bisa punya pemikiran seperti itu sih?

"Aku nggak pernah sok jadi kakak kok. Tapi kamunya aja yang emang manja. Pasti nanti langsung ngadu ke Eyang deh karena dipaksa Mommy puasa. Ngaku aja," tantang Lala.

"Biarin. Eyang Eyang aku kok."

"Eyang aku juga. Tapi aku nggak pernah ngaduin Mommy sama Daddy ke mereka."

"Biarin," El menjulurkan lidahnya.

"Masih mau berantem?" Ajeng menatap El dan Lala tajam.

Mereka berdua menundukkan kepala dan kembali menyantap makanannya.

"Sekali lagi berantem di meja makan, semua mainan kalian Mommy sita. Nggak bisa main PS, nggak bisa main PC, nggak bisa main Ipad. Mau?"

Aku menahan senyum. Kalau urusan mengomeli anak-anak memang aku serahkan ke Ajeng saja. Emang sudah tugasnya ibu-ibu. Aku lebih suka jadi penonton yang sesekali nimbrung jika situasi sudah tidak terkontrol lagi.

El dan Lala menggeleng dan kompak mengucapkan, "sorry, Mom."

"Makanannya dihabisin. Abis ini jangan langsung tidur. Kita sholat subuh berjamaah dulu. Oke, El dan Lala?"

"Okay, Mom."

Aku mengacungkan jempol pada Ajeng. Dia malah mengerutkan kening. Aku mengedipkan sebelah mata padanya. Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu meneguk susu.

Senang sekali memiliki keluarga ini. Rasanya aku nggak akan mau kebersamaan kami berempat cepat berlalu.

***

Di puasa pertama ini, aku memang memilih untuk tidak bekerja. Toh Gandi Partners tidak akan langsung bangkrut hanya karena founder-nya tidak masuk kantor satu hari. Toh ada Gerald di sana. Dia tidak puasa dan dia belum berkeluarga.

Kulirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul dua belas lewat dua puluh menit. Aku yang baru saja balik dari masjid karena zuhur berjamaah heran mendengar suara tangisan El dari ruang bermainnya.

"What's wrong with—"

Ucapanku terhenti karena mendapati El yang menangis dengan Lala yang mengusap-usap punggungnya.

"Hush. Jangan nangis, El. Kamu laper? Yaudah puasanya dibatalin aja," kata Lala lembut.

"Nanti dimarahin sama Mommy," kata El tersedu-sedu.

"Nggak. Kan kata Mommy sampai kita tahannya aja. Kamu mau makan apa? Biar aku ambil di dapur. Don't cry."

El tetap menangis. "Mau ke rumah Eyang aja."

Aku melangkah ke arah mereka. El menutup wajahnya dengan tangan begitu kami berhadapan. Lala memasang wajah bersalah.

"Mommy mana, Sayang?" tanyaku pada Lala.

"Ke supermarket sama Bibi."

Aku membawa El ke pangkuanku dan memeluknya. "El kenapa? Udah lapar, ya?"

"Mau ke rumah Eyang," jawabnya sambil merengek.

"Iya nanti kita ke rumah Eyang. Sekarang El laper? Udah nggak sanggup puasa lagi?"

El mengangguk semangat. "Iya laper. Huaaah," dia kembali menangis.

"Udah jangan nangis, ya. Ayo kita batalin puasa El dulu. El mau makan apa?" tanyaku selembut mungkin.

"Mau makan di rumah Eyang aja," jawab El bersikeras.

"Tapi di rumah Eyang belum tentu ada makanan juga," jawabku sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now