***

“Gimana bang? Sakit?" Tanya Riski setelah Rayan dan Ardhi pulang kerumah.

Rayan tidak menjawab apa-apa, melainkan hanya menganggukkan kepalanya  sembari menunjukan tangannya yang sedang di perban.

“Papa pergi dulu ya,” teriak Ardi yang sedang buru-buru kepada semua keluarga.

“Papa mau kemana bang” Tanya Riski bingung.

“Ke rumah sakit, tadi dapat telfon, ada pasien UGD” Jawab Rayan.

Setelah itu Rayan membuka perban tangannya untuk memberikan obat untuk bekas luka dari proses penghapusan tatonya.

“Sini bang, Riski bantuin !” Ucap Riski.

Riski pun membantu Rayan membuka perban dan mengoleskan obat yang telah di resepkan sebelumnya.

Terlihat begitu jelas bekas penghapusan tato itu, seperti luka bakar yang yang terkena air saat lagi panas-panasnya, kulit tangan Rayan bergelombang, dan memiliki bercak-bercak merah seperti darah.

Saat mengoleskan obat di tangan Rayan, terdengar rintihan kecil yang keluar dari mulutnya, dia benar-benar menahan sakit dari proses itu, Rayan memang bersungguh-sungguh dalam mengambil keputusan untuk menghapus tatonya.

Setelah selesai dan memasang perban yang baru, tiba-tiba Riski memberikan telpon genggamnya ke pada Rayan.

“ Ini bang, papa mau bicara,” Ucap Riski.

Riski hanya melihat, Rayan yang sedang berbicara dengan papa Ardhi, dia melihat ekspresi dari wajah Rayan yang tiba-tiba berubah, dari yang sebelumnya biasa saja kini menjadi sedikit sinis, tatapan Rayan menjadi sedikit tajam, dia sedikit menggenggam  telfon genggam yang ada di tangannya,

Rayan sempat terdiam sejenak, dia mengambil nafas panjang berkali-kali untuk menenangkan fikirannya. Beberapa saat kemudia Rayan kembali berbicara.

“ Pa, Rayan kesana saja, Rayan mau lihat."

Rayan pun megembalikan tefon genggam Riski, dan dia segera buru-buru bersiap untuk pergi, Riski pun menghambatnya dan bertanya ada apa yang terjadi, setelah mencertakan hal yang sebenarnya Riskipun menawarkan diri untuk mengantarkan Rayan pergi ke rumah sakit dengan menggunakan sepeda motor.

Setelah sampai di rumah sakit, Rayan langsung pergi untuk mencari papa Ardi, dia sangat terburu-buru hingga dia meninggalkan Riski di parkiran rumah sakit.

“Di mana ruanganya Pa?” Tanya Rayan setelah bertemu papa Ardhi
Ardhi menunjukan ruangnnya yang berada tidak jauh dari tempatnya berada.

Rayan pun melangkah menuju ruangan yang telah di tunjuk oleh Ardhi, dia mengintip dari kaca yang terdapat pada pintu rungan itu. Di situ terlihat jelas, sosok yang baru saja beberapa hari yang lalu memaki-makinya di depan umum, sosok yang dulu pernah mengusirnya dari rumah.

Itu adalah ayah kandung Rayan, dia baring di atas tempat tidur rumah sakit itu, ada perban yang menutupi kepalanya, begitu juga dengan kakinya yang di perban dan dipasangkan 2 buah kayu sebagai penyangga.

Ayah Rayan mengalami kecelakaan di jalan Raya, dia mendapatkan luka yang cukup serius, dia mendapatkan luka pada bagian kepala dan patah di kaki sebelah kirinya.

Rayan masuk ke dalam ruangan itu tanpa mengetuk pintunya, terlihat ayah kandungnya yang sedang tak sadaran diri. Rayan mendekat pelan hatinya begitu sakit melihat ayah kandungnya terpapar kaku di hadapannya.

Sekejam apapun ayahnya , sebenci apapun , orang tua kandung tetaplah orang tua kandung, tetap saja Rayan merasakan kepedihan di hatinya ketika melihat ayah kandungnya yang kejam itu mengalami ini semua.
Saat Rayan mulai terhanyut , tiba-tiba ayah kandungnya terbangun dan menatap tajam ke arah Rayan. Tatapn penuh kebencian itu masih saja di keluarkannya meskipun dalam keadaan seperti itu.

Rayan berusaha menenangkan ayahnya, dengan sedikit mengangakat kedua tangannya dan bergerak sedikit mundur.

“ Saya baru ingat, kenapa saya bisa seperti ini, setelah bertemu kamu anak durhakan, saya sial.” Bentak Ayah Rayan dengan kasar.

Ayah Rayan berusaha bangun dan beridiri untuk menggapai Rayan. Tetapi dengan kondisi kaki yang seperti itu , untuk menggerakkan kakinya sajat dia kesulitan.

“Keluar kamu dari sini, kamu hanya membawa kesialan untuk saya.”

Lagi-lagi ayah Rayan berteriak kasar.

“ Tenang yah, ayah harus tenang, harus banyak istirahat, biar cepat sembu.” Ucap Rayan lembut.

“ Peduli apa kamu saya saya? dasar anak durhaka.”
Mendengar perkataan itu, Rayan pun mundur, dan lekas keluar dari ruangan itu. Rayan terdiam cukup lama, di depan pitu ruangan itu, Rayan tertunduk kaku.

“ Sudah nak, mungkin Ayah kamu butuh waktu , kamu harus sabar, jangan lawan kekerasan dengan kekerasan.”

Rayanpun duduk di kursi tepat diruangan ayahnya berada, dia tidak bisa masuk ke dalam ruangan ayahnya di rawat, karena takut akan memperburuk keadaan. Tak ada kekesalan, tak ada makian yang keluar dari mulutnya. Hanya untaian doa untuk kesembuhan ayahnya.

Rayan Story (On Going) Where stories live. Discover now