"Gue ke minimarket dulu ya Ter...." sebuah ide gila melintas begitu saja. menghalau kewarasanku dan rasa malu yang tiba-tiba saja menghilang beriringan dngan degup jantungku yang memburu. Ada sebuah kilatan perih disana, dan aku tak tau itu. "Lo tunggu disini dulu."

"Ngapain ke minimarket?" tanya Tere bingung.

"Pulsa gue habis." Jawabku asal, dan sebelum Tere kembali bertanya, aku sudah melesat meninggalkannya. Menyebrangi jalan dengan susah payah karena ramai.

Hawa dingin dari AC langsung menerpa wajahku saat aku membuka pintu. sayup-sayup kudengar suara pramuniaga mengucapkan 'selamat datang' meski tak kuketahui wujudnya dimana. Aku mengabaikan itu, berjalan mengendap menyusuri rak-rak putih yang berderet rapi berisi barang-barang yang dijual disana.

Aku melihat siluetnya tatkala berjalan ke arah belakang, di arah display minuman. Jantungku berdegup kian cepat dan nafasku terasa sesak. Apalagi saat melihat dia merangkul cewek itu, persendianku terasa lemas seketika.

"Oke, kita per—" dia bergumam lalu berbalik arah. Belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena terkejut melihatku berdiri di belakangnya.

"Alexander...." desisku lirih, menatap matanya dengan pandangan tak menentu,

Begitu juga dia. aku tak tau apa yang sekarang dipikirkannya, namun aku rasa ia juga terkejut dengan kehadiranku.

"Siapa?" cewek disamping Alexander menoleh padanya.

Namun dia tak menjawab.

Kami hanya saling pandang, dan itu cukup lama. Sampai bunyi chandelier mengalun merdu. Dia sedikit bingung, namun akhirnya menyadari jika itu dari ponselku.

Tere calling.....

"Iya Ter..."

"Lo lama banget sih?"

"Gue nggak jadi makan. Tiba-tiba sakit kepalaku pusing. Gue pulang duluan ya."

Klik!
aku mematikan telepon lantas berbalik pergi begitu saja, memendam rasa gemuruh yang menderu dari dalam hatiku. Sebutir air mata tiba-tiba jatuh begitu saja di pipiku.

Untuk apa?

Entahlah, aku juga tidak tahu.

Yang jelas aku ingat dengan apa yang Alexander katakan waktu itu. Bagaimana cara dia memandang sebuah hubungan dengan lawan jenis.

Friend with benefits.

Sepertinya, aku menjadi salah satu dari perempuan-perempuan itu.

*****

Hei...

Kenapa aku menangis?

Aneh...

Ada nyeri yang kurasakan didadaku setelah pertemuan tak sengaja kami tadi. Aku lupa, terlena sesaat oleh kebaikannya pada anak-anak kecil waktu itu sehingga aku tak ingat lagi bahwa sisi dirinya yang lain, Alexander adalah seorang playboy. Dia tak mungkin akan bertahan dengan satu cewek bahkan menyukainya. Hanya pikiranku saja yang terlalu sempit mungkin. Mengira jika ciuman adalah sebuah simbol cinta dan kita akan bersama setelah itu. nyatanya, bagi Alexander hal itu adalah hal wajar. Jangan ciuman, making love dengan orang lain yang tak dia kenal saja adalah hal lumrah. Jadi kenapa aku musti sakit hati?

Lagu Chandelier menggema dari ponselku. Aku mengangkat kepalaku, menarik bantal lalu meraba nakas yang berada di sampingku. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Aku berfikir sesaat, namun kuabaikan panggilan itu begitu saja sampai suara Sia itu tak terdengar lagi.

iL Legame (tamat)Where stories live. Discover now