Prolog

84 6 0
                                    

Vote!




Bumm...

Suara bom pertama, awal mula penghancuran semesta, dimulai.

Semua orang panik, jerit ketakutan, tangisan anak yang kehilangan, tangisan seluruh alam, bahkan hewanpun memekik dalam tangisan, terdengar pilu. Ini bukan bom biasa, bom yang mampu meruntuhkan tempat tinggal satu klan besar sekaligus.

"Master, bagaimana? Kita tidak mungkin diam saja." Seorang prajurit dengan wajah frustasinya memekik hampir menjerit melihat kekacauan yang terjadi.

"Sabar Fazh, kita belum bisa berbuat apa apa, sang legenda yang terdapat didalam sini belum siap untuk menghadapi ini," jawab seorang kakek tua dengan janggut putihnya sambil melihat ke arah kitab tua yang dipegangnya.

"Jika kita bertindak, aku takut kita akan melakukan hal yang salah. Kita masih belum bisa melakukan apa apa." Sambungnya. Semua orang yang ada diruangan itu hanya diam menatapnya, mau tidak mau mereka harus setuju dengan keputusan pemimpin klan mereka.

"Tapi kita tidak mungkin diam diatas sini sedangkan rakyat kita menangis menderita dibawah sana, kakek!!" Teriak anak remaja yang sedari tadi mengintip untuk mengetahui apa yang terjadi.

Matanya memerah, bercampur antara marah dan ingin menangis melihat orang orang dibawah sana sekarat diujung nyawa.

"Inikah yang kalian sebut pemimpin?" Ucapnya berjalan keluar dari persembunyiannya sembari menunjuk kakeknya.

"Gakh..." ucap salah seorang yang ada diruangan itu.

"Tunggu, ayah. Biarkan aku melanjutkan," potongnya sambil mengangkat tangan kecilnya.

"Kalian semuaa...," dia memandang satu persatu orang-orang yang ada disitu.

"Kalian semua yang mengajarkanku agar menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, bijaksana, mementingkan kepentingan rakyatnya kelak. Tapi, apa ini?!!! Kalian diam saja saat rakyat diambang kehancuran?" Sambungnya membuat semua orang terdiam.

"Kau tidak akan mengerti, Gakh. Pergilah, biar kami yang menyelesaikan masalah ini." ucap Zakh sambil mendekat kearah cucunya. Tangannya mengelus lembut rambut cucunya tersebut.

"Tidak kakek, kita tidak bisa diam saja. Mereka membutuhkan kita, kakek. Lakukan sesuatu, hal sekecil apapun yang kita lakukan berarti besar untuk merekaa." jawabnya, air mata yang ditahannya perlahan mengalir. Dadanya sakit melihat tempat yang dicintainya begitu hancur tak terkendali.

Zakh menarik nafas, yang dikatakan cucunya benar, mengapa dia terlalu egois mementingkan ramalan yang belum pasti terjadi.

"Baiklah kalau begitu, Gakh. Fazh, siapkan pasukan untuk membantu mereka yang membutuhkan pertolongan. Arahkan para tabib untuk mengobati yang terluka, kirim pasukan untuk membangun rumah mereka yang hancur. Sekarang, kalian semua boleh pergi." Ucapnya.

Semua orang menghilang secara ajaib menggunakan portal pribadi masing masing. Tapi, tidak dengan Gakhza. Zakh yang melihat cucunya hanya berdiam tanpa sedikitpun niat untuk pergi mengarahkan tangannya lembut ke pipi Gakhza.

"Ada apa, nak?" Tanya Zakh.

"Terimakasih kek, dan Maafkan perbuatanku tadi, kek. Aku mengaku salah, aku melewati batasku." Ucapnya sambil tertunduk.

Zakh tersenyum halus, "Tidak apa, yang kau lakukan benar. Aku hanya terlalu kalang kabut saat mengetahui ini semua. Aku tidak bisa berfikir jernih karena ketakutan ketakutanku akan buku ini." Ucap Zakh sambil menunjukkan buku yang dimaksudnya.

Alis Gakhza terangkat, semangat.

"Buku apa itu, kek?" Tanyanya.

Zakh hanya diam dan berjalan menatap keluar jendela, memandangi rakyatnya.

Karena Zakh hanya diam, Gakhza sedikit kesal.

"Bolehkah aku melihatnya, kek?"

Hening.

"Bolehkah kek? Bolehkah?" Matanya memandangi buku itu dengan berbinar.

"Aku ingin buku itu, kek."

"Kek, hanya lima menit. Lima menit saja, aku janjiiii" Ucapnya sambil menarik jubah Zakh.

"Kau ini persis sekali dengan Ayahmu, terlalu berambisi." Ucapnya sambil sedikit ketawa. Gakh hanya tersenyum kecut.

"Bukan sekarang saatnya, Gakh. Belum waktunya. Kelak, aku akan memberikan ini kepadamu, aku berjanji." Ucap Zakh sambil memegang tangan Gakhza.

"Eummmmm... Ya sudahlah, nanti saja. Aku juga lapar ingin makan. Aku pergi dulu, kakek. Muahh..." Ucapnya sambil mencium Zakh. Zakh hanya tersenyum simpul.

Setelah Gakhza pergi, Zakh memandangi buku itu dengan lekat, "Semoga ramalan buku ini benar. Ura, aku menunggumu." Ucapnya dalam hati.




Vote!

AURORA (THE MISTERY OF OQROLD)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें