"Oh, emang udah terkenal gitu ya?"

"Terkenal apanya?"

"Playboy-nya."

Abian mengangguk. "Ya kayak gitu, gonta ganti cewek kayak ganti mobil aja."

Aku terkekah. "Mungkin karena tiap hari lihatnya anatomi binatang terus, jadi naluri kebinatangannya muncul."

Abian mengeryit tak paham mendengar lelucon garingku.

"Pa'an sih lo, nggak lucu!"

Aku tertawa. memang untuk hal membuat lelucon, aku paling idak bisa. Bisa dibilang garing dan norak kata teman-temanku.

Abian hanya berada di kosku selama setengah jam. Seelah ngobrol sana sini, akhirnya dia pamit pulang karena harus menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkannya besok. Sedangkan aku setelah memasikan mobil Abian hilang dari balik gerbang, lekas menuju kamarku dengan terseok-seok menahan nyeri yang kembali menjalar di telapak kaki kiriku.

Tepat saat tangaku berhasil merain gerendel pintu, derap suara kaki mendekat ke arahku. Aku menoleh, mendapati Alexander tengah berjalan kearahku. Awalnya aku mau cuek dan tak peduli, namun ia lebih dulu mengatakan sesuatu padaku.

"Kalau nggak dibawa ke rumah sakit mana bisa sembuh." Ujarnya acuh tak acuh tanpa memperhatikanku. Sedangkan tangannya sibuk membuka kunci kamarnya.

"Lo ngomong sama gue?"

Ya iyalah, orang disini cuma ada kita berdua! Emang dia ngomong sama siapa? Angin?! Atau gagang pintu?

"Bawa ke rumah sakit aja." Katanya lagi.

"Nggak perlu."

"Terserah sih, tapi kalau nggak lo bawa palingan juga infeksi." Ia kembali membeo.

Aku menghela nafas kesal, mengurungkan niatku membuka pintu, lalu melipat tangan di depan dada sementara tubuhku mengarah padanya. Secara tidak langsung, ia meragukan Abian dalam mendesinfeksi lukaku.

"Gue heran deh sama lo. Bukannya minta maaf malah ceramah. Lo nggak tau kalau luka ini gue dapat dari lo?! Karena lo suka seenaknya sendiri main kayak begituan di balkon! Lo pikir ini hotel?!" Aku mencibir sedang Alexander tampak tak terpengaruh dengan kalimat-kalimat tajamku.

"Oke, kalau gitu kita ke rumah sakit gimana?" tanyanya kemudian, dan tentu saja dengan eskpresi datar yang membuat aku semakin gemas.

Aku melengos, ingin berteriak,namun kuurungkan karena beberapa penghuni kos lain tampak baru pulang dan melewati kami. Saat bertemu Alexander, dua penghuni kos berjenis kelamin cowok itu menyapanya lalu terus berjalan menuju kamar mereka masing-masing.

"Gimana? Ke rumah sakit mau gak?" ia kembali menawarkan bantuan.

Aku berdecak sebal, membuka pinttu dengan cepat.

"Nggak perlu!" jawabku ketus, lalu menutup pintu kamarku dengan sedikit lebih kasar.

****

"Baiklah, perkuliahan hari ini kita cukupkan sampai disini." Profesor Anton menutup buku tebalnya. Setelah membenarkan letak kaca mata minusnya, ia segera pergi meninggalkan kelas.

Aku memasukkan buku terakhirku ke dalam tas, saat kulihat Tere yang duduk di pojok paling belakang-karena tadi datang telat, mendekatiku.

"Gimana kaki lo?" ia menurunkan penglihatannya, tertuju pada kakiku yang hanya beralas selop. Sebenarnya memakai sandal seperti ini tak diperbolehkan masuk lingkungan kampus, namun setelah aku meminta ijin dan menjelaskan keadaanku pada penjaga, mereka mengijinkanku untuk masuk.

"Ya....beginilah." aku menghela nafas pelan, merasakan jika sejak tadi pagi kakiku lebih sakit dari semalam. Anggap aja proses penyembuhan, agar aku tidak semakin khawatir.

