Aku berdecak.

"Ya nggak usah pergi." Jawabku santai.

Tere merengut kesal.

"Lo jahat banget sih jadi orang?!" gumamnya pura-pura merajuk. "Selama ini gue kurang apa sama lo......kurang apa.....jadi segini aja kesetiaan lo sama gue? Tipisssss!"

"Yaelaaaaah....."

"Ayo dong Please...temenin gue ya. "

Aku menghela nafas pelan. Sejujurnya aku malas pergi keluar rumah di akhir pekan. Namun kasihan juga Tere kalau aku tidak menemaninya.

"Okeee....." sahutku kemudian. "Jam berapa besok?"

"Horeeeee....gue makin cinta sama lo Sha!" serunya girang lantas memelukku dengan hangat. "Jam delapan pagi gue jeput ke rumah lo."

******

Ada perasaan aneh saat kembali kulangkahkan kakiku kembali di tempat ini. kampus ini belum banyak berubah, masih terlihat sama, dengan gedung yang sama dan pohon-pohon yang sama. Hanya catnya saja yang berubah, mungkin setiap tahun selalu diperbarui.

Kupejamkan mataku sesaat, kembali memutar kenangan perjalanan hidupku lima tahun yang lalu di tempat ini. ternyata benar, semua hal akan menjadi lebih indah ketika menjadi kenangan. Lebih berharga jika kembali diingat.

"Sha, lo nggak masuk?" Tere menyenggol lenganku. "Lo ngehalangin jalan tauk!"

"Ha....eh....?" aku menoleh, tak sadar kami kini berdiri di depan pintu masuk aula, dan dibelakangku sudah berderet beberapa orang yang ingin mengantri masuk.

"Sorry....sorry...." aku menyingkir dari kerumuman dan berjalan masuk mengekor Tere.

Aula yang biasanya polos itu berubah menjadi semarak. Di sana sini tergantung banyak lukisan-lukisan karya pelukis-pelukis pemula dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Tadi Tere sempat bilang bahwa acara dies natalis ini khusus mencari ana-anak dengan bakat terpendam, contohnya melukis seperti ini. nanti akan dipilih siapa yang lukiasnnya paling bagus dan boleh di lelang oleh pengunjung.

Aku larut dengan lukisan-lukisan ini setelah Tere menyingkir karena bertemu dengan beberapa teman lamanya. Pandanganku tertuju pada sebuah lukisan yang berada di tengah aula. Lukisannya sebenarnya biasa, namun aku teringat akan sesuatu lewat lukisan ini. sebuah gerbong kereta api tua dengan ilalang menguning di sekelilingnya.

"Kak Alisha ya...?" Suara ringan nan merdu memaksaku menoleh. Aku mencoba mengingat-ingat siapa anak laki-laki yang tersenyum lebar padaku ini.

"Iya....bener kak Alisha!" wajahnya terlihat puas.

Mataku membulat sempurna, seseorang yang tak kusangka tiba-tiba berdiri di sampingku.

"Arlan?!" pekikku kaget. "Kamu ngapain disini?"

Arlan tersenyum lalu mengedik pada lukisan gerbong di depanku.

"Jadi ini lukisan kamu?!"

*****

Aku memperhatikan Arlan yang kini duduk di depanku. Anak ini terlihat lebih dewasa dari lima tahun yang lalu. Mungkin sudah masuk SMP atau malah sudah SMA.

"Kamu kelas berapa Lan?" tanyaku kemudian.

"Kelas sembilan kak." Jawabnya setelah menyesap juice apel yang dipegangnya.

"Waaah...sudah gede ya kamu sekarang!" aku tersenyum lebar. Ingat bagaimana lima tahun lalu keadaannya dan teman-temannya yang sangat memprihatinkan.

"Kak Alisha kemana sih? Nggak ada kabar sama sekali?" tanya Arlan lagi. "Kami semua rindu sama kakak lho."

"Kakak pulang ke Bandung Lan. Mama kakak di bandung gak ada temennya."

"Owh....pantes Kak Ale datang sendirian terus."

Aku tecenung sejenak. Mendengar Arlan menyebut nama itu, timbul keinginanku bertanya lebih lanjut padanya.

"Kak Ale masih sering datang?" tanyaku pelan.

"Udah dua tahun ini enggak datang lagi kak. Katanya Kak Ale pindah ke Bali. Jadi dokter hewan di sana." Arlan menjawab dengan santai.

"jadi....dia sekarang nggak di Jakarta?" tanyaku dengan nada kecewa. Sejak semalam terbersit sedikit harapanku untuk bertemu dengannya di tmpat ini.

"Kayaknya enggak deh kak. Soalnya udah menetap di sana katanya."

Aku menunduk kecewa. Mungkin benar, takdir kita memang udah berbeda. Kami tak akan mungkin bisa bertemu kembali meskipun hanya untuk say hello sebagai teman.

"Kakak tau nggak kalau kak Ale itu baik banget?" Arlan kembali mengoceh.

Tau lah Lan, kenapa dulu kakak bisa jatuh cinta sama dia kalau dia nggak baik?

"Baik gimana memang?" aku mengaduk-aduk coklat blend ku dengan tidak semangat.

"Sebelum pindah ke Bali, kami semua dimasukin ke yayasan kak. Semacam sekolah gitu. Yayasan itu membiayai dana pendidikan kami sampai kamu kuliah. Hebat 'kan?!"

Aku mengangguk. Arlan benar, Alexander memang baik, dan hanya aku, arlan dan anak-anak gerbong saja yang tau tentang kebaikan hatinya.

"kamu rindu kak Ale gak Lan?" tanyaku kemudian.

"banget kak." Arlan mendesah. "Kalau kakak?"

Aku hanya tersenyum kemudian menunduk, mengaduk-aduk minumanku.

****** 

iL Legame (tamat)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum