"Udah gue bilang jang—"

"Demam." Ia memotong kalimatku dengan santainya.

Aku berdecak, merasa terintimidasi dengan statement-statementnya yang terlalu berlebihan menurutku.

"Ayo!" belum selesai aku berfikir, tangannya sudah lebih dulu menarik pergelanganku.

"Heeeeh! Mau kemana?!" seruku kaget, cowok sableng ini sudah main tarik-menarik tanganku, dan sialnya meskipun aku mencoba dengan sekuattenaga untuk melepaskannya, tetap tidak bisa karena cengkeramannya yang begitu kuat.

"Rumah sakit!" jawabnya enteng, tanpa menoleh kearahku.

"Ngapain? Gue benci rumah sakit!"

Alexander menghentikan langkah, lalu berbalik menatapku.

"Kaki lo infeksi." Wajahnya datar, dan tampak serius. Ia tak terlihat sedangmain-main atau mengajakku bercanda. " Kalau parah, diamputasi emang lo mau?" tanyanya tanpa menatapku. Please, aku punya fobia rumah sakit asal kamu tahu!

Aku mendesis, kembali merasakan bahwa tangannya menarikku lebih kencang, membuat aku mengikuti langkahnya dengan kaki terseok-seok memprihatinkan.

"Iya! Gue bisa ke rumah sakit sendiri." tolakku. "Jadi terimakasih dan lo bisa pergi sekarang."

Dia belum menjawab, karena kami sekarang sudah berada di halaman, dan dia sibuk membuka pintu mobilnya. Sebelum ia mendorong tubuhku untuk masuk ke dalam mobil, ia kembali berbalik.

"Anggap aja ini permintaan maaf gue, karena kelakuan gue kaki lo jadi kek gini!" katanya lantas mendorong tubuhku masuk ke dalam mobilnya yang berbau lavender itu.

Baguslah kalau begitu, jika dia sadar!

****

"Pelan-pelan dok!" aku meringis saat dokter pria berusia lebih dari tigapuluh tahun itu membuka perbanku. Semakin nyeri saja, saat dokter itu menekan-nekan pinggiran lukaku menggunakan pinset.

"Aooow....!" erangku kemudian.

"Waaah, ada nanahnya ini. infeksi." Gumamnya kemudian. Tak terkejut, biasa-biasa saja. mungkin beliau sudah sering melihat hal beginian, lebih parang mungkin.

"In—infeksi dok?" suaraku bergetar. Ingat kalimat Alexander tentang amputasi, membuat tubuhku merinding. "Jadi...diamputasi ya dok?"

Dokter itu mengangkat dagu, daripada melihat lukaku tadi, wajahnya jauh lebih terlihat terkejut mendengar kalimatku. Sesaat kemudian ia terkekah, diikuti seorang suster yang berdiri di belakangnya.

"Siapa bilang? Ini memang infeksi, tapi Cuma butuh di bersihkan ulang, nanti dikasih obat antibiotik." Gumamnya. "Amputasi itu kalau udah parah."

Aku tertawa hambar. Menahan malu. Dalam hati geregetan dengan cowok yang mengantarku datang kemari tadi.

Sreeeek!

Gorden warna biru muda itu terbuka. Umur panjang, cowok itu datang tepat setelah aku membatinnya tadi.

"Nama lo siapa?" tanyanya to the point. Wajahnya datar, terkesan serius malah.

"Hah?"

"Nama lo siapa?!" ia mengulang kalimatnya penuh penekanan.

Aku menaikkan alis. Setelah dengan tak tau dirinya menyeretku kemari, kini dia sudah berani tanya-tanya namaku.

iL Legame (tamat)Where stories live. Discover now