"Kok lo sampe ceroboh banget sih Sha? Mecahin gelas segala. Eh pakek diinjek lagi. Emang lo lagi atraksi debus?" Tere tertawa-tawa, membuat lesung pipinya terlihat dengan jelas. Tere cantik, tentu saja. dengan tubuh mungil dan bibir tipisnya dia berhasil menggaet semua pria yang dia inginkan. Bahkan sampai ke tempat tidur.

Aku tak pernah peduli dengan kebiasaan Tere yang satu ini. yaaa.....mungkin dia sebelas dua belas dengan tetangga kosku yang bernama Alexander itu. namun bedanya, Tere melakukannya dengan rapi, tak membuat kegaduhan atau hal-hal memalukan lainnya.

"Kos lo ada yang kosong gak?" tanyaku kemudian.

Tere mengeryit. "Bukannya lo udah dapet kos ya?"

Aku menghela nafas. "Iya, tapi....." Aku menjeda kalimatku. Sepertinya aku tak perlu membicarakan tentang masalahku. "Kurang nyaman aja."

Tere terkekah. "Kalau tinggal di sana aja lo nggak nyaman, apalagi di tempat gue!"

"Lha emang kenapa?"

"Sebelas dua belas lah sama kos yang lo tempati. Lebih berisik malah. Pemandangannya juga nggak secantik tempat lo." Jawabnya. "Tapi Glen suka, ya.....apa boleh buat!"

Aku berdecak.

"Emang lo maunya kos yang seperti apa sih Sha?" Tere mengelus rambut panjangku. "

"Yang serba tertutup dari dunia luar? Yang privasi lo bener-bener bisa terjaga dengan baik? Yang bebas cowok, pasangan mesum atau yanglainnya?"

Aku tak menjawab. mungkin aku harus menjawab iya.

Tere beringsut, mendekatiku. "Sha, sebagai cewek yang udah sering ngekos, gue udah pengalaman. Memang ada kos yang bebas kayak kos gue atau kos lo, ada juga kos yang super tertutup sampai jam malam aja dibatasi, cowok gak boleh masuk, keluarga harus ketemu di ruang tamu bahkan tukang galon pun di larang masuk."

"Tapi lo harus tau Sha, yang namanya tinggal bersama dengan orang-orang dengan berbagai karakter, sikap dan asal usul berbeda emang gak mudah. Lo harus ngebiasain diri. Semua ada plus minusnya kalau menurut gue sayang."

"Contohnya, kalau lo kos di tempat yang super privasi dengan jam malam yang udah diatur, lo emang nggak bisa beriteraksi dengan cowok di dalam kos, tapi waktu lo terbatas. Dan bukan berarti cewek yang kosnya tertutup itu juga tertutup, mungkin mereka hanya tidak ingin dipandang jelek saja di depan banyak orang. So....."

"So?" Aku menaikkan alis.

"Coba deh lo mulai membuka diri lo untuk menerima semua watak dan sifat berbeda dari orang-orang di sekeliling lo." Tere tersenyum. "Lo bisa nerima gue, kenapa nggak bisa nerima orang lain sayang?"

Aku tak menjawab. memang, aku bisa bersahabat baik dengan Tere terlepas dari sifat kami yang berbeda. Aku introvert, menilai orang dari apa yang aku lihat. Tidak mau menerima perubahan, dan juga menganggap sesuatu yang NGGAK sesuai dengan pribadiku itu adalah salah. Sedangkan Tere adalah cewek ekstrovert yang bisa bergaul dengan siapa saja, bahkan ibu-ibu tukang sayur pun bisa jadi teman ngobrolnya. Anaknya asik, wawasan luas, supel dan selalu menganggap bahwa dibalik kelebihan seseorang pasti ada kekurangannya.

Alasanku tetap bersahabat dengannya adalah karena kami sudah mengenal lama. Bukannya aku tidak terkejut saat tahu bagaimana dunia Tere yang sebenarnya. Awalnya aku menolak, dan menganggap cewek seperti Tere adalah biang masalah, dan bahkan sampai sekarang mama dan papa tidak menyukai sahabatku itu karena sifatnya. Namun di sisi lain Tere baik, sangat baik. Bahkan dia adalah teman curhatterbaik yang kumiliki setelah Abian. Jadi saat aku bisa menerima Tere, kenapa aku tak bisa menerima orang lain di hidupku?

iL Legame (tamat)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz