Hari Keenam-2

4.9K 64 6
                                    

"Assalamu'alaikum ...." Terdengar salam dari depan rumah. Suara perempuan yang tak asing, Bu Lik Yanti!

Bagaimana ini, bekas tangisan masih kentara meski muka telah kubasuh dengan air berulang kali. Kujawab salam dengan keras supaya Bu Lik Yanti tak telanjur pulang karena mengira aku sedang tidur, kemudian dengan pasrah kubuka pintu.

Bu Lik Yanti dan Pak Lik Udin kaget melihat muka sembab yang gagal terbasuh air. Sedangkan aku kaget melihat Pak Lik Udin ikut datang.

"Shafiyyah lagi tidur. Mari masuk dulu, Bu Lik, Pak Lik," jawabku mempersilakan mereka masuk.

"Bu Lik pengin lihat Shafiyyah tidur ya, Nak." Tangan Bu Lik Yanti dengan lembut menggiringku ke kamar tempat Shafiyyah tertidur. Pak Lik Udin duduk santai di ruang tamu, bersikap seolah-olah tidak melihat ada yang aneh dengan sikapku. Mungkin, agar aku tidak malu.

"Aduh, ada apa, Nduk? Kok nangis sendirian? Suamimu belum pulang kerja, ya?" tanya Bu Lik lirih seketika kami tiba di kamar.

"Ini Bu Lik, Shafiyyah tidak mau minum ASI langsung dari lusa malam. Sepertinya karena tergumpal ASInya, sudah aku coba kompres air hangat, dipompa banyak-banyak, dan lain sampai pusing rasanya, tapi tidak berpengaruh," aduku.

"Oalah, terus Nduk Iyyah minum hasil pompanya, ya?"

"Iya Bu Lik, aku capek ...," isakku tak tertahan lagi. Bu Lik memelukku erat-erat, membisikkan kata-kata penghiburan dengan lembut.

"Menyusui itu tampaknya mudah, tapi kenyataannya tidak segampang itu, Nduk," terangnya ketika tangisku telah mulai reda.

"Iya, Bu Lik."

"Zaman dulu Bu Lik juga pernah mampet gini karena bengkak PDnya. Waktu nyusuin Mbakmu (sepupu), dia juga sempat tidak mau nyusu. Tapi karena tidak tau apa-apa dulu jadi cuma Bu Lik uyek aja PD-nya. Soalnya air susu yang keluar di awal-awal kan encer, ya. Jadi Bu Lik campur di dalam supaya Mbakmu-nya mau," cerita Bu Lik polos.

Cerita Bu Lik mengingatkanku pada konsep foremilk dan hindmilk. Foremilk adalah air susu yang keluar terlebih dahulu, encer, banyak proteinnya yang bagus untuk otak bayi. Sedangkan hindmilk adalah air susu yang keluar kemudian, lebih kental, banyak lemaknya yang bagus untuk badan bayi (membuat bayi lebih gemuk). Ah, mengapa tidak terpikir olehku?

Sebelumnya aku berusaha keras memompa foremilk agar Shafiyyah bisa langsung minum hindmilk yang tidak terlalu encer. Karena ketika minum yang encer, kecepatan keluarnya susu cenderung tinggi,sehingga tak jarang membuat bayi tidak nyaman bahkan bisa gelagapan. Namun, entah mengapa cara ini tidak berhasil membuat Shafiyyah mau menyusu. Entahlah, mungkin karena terlalu kental, dan bayi sedang haus. Aku juga kurang paham alasan-alasannya. Sungguh, terkadang rasanya ingin sekali Shafiyyah bisa berbicara apa keinginannya.

Bagaimana jika foremilk dan hindmilk-nya ku'campur' di dalam PD dengan cara yang Bu Lik ajarkan? Mungkin berhasil, mungkin tidak, tetapi patut dicoba!

Dengan semangat baru kulakukan prosedur peng-uyek-an sesuai penjabaran Bu Lik. Tidak sabar, kucoba menyusui Shafiyyah lagi.

Gagal! Shafiyyah hanya mengulum sebentar lalu melepaskan mulutnya seperti yang sudah-sudah.

Aku tersenyum getir, begitupun Bu Lik.

"Nanti dicoba lagi saja, mungkin Nduk Iyyah sedang ngantuk," hibur Bu Lik memandangi Shafiyyah yang memang langsung tertidur lagi setelah merengek sejenak.

"Baik, Bu Lik," sahutku pelan.

Shafiyyah kugeletakkan di kasurnya, lalu kami mengobrol bersama Pak Lik di ruang tamu. Bu Lik dan Pak Lik menemaniku hingga Suamiku pulang. Katanya, mereka tidak mau membiarkanku bersedih sendirian.

-----

Setelah mereka pulang, aku memompa ASI lagi sebagai stok untuk diminumkan, sekaligus agar bengkak di PD-ku berkurang. Suamiku yang sedang membersihkan diri setelah pulang kerja sekali-kali melirikku dengan tatapan kasihan. Ada beberapa tanggungjawab yang tidak bisa diserahkan pada suami meski istri kelelahan. Hamil dan menyusui adalah salah satunya.

Saat suamiku sedang mandi, Shafiyyah terbangun dengan tangis. Kata beberapa video yang pernah kutonton saat hamil, tangisan bayi ada bermacam jenisnya dan dapat dibedakan. Meski begitu hingga seminggu Shafiyyah bersamaku, aku masih belum bisa membedakannya. Namun, sepertinya dia merengek kehausan.

Kucobakan metode yang diajarkan Bu Lik Yanti tadi dengan tidak berharap apa-apa. Mulut kecil Shafiyyah meraih-raih apapun yang ada di dekatnya akibat refleks yang ada di bayi untuk membantunya minum susu. Ketika kudekatkan PD-ku padanya, Shafiyyah mencecap sejenak, lalu lepas.

Masih nursing strike rupanya. Dengan Shafiyyah masih menangis dalam gendongan, satu tanganku yang lain berusaha 'mencampur' isi susu dalam PD di sisi Shafiyyah. Bismillah ... bismillah ... bismillah.

Kucobakan kembali, dan berhasil!

Shafiyyah benar-benar mau menyusu secara langsung. Alhamdulillah ... alhamdulillah ... alhamdulillah.

Apakah karena aku telah lega setelah melampiaskan emosi dan bercerita dengan Bu Lik? Apakah karena metode Bu Lik memang berhasil? Apakah hanya karena Shafiyyah sedang lapar-laparnya saja?

Entahlah, yang jelas aku sangat bersyukur dia sudah mau menyusu lagi.

Rasanya aku ingin berteriak memanggil-manggil suami, tetapi takut Shafiyyah akan urung menyusu lagi karena kaget.

Air mataku mulai merembes dan mengalir perlahan. Kuseka buru-buru agar tak mengganggu Shafiyyah menyusu. Raut wajah Shafiyyah tampak lebih baik, mungkin karena akhirnya bisa menyusu sepuasnya. Kuelus rambutnya yang masih tipis dengan rasa sayang.

Suamiku datang dan kaget melihat Shafiyyah menyusu dengan lahapnya. Aku mengangguk sembari tersenyum menanggapi tatapan penuh pertanyaan darinya. Lega. Kami begitu lega. Satu masalah terlewati.

Shafiyyah tertidur setelahnya dengan wajah puas karena kenyang setelah sekian lama.

-----

Mamah datang malam harinya karena kabar Shafiyyah telah mau menyusu. Saat sendiri bersama Mamah, tak kuasa aku menahan segala emosi yang berkumpul hari ini. Kupeluk Mamah sambil menangis tanpa mengatakan apapun.

"Kenapa, Nak? Mamah ada salah? Maaf ya, Mamah tidak selalu ada untuk membantumu mengurus Shafiyyah," hibur Mamah seraya mengelus kepalaku perlahan.

"Mah, aku gak mau pakai dukun bayi lagi," ungkapku.

"Lho, kenapa?"

"Gak kuat sama omongannya, Mah. Bisa diberhentikan, gak?"

"Aduh, susah juga soalnya bayarnya per paket empat puluh hari, Nak. Sayang kalau diberhentikan nanti kamu jadi harus bayar harian dan jamu-jamuannya dibayar terpisah, lebih mahal," jelasnya.

"Daripada aku tertekan, Mah. Gak apa-apa, ya? Nanti biar Mas aja yang bayar," bujukku menyarankan pembayaran oleh suami.

"Ya sudah, besok kalau dia datang paginya, kamu kasih tau saja, ya?"

"... baiklah."

Aku tidak ingin melihat muka dukun bayi itu lagi. Semoga besok dia tidak datang karena kejadian tadi. Semoga aku tidak perlu berurusan dengannya lagi.

Dukun BayiWhere stories live. Discover now