Mata mbok Sumi berkaca-kaca.

"Mbak Alisha yakin. Nggak kasihan sama ibu mbak?"

Aku tak menjawab, hanya meremas tangan mbok Sumi sebelum benar-benar pergi.

Hujan kembali mengguyur perjalananku kembali ke Jakarta. Aku termenung sendirian di dalam bus, dengan mata nanar menatap ke luar jendela. Bus melaju dengan kecepatan sedang, bersamaan dengan lagu Chandeliar yang terus mengalun perlahan dari earphone yang kugunakan.

*****

Masalah ini bukan saja mematahkan hatiku, namun benar-bena membuatku mati rasa. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang selain termenung di dalam kamar selepas kuliah, jarang makan, sering mengidap insomnia, dan jikapun bisa tidur, aku akan terbangun tengah malam karena mimpi buruk, menangis sendirian dengan dada sesak dan nafas tercekik.

Perasaan rindu sekaligus bersalah pada Alexander-lah yang membuatku seperti ini, ditambah lagi rasa kecewa pada mama yang terus memukul-mukul perasaanku membuatku merasa menjadi seseorang yang tak berguna.

Sekarang yang ingin aku tahu, sesakit inikah perasaan Alexander? Sesait inikah perasaan mama? Atau hanya aku saja yang paling terluka dengan keadaan ini? Keadaan yang tak kuinginkan namun memaksaku untuk menjalaninya.

Pagi ini aku membuka mata dengan rasa sakit di sekujur tubuhku dan kepala yang berat. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, beharap pusing ini segera hilang. Namun nyatanya setiap kali aku mencoba untuk benar-benar melebarkan mataku, justru denyut di kepalaku bertambah hebat.

Aku mencoba meraba keningku. Astaga panas sekali! Ditambah pusing yang mendera kepalaku membuatku ingin muntah tiba-tiba. dengan sekuat tenaga, ku geser tubuhku untuk turun dari kasur, namun bukannya bisa berdiri tegak, aku justru terjatuh di lantai dengan lemasnya.

Dalam keheningan ini aku menangis, meringkuk menumpahkan kembali ai mataku yang tak tak pernah kering. Di saat seperti ini, sialnya aku sangat membutuhkan Alexander.

*****

Aku ragu apakah ini mimpi atau bukan. jika ini mimpi, kenapa aku merasa begitu nyata. Namun jika ini kenyataan, aku rasa ini terlalu mustahil.

Keringat dingin masih terasa membasahi tubuhku yang panas. Lemah, itulah keadaanku saat ini. meskipun sekarang sudah terpasang infus di tangaku, namun tetap belum bisa membuatku pulih. Pandanganku masih kabur dan aku tidak yakin apakah ini mimpi atau memang kenyataan.

Sekali lagi, aku sedang meyakinkan diriku bahwa aku sedang terbuai oleh fatamorganaku sendiri. aku mencoba tersenyum sebisaku, tentu saja pada seseorang yang duduk di sampingku dengan wajah khawatir. Berkali-kali aku merasakan jika tangannya mengelus keningku dengan lembut, memberikan kenyamanan yang aku tahu tak akan kutemukan dari tempat lain.

"Apa aku bermimpi....?" Aku mengulurkan tangan, membelai wajahnya dengan pelan. Merasakan lembut wajahnya lewat jemari-jemariku.

"Iya, kamu sedang bermimpi....." katanya.

Aku menarik nafas panjang, mencoba menetralkan perasaan kecewa karena ternyata apa yang kulihat ini bukan nyata.

"sejak kapan kamu datang?" tanyaku lemah, mengusap-usap lengannya dengan lembut.

"Sejak tadi....." jawabnya pelan sambil mengelus pipiku.

"Aku merindukanmu...." bisikku pelan, dan kembali aku tak bisa membendung air mataku.

iL Legame (tamat)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz