Masa Rehab 2

629 87 3
                                    

Jangan lupa komen ya? 😁
.
.

"Tolong.. Tolong."

Teriak seorang suster yang sedang berdiri di depan pintu kamar Rayan.  Beberapa orang suster lainya berlari menuju kamar Rayan, terlihat kondisinya yang sedikit buruk.

Posisi Rayan terbaring dengan kepala berada di lantai dan kakinya tetap di tempat tidur. Mukanya yang pucat dan mata yang sayu membuat dia terlihat antara sadar dan tidak sadar, terlihat beberapa cairan bekas muntahnya yang berceceran di lantai.

Ini adalah sebuah gejala putus obat, atau yang biasa disebut dengan sakau. Gejala ini lumrah terjadi pada pecandu yang tak lagi mendapatkan obatnya.

Salah satu suster lekas dengan sigap memberikan pertolongan pertama kepada Rayan. Dia memopoh tubuh Rayan untuk  duduk di atas tempat tidurnya. Rayan diberikan beberapa butir obat dan segelas air.

“Bagaimana keadaan kamu Rayan? Sudah enakan?” Tanya seorang suster.

Rayan hanya menganggukan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Beberapa saat kemudian keadaan Rayan mulai membaik, entah obat apa yang di minumnya tadi , yang jelas obat itu membantunya kembali pulih.

Dihari kedua rehab ini, Rayan mulai merasakan efek dari putusnya barang haram itu. Rayan mulai merasa gelisah dan pesimis. Apakah dia benar-benar bisa melalui ini semua??

Bagaimana dia bisa menahan rasa sakit yang luar biasa itu setiap hari?

Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya.

Hampir setiap saat tangan Rayan bergetar tanpa bisa di kontrolnya, sesekali dia mengeluarkan keringat dingin. Rayan terus menahan rasa inginya akan barang haram itu, mesekipun sesekali Rayan membongkar tas dan menarik-narik bajunya keluar dan berharap ada barang haram itu terselip di salah satu bajunya.

***

Pagi berikutnya Rayan tiba-tiba di panggil oleh seorang suster untuk menghadap ke pada dokter untuk melakukan konseling.

Saat konseling Rayan kembali bertemu dokter Wahyu, sebelumnya mereka pernah bertemu sebelum Rayan rehabilitasi.

Lagi-lagi Rayan masuk keruangan Dokter Wahyu dengan kepala tertunduk, dan langsung duduk saat di persilahkan.

"Bagaimana? Kerasan disini?" tanya Dokter Wahyu sambil tertawa.

Mendengar tawa dari dokter, Rayan langsung tersentak dan menegakkan kepalanya, dia tau Dokter itu tertawa hanya untuk mencairkan suasana hatinya yang suram ketika melangkah masuk ke dalam ruangan Dokter Wahyu.

Di sepanjang konseling Dokter Wahyu lebih banyak berbicara dari pada Rayan. Dokter menjelaskan dan meyakinkan Rayan bahwa yang terjadi padanya di waktu lalu itu adalah hal yang lumrah. Semua orang yang melakukan rehab pasti akan merasakan hal yang sama.

“Disini kami hanya membantu dan menyediakan fasilitas, yang bisa membuat sembuh tentu diri kamu sendiri Rayan.” Ucap dokter Wahyu.

Mendengar ucapan itu Rayan kebingungan, terlihat dari tatapan mata Rayan ke arah dokter . yang mengisyaratkan banyak tanda tanya.

Rayan kembali masuk ke dalam kamar.  Pikirannya berkelana kemana-mana.  Baru 2 hari dia tidak mengkonsumsi obat haram tetapi efeknya sampai membuat dia diujung jurang kematian dan kegilaan.

"Ini makan siangnya," ucap seorang bruder ( Sebutan untuk perawat laki-laki ). Dia meletakkan sebuah piring dan gelas di atas meja samping tempat tidur.

Rayan tidak menjawab,  dia hanya fokus menatap langit-langit yang ada di kamar.

Tidak ada harapan yang bisa Rayan pertahankan.
Sejujurnya dia juga tidak sanggup berada di sini.

"Apa ada orang mati di sini?" tanya Rayan tiba-tiba.

"Kenapa bertanya seperti itu,  di sini tidak ada hantu.  Apa kamu berhalusinasi?" Bruder tersebut balik bertanya.

"Bukan itu maksud pertanyaan saya,  Apa di sini ada orang yang mati karena tidak sanggup?"

Hening,  tidak ada jawaban yang sudah Rayan tunggu-tunggu. 

Namun langkah kaki yang perlahan menjauh dapat dia rasakan.

"Rayan percayalah,  Kamu akan sembuh."

Perkataan yang membuat Rayan mengeluarkan senyum penuh luka.

Sembuh hanya bualan belaka.

Perlahan perasaan menjadi tidak nyaman kembali.  Keringat dingin mulai berjatuhan.

Rayan menggenggam erat lengannya untuk berusaha menghilangkan rasa yang mau mengcekiknya.

"Gue nggak bisa,  Akhhhh." Rayan mulai tidak terkendali.  Dia meringkuk di sudut kamar sambil membenturkan kepalanya berkali-kali.

"Gue mau mati,  gue mau mati." Berulang-ulang kali Rayan mengucapkan kalimat itu sampai nafasnya tidak beraturan lagi.

Kilasan masa lalu kelam tiba-tiba datang tanpa permisi.  Kilasan itu seperti kaset rusak yang berputar berulang-ulang kali.

"Gue benci gue benci," racau Rayan sambil melempar semua yang ada di dalam kamar.

Brakkk
Brakk
Brakk

"Gue mau mati,  gue mau mati. "

Rayan mengambil pecahan gelas yang sudah berada di lantai.
Sambil menarik nafas panjang Rayan menggegam erat pecahan gelas tersebut dengan tangan kanannya, dia mengumpulkan keberanian  untuk melakukan sesuatu yang tak pernah di bayangkannya sebelumnya.

Rayan sudah tidak sanggup lagi menahan semua rasa sakit yang di deritanya, dengan menutup mata,  Rayan mengarahan pecahan kaca ke pergelangan tangan kirinya. Rayan begitu pasrah dengan hidupnya.
Disaat bersamaan salah satu suster menjerit dari pintu kamar, Rayan terkejut dan dengan reflek mengarahkan pecahan kaca itu ke arah suster.

Dalam waktu yang singkat saja, kamar Rayan telah di penuhi oleh orang-orang.  Rayan merasa takut, dari genggaman tanganya mulai menetes cairan merah kental sedikit demi sedikit.

Sambil berjalan mundur Rayan kembali mengarahkan kaca tersebut ke tangan kirinya, dengan menggelengkan kepalanya dia seakan memberikan isyarat kepada orang-orang yang ada di depanya untuk tidak menghentikannya.

"Pergi kalian,  pergi."
Sesekali Rayan menggigit kuku jari tangannya dan menggigil.

Tanpa sadar Rayan menabrak sebuah meja yang ada di belakangnya, keseimbangannya tiba-tiba menghilang. Dengan cepat salah satu bruder menahan tangan Rayan yang mulai licin oleh darah. Tubuh Rayan yang hilang keseimbangan membentur bruder yang mencoba menolongnya itu. Mereka roboh ke lantai bersama-sama.

Tak ada perlawanan , tak ada gertakan lagi. Hanya tangisan yang keluar dari Rayan saat terbaring diatas lantai. Rayan menjerit dengan kerasnya. Dia ingin melampiaskan kemarahanya karena mencoba berbuat sesuatu yang bodoh.

"Abaah.. Abaaah tolong."

Sesekali kata itu keluar beriringan dengan tangisan Rayan yang belum meredah.

Rayan di popoh kembali ke atas tempat tidurnya. Hanya butuh satu orang untuk melakukan hal itu, karena efek obat-obat an Rayan begitu banyak kehilangan bobot tubuhnya. 

Tangisan itu mulai meredah, saat para suster selesai mengobati tangan Rayan yang sedikit luka karena menggenggam pecahan kaca.
Meskipun di tempat rehab, banyak sekali yang memperhatikan Rayan, tetap saja dia merasakan seperti sendirian.

Rayan begitu kesepian, tak ada Feri yang menemaninya bergelak tawa, tak ada Abah yang selalu menasehatinya.

.
.
.
Jangan lupa baca Al-qur'an every time
Zikir pagi dan petang juga ya💕💕

Rayan Story (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang