Bab Ketiga

63 11 14
                                    

Arsenio melangkahkan kakinya dengan cepat, semakin masuk ke dalam hutan. Sebab, dalam mimpinya yang terasa begitu nyata semalam, sang istri menyuruhnya untuk segera mencari putra mereka di hutan. Dia tak boleh mengabaikannya begitu saja. Matanya yang sudah mulai rabun jika melihat jarak jauh, dikucek berkali-kali untuk memastikan pandangan. Di depan sana, dia melihat sosok Reyyan yang berjalan sambil menunduk membawa ranting. Segera Arsenio menghampiri.

“Reyyan!”

Lelaki muda yang mendengar namanya dipanggil pun lantas menoleh. Beberapa langkah di depan, dia melihat ayahnya berdiri dengan tatapan haru.

“Pulanglah, Reyyan. Kota dalam keadaan tidak baik.”

Reyyan hanya menatap datar. Tak memberi tanggapan apa-apa. Lelaki itu membuang ranting yang sedari tadi dibawanya, untuk mengusir beberapa hewan yang mengganggu.

“Untuk apa?”

Nadanya terdengar seperti tidak peduli lagi. Toh, dia sudah diusir, kan? Untuk apa kembali? Rasa sakit itu masih saja berbekas dalam hati. Reyyan belum bisa menghilangkannya.

“Menolong kami,” ucap Arsenio dengan pelan. Jujur, dia juga tidak bisa berharap lebih. Pengusiran dari kota tempo lalu pasti membuat anaknya kecewa dan marah, tentu saja.

“Hah? Kau bilang menolong, Tuan Arsenio? Aku tidak salah dengar, kan? Cih, aku tidak sudi!”

Ucapan itu terlontar begitu saja oleh Reyyan. Lelaki itu merasa bersalah dalam hati setelah mengucapkannya. Tapi, memang benar adanya begitu, kan? Setelah disia-siakan, dengan seenak hati dia diminta untuk menolong. Lucu sekali orang-orang Arciplants West itu.

“Ibumu yang memintamu kembali, Reyyan.”

“Tidak mungkin,” ucap Reyyan refleks. Lelaki itu mundur selangkah dari tempatnya, lalu diam seperti patung.

“Pulanglah dulu bersama Ayah, kau bisa lihat semuanya sendiri nanti.”

Reyyan tak mendengarkan lagi. Lelaki itu berlari pergi meninggalkan sang ayah sendiri. Itu semua tidak mungkin. Ayahnya pasti berbohong. Bagaimana ibunya yang sudah meninggal bisa berbincang dengan Arsenio? Itu gila.

Sedangkan di tempatnya, Arsenio hanya menatap miris pungung putranya yang berjalan menjauh. Reyyan sudah tak percaya padanya. Dia juga tak ingin mengejar, Arsenio yakin jika Reyyan akan semakin menghindar. Pria paruh baya itu akhirnya berjalan menuju sebuah pohon rindang dan duduk di bawahnya. Dia mengusap wajahnya frustrasi. Entah apa yang harus dilakukan, agar keadaan bisa baik-baik saja.

“Karlottte, aku tidak bisa,” desahnya dengan nada lumayan keras. Tidak akan ada yang mendengar. Saat ini kau berada di hutan, Arsenio. Di hutan.

“Kumohon, bujuklah putra kita itu. Aku yakin dia akan mendengarmu. Datangi dia seperti kau mendatangiku tempo hari, Sayang. Kumohon.”

***

Di Arciplants West, beberapa tabib sedang berkumpul untuk mendiskusikan cara untuk mengatasi wabah yang saat ini melanda kota. Sebelum Arsenio mendapatkan Edelweissigra, hidup mereka tak akan bertahan lama. Danau Sadnatt saat ini sudah semakin keruh airnya, mereka hanya bisa bergantung ke sumur yang ada di dekat balai kota. Sumber mata air lain yang mereka miliki. Tapi, sumur itu pun tidak bisa menjamin. Air di dalamnya mungkin hanya mampu untuk bertahan selama satu atau dua bulan saja. Beberapa bulan terakhir, di Arciplants West memang tak turun hujan sama sekali. Kemarau panjang.

“Jadi, untuk warga yang masih sehat, usahakan berdiam diri di rumah. Gunakan air seperlunya saja. Untuk minum, memasak dan hal penting lainnya.” Tabib tertua diam sejenak, lalu matanya mengarah ke salah satu muridnya. “Kau, Mario, dan istrimu Maria, kalian berdua teruslah mencoba membuat obat untuk menguatkan daya tahan tubuh. Mengerti?”

Kedua orang yang disebut namanya pun mengangguk, mereka berdua memang masih mencoba membuat ramuan itu. Terlebih, untuk putri mereka sendiri. Sirra.

“Ada yang ingin ditanyakan lagi? Jika tidak, pertemuan kita selesai untuk kali ini. Kita berkumpul lagi minggu depan.”

Di saat semua orang ingin meninggalkan tempat diskusi, Sirra masuk dengan terburu-buru. Napas perempuan itu tersengal-sengal, wajahnya penuh dengan keringat.

“Ada apa, Sirra?” Mario yang bertanya pertama kali. Padahal tadi dia sudah menyuruh Sirra untuk tetap di rumah bersama Ren.

“Di-di sumur balai kota ....”

Ucapan Sirra terputus-putus karena pernapasannya belum stabil. Mungkin perempuan itu berlari cukup kencang tadi. Itulah sebabnya menjadi seperti ini.

“Di sana, banyak sekali orang-orang yang mengerumun. Beberapa di antara mereka malah bertengkar. Saling adu mulut satu sama lain.”

“Mari kita ke sana.”

Mendengar perkataan sang tabib ketua, semua mengangguk mengerti. Mereka langsung berlari ke sumur balai kota. Ternyata benar, di sana sudah ada dua orang warga yang berkelahi. Tidak adu mulut lagi. Beberapa tabib mencoba melerai, menjauhkan dua orang itu sama lainnya.

“Ada apa dengan kalian, hah? Keadaan kota sudah kacau, semakin kacau dengan pertengkaran kalian.”

“Dia duluan, Tabib. Dia mengambil air banyak sekali. Padahal, warga yang lain belum kebagian,” jelas salah seorang yang mukanya sudah babak belur. Lumayan parah. Dengan darah mengalir dari pelipisnya.

“Aku hanya mengambil lima ember, dan itu kau bilang banyak, hah? Berlebihan sekali, Bodoh!” sahut satunya lagi dengan emosi tinggi.

“Sudah, sudah.”

Mario maju ke depan, lalu menatap dua orang yang habis berkelahi tadi satu per satu. Tangannya bersedekap di depan dada. Dia masih mengunci mulutnya, belum mengatakan sepatah kata pun. Satu menit. Keadaan hanya didominasi keheningan, tidak ada satu pun yang memulai pembicaraan.

“Kau sudah tahu keadaan kota kita sekarang ini, kan? Kau juga pasti sudah tahu, jika kita tidak bisa mengambil air di Danau Sadnatt lagi karena danau tersebut sudah tercemar. Jadi, untuk apa kau mengambil air sebanyak itu di sumur balai kota?”

Pria yang marah-marah tadi terdiam. Dia menundukkan kepala. Tak bisa menjawab.

“Dan kau, tujuanmu memang sudah baik. Tapi kau salah langkah. Semua bisa diselesaikan tanpa perkelahian, kan? Kau bisa memanggil kami tadi seharusnya. Lain kali, berpikir dulu sebelum bertindak. Jangan utamakan emosi. Bisa?”

Pria yang pelipisnya sobek itu mengangguk. Mario benar, dia harusnya tidak bertindak karena emosi.

“Di saat seperti ini, harusnya kita saling menjaga dan simpati. Bukannya memikirkan diri sendiri dan egois. Itu tak akan menguntungkan, justru akan merugikan. Jadi aku mohon pada kalian, tolonglah berubah. Untuk keadaan saat ini. Sudah, lupakan kejadian hari ini dan jadikan pelajaran. Semua bisa kembali ke rumah masing-masing.”

Bubar. Semua warga mengikuti ucapan Mario. Mereka mulai meninggalkan balai kota dan tidak ada yang tinggal. Seperti kemarin, hanya untuk menyalurkan hasrat binatang.

“Maria, Sirra. Mari kita pulang juga.”

Kedua wanita beda usia tersebut mengangguk. Mengikuti langkah sang kepala keluarga. Keadaan saat ini memang sangat meresahkan. Membuat mereka tak tenang dan berakhir bertindak tanpa berpikir panjang akibatnya.

Edelweissigra. Tanaman abadi itu harus segera ditemukan. Dia adalah jalan keluar dari masalah pelik saat ini. Semoga kepergian Arsenio membawa hasil.

“Kalian menuai apa yang kalian tanam sebelumnya. Berubahlah, sebelum semua kejadian buruk itu terjadi pada kota ini.”

Suara tersebut terdengar samar di telinga Sirra. Perempuan itu berusaha tak peduli, mungkin telinganya hanya salah dengar.

***

Halo, Gaes. Bab 3 udah diposting, nih. Gimana menurut kalian? Krisarnya, ya. Jangan lupa, besok Arciplants update lagi. Hehe.

See you, Gaes~

ArciplantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang