Bab 4 Mengaku Iya

Start from the beginning
                                    

"Eh, maaf maaf," Vito tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya yang sudah dipastikan tidak gatal itu. Chika hanya membalasnya dengan senyum canggung. Ia menjadi semakin tak paham, kenapa setiap kulit Vito menyentuh dirinya, membuatnya tertegun. Membuat dadanya tersentak dengan rasa hangat yang tiba-tiba mencuat. Chika benar-benar tak paham.

*

Sepanjang jalan, tak ada yang tak ditanyakan oleh Chika. Gadis itu benar-benar seperti anak TK yang baru pertama kali di bawa ke kebun binatang, semua ditanyakan. Namun, tak ada rasa lelah untuk Vito menjawabnya, dia malah bahagia bisa mendengar suara Chika. Bahkan, dam-diam dia merekam suara Chika di dalam memori kepalanya. Suara yang mungkin nanti akan menjadi lantunan favorit Vito, mungkin.

Berulang kali, Chika mengeratkan pengangannya di kaos Vito saat motor melewati jalan yang kurang bersahabat. Hanya pada kaos lah dia memasarahkan keamanan dirinya. Melingkarkan tangannya di perut Vito seperti yang di lakukan Lala ke Zee? Jelas tidak mungkin, dia tak seberani itu dan tak selancang itu. Vito siapa? Hanya orang yang baru dikenalnya tiga hari ini. Meskipun dalam diri ingin, ingin hanya agar semakin aman membonceng di belakang, itu saja.

"Kak, itu apa gak serem ya rumah sendirian di situ, deket pohon gede lagi. Aku aja liatnya merinding," tanya Chika saat melihat bangunan berwarna putih menyerupai rumah yang letaknya tak jauh dari jalan yang ia lewati. Hanya saja bangunan itu samping-sampingnya berupa sawah dan di dekatnya ada pohon yang lumayan besar dan terlihat lumayan mistis.

"Itu bukan rumah, Chika. Tapi kaya kali gitu di dalemnya,"

"Ha?" Chika terkejut. Dia pahamnya kali ya mengalir panjang, terbuka, tidak ada bangunan yang melindunginya. "Ihh, mata air mungkin kak maksudnya," Chika protes. Karena menurutnya tidak nalar jika itu aliran kali.

"Eh, iya itu maksudnya haha," dengan gemas, Chika memukul punggung laki-laki yang masih tertawa itu.

"Haha. Mau ke sana lihat gak? Ada macem kolam renangnya loh, tapi gak boleh buat berenang,"

"Gak ah, serem gitu kak kliatannya,"

"Emang horor hehe," mendengar kata horor, tubuh Chika langsung merinding, ia pun mengeratkan peganganya pada kaos Vito. Mereka memang sudah agak jauh, tapi saat ini mereka sedang melewati jalan yang kanan kirinya hanya kebun jati seperti kebun depan rumah kakek Vito.

"Mitosnya sih, pohon gede tadi, itu gak bisa ditebang. Tiap coba ditebang, yang keluar bukan getah, tapi darah gitu," Vito tersenyum saat ia merasakan tangan Chika melingkar dengan agresif di perutnya, punggungnya juga terasa berat.

"Terus juga, Budhe saya pernah itu, Chika, diketawain sama penghuni situ pas lewat,"

"Om saya malah ditepok pundaknya," Vito mengulum senyum. Sepertinya berhasil sedikit menakut-nakuti Chika.

"Udah ih kak, ngeri dengernya. Aku di belakang loh ini," Chika masih dengan erat memeluk Vito dari belakang. Dia terpejam, menenggelamkan wajahnya di punggung Vito.

Cukup lama ia dalam posisi itu, entah sadar atau tidak, degup jantung milik Chika yang terpacu akibat rasa takut dengan cerita Vito, perlahan kembali tenang. Agak samar, tapi cukup terdengar detak jantung Vito itu di telinga Chika. Bahkan, dia mengerjap beberapa kali sebelum menarik kepalanya.

Kembali, ada rasa hangat yang menjalar menyengat rongga dadanya. Kali ini begitu nyata, begitu terasa. Entah apa yang ingin Tuhan tunjukkan lagi ke Chika, angin yang tadi Chika abaikan, tiba-tiba menusuk indra penciumannya dengan membawa bau parfum Vito. Aroma mint dan citrus secara bersamaan menyeruak memenuhi penciuman Chika. Seperti bau ocean yang benar-benar bisa mengendurkan semua syaraf. Chika merasa tenang, benar-benar tenang dan nyaman.

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now