une

95 48 37
                                    

Sinar matahari menyelinap masuk dari celah jendela. Sinarnya terus bergerak hingga membuat rautan garis garis diwajah sang empunya kamar. Perlahan mata Niar terbuka, karena tidurnya terusik cahaya. Matanya sempurna terbuka, perlahan kesadarannya pun mulai penuh. Ia memandang kamar barunya, kamar yang akan ia tempati sekarang. Kamar yang akan menjadi saksi perjalanan hidup yang baru akan dimulai. Ia tersenyum singkat memadang kamar ini.

Ia beranjak untuk duduk, mengambil sesuatu diatas nakas. Seperti remaja pada umumnya, hal pertama yang dicari saat bangun tidur ialah ponsel. Ia membuka lockscreen yang menampilkan grup favoritnya, One Direction. Senyum kecut yang ia tampilkan setelah membuka ponselnya. Tak ada satu pun notifikasi yang ia peroleh. Ia membanting ponselnya, mengusap wajahnya kasar. Ia seperti dibohongi harapan. Harapan yang sudah ia sisipkan, tapi ia pergi bersama angan.

Niar melangkahkan kakinya ke kamar mandi, untuk sekedar membersihkan diri. Sepuluh menit kemudian ia keluar dari kamar, menganti pakaiannya dengan hoodie dan celana training. Ia memutuskan akan pergi keluar sejenak, untuk mencari udara pagi yang masih tersisa di hari yang semakin siang ini. Jam masih menujukan pukul enam lewat lima belas menit, belum terlalu siang untuk sekedar berolahraga pagi.

Ia keluar kamar menemukan Neneknya sedang bergulat di dapur dengan peralatan masak. Pemandangan indah yang akan ia lihat setiap harinya, paginya akan ada yang menyambut. Ia lantas berjalan mendekati Neneknya dan memeluknya.

"Pagi Nenek," ucap Niar, ada raut gembira diujung suaranya.

"Pagi anak baik, ucap Neneknya," belum ada satu detik Neneknya sudah berbalik melihat Niar lagi. Menatapnya dengan tatapan tanya, dan dongakan kepala yang diarahkan ke pakaian Niar.

Ia menganggukan kepala, mengetahui pertanyaan yang Neneknya maksud.

"Niar mau mencari udara segar pagi hari, bolehkan Nek?"

"Sebentar, Nenek selesaikan masak dulu,"

"No, aku sendiri saja,"

"Apa kau tahu jalan?"

Ia menganggukan kepala, mencoba meyakinkan Neneknya. Menyatukan jari jempol dengan jari telunjuk membentuk bulatan, yang pertanda ok. Ia mencium Neneknya, lalu pamit keluar.

"Kalau kesasar telpon ya! teriak,"Neneknya dari dalam.

Niar tersenyum sambil mengeleng-gelengkan kepala. Niar memang baru sampai di desa ini, tapi bukan berarti ini yang pertama kali untuknya. Ia lebih sering ke desa ini, dibandingkan kedua orang tuanya, dan kakaknya. Kemungkinan ia tersesat hanya beberapa persen saja.

Kakinya terus melangkah maju, entah berapa jarak yang akan dia tempuh. Hingga akhirnya berhenti, di pinggir sawah. Sawah yang terbentang luas, tanaman tanaman yang siap panen, dan embun yang senantiasa menghiasi segarnya udara pagi ini. Ia menarik napasnya dalam dalam, menghirup udara segar yang tidak pernah ia dapatkan di kota besar. Menghembuskannya perlahan, menikmati setiap hembusan yang keluar dari hidungnya. Udara yang sangat segar, belum terkontaminasi polusi sekalipun.

Niar bergerak perlahan, menduduki sebuah dudukan yang terbuat dari semen. Ia mengambil ponselnya untuk mengabadikan potret desa pagi ini. Ia memotretnya, dua jepretan dengan kontras berbeda ia dapatkan. Jepretan yang indah, dari pemandangan yang indah. Semesta selalu tahu cara bahagia. Ia menyugukan banyak hal untuk dinikmati, seperti sekarang ini Niar sedang menikmati apa yang ada didepan matanya.

Hari semakin siang, para petani sudah berada disawah. Mereka siap memanen tanaman mereka. Terlihat raut wajah gembira mereka karena penantiannya untuk hasil panen yang baik, akan segera mereka dapat. Tunggu, ternyata tidak hanya petani banyak para pedagang keliling ada disana. Bukan seperti membawa gerobak, tapi pedagang yang membawa barang yang akan dijualnya didalam tanggok, lalu diemban mengunakan kain. Terlihat menjual beberapa sembako yang sering kita butuhkan, seperti gula, mie instan, kopi, dan ada pula yang menjual es dawet.

Pedagang itu berkeliling membawa dagangannya, mendatangi para petani yang sedang memanen. Entah terjadi negosiasi apa sampai akhirnya mereka bertukar barang, yaitu beras dengan sembako. Hal itu terjadi lagi antara pedagang dan petani. Tidak sebanding sebenarnya antara beraas dan sembako, namun sudah tradisi. Pedagang juga butuh beras untuk komsumsi sehari-hari.

Sampai akhirnya Niar memutuskan untuk pulang, hari sudah semakin siang. Takut Neneknya mencarinya, karena terlalu lama mencari angin segar. Kakinya bergerak perlahan menyusuri lingkungan desa. Melihat berbagai aktifitas warga desa yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Seorang Ibu yang sedang bersiap menjemur hasil panenannya. Seorang Bapak yang sedang mengeluarkan ternaknya dari kandangnya, memberi makan dan minum. Seorang ibu yang sedang memukul-mukul kasur yang dijemurnya. Sungguh pemadangan yang tidak pernah ia lihat di kota sebelumnya.

"Nduk, kamu cucunya Nenek Sari ya?" tanya seorang Ibu menegur Niar. Warga desa disini terbilang sangat ramah, mereka akan dengan senang hati menegur bila bertemu dijalan. Tidak saling kenal pun kadang menganggukkan kepala tanda mereka berpas-pasan dijalan.

"Iya bu," ucapnya sambil mengangguk tanda menghormati.

"Orang tuamu ndak ikut pulang?" tanyanya lagi.

"Ngga Bu, duluan ya Bu," jawab Niar sopan, ingin mengakhiri pembicaraan ini, sebelum berujung menjadi narasumber dan pewawancara.

"Piye to, kerjaan dinomer satukan, anak dan orang tua dinomer sekiankan," ucap ibu itu pelan, meski pelan tetap terdengar ditelinga Niar yang berjalan belum terlalu jauh.

Senyum tipisnya berubah jadi senyum kecut. Orang luar seperti tau apa yang terjadi didalam keluarganya. Ibu itu menerka-nerka sebuah informasi kecil, bagaikan sudah tau isi sebuah permasalahan. Terkadang orang lebih senang menilai apa yang orang punya dari pada apa yang bisa mereka punya. Ingin marah pun ia tak berhak, orang berhak berkata apa saja, mungkin yang dikatakan Ibu itu juga benar. Namun, sangat disayangkan bila penyampaiannya yang begitu terkesan menyatuhkan. Bagaimanapun, seorang anak tidak akan senang bila nama orang tuanya dibicarakan, walaupun mungkin yang dikatakan ibu itu benar.

Ia menghapus semua pikiran-pikiran yang lewat dikepalanya baru saja. Bukankah, hidup harus terus berjalan, dan menanggapi sesuatu yang seharusnya tidak dijadikan masalah hanya buang-buang waktu. Niar menghela napasnya, menghapus sedikit kekesalan yang baru saja ia dapati. Kakinya terus melangkah menuju rumahnya kini.

"Ia tersenyum, Ternyata perjalanan sudah dimulai, tanpa perlu aba-aba," ujarnya.

Update lagi. Semoga suka sama ceritanya ya, nggak suka juga gapapa dicoba dibaca aja. Siapa tau sampai hati. Jangan lupa vote dan comment ya!

TemporaryΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα