Bab 2 Cukup Tertarik

Start from the beginning
                                    

Mereka sudah di dalam kereta, Lala Zee tak usah diurusi, dua insan itu sudah duduk bersebrangan dengan tempat duduk Chika dan Vito. Sedangkan dua orang ini, sama-sama masih sibuk dengan urusannya masing-masing.

"Nih bang, Chika perutnya karet, kudu diempanin terus," Azizi memberikan satu kantong kresek berisi macam-macam snack kepada Vito.

"Kalau lo mau ambil aja, masih banyak," tawar Zee. Dia memang manusia gampang akrab. Mungkin ini juga yang membuat Lala jatuh hati dengan makhluk pecicilan ini.

"Makasih Zee," Vito segera menyodorkan bungkusan itu ke Chika. Gadis itu masih saja membaca fiksi di ponselnya. Bukan Chika tak mau membuka pembicaraan dengan Vito, tapi, fiksi itu jika ditunda membacanya tidak enak, jadi harus dituntaskan. Hal yang lebih menjengkelkan jika ceritanya tidak dilanjut, hah, rasanya seperti bisul yang tak kunjung pecah.

Vito melirik ponsel Chika sekilas, gadis itu sepertinya memang belum bisa diganggu. Akhinya Vito menyimpan snack itu di bawah kakinya. Dia agak merasa aneh dengan gadis ini. Ada aura yang tak biasa. Bukan, bukan, Vito bukan anak indigo yang bisa merasakan aura negatif positif. Jika iya, aura positiflah yang membungkus sosok di sampingnya ini. Tapi bukan itu, dia merasa aneh ketika mata Chika menatapnya, meski terhalang oleh kacamata milik Chika, tapi mata itu seolah telah meghancurkan satu pertahan yang ada dalam diri Vito. Sudah dua kali dia tiba-tiba gugup mendapati manik mata itu menyelidik dirinya. Apakah Chika punya kekuatan magis? Kali ini Vito merutuki isi tempurung kepalanya, terlalu liar.

Ah, tapi siapa yang tidak gugup berada di samping perempuan cantik seperti Chika? Demi apapun, Vito yakin semua orang akan sepakat dengan pikirannya bahwa Chika ini cantik. Meskipun penilaian cantik atau tidak itu subjektif. Oke, harus Vito akui, dia tertarik dengan Chika.

"Kamu gak pusing baca terus?" Vito memberanikan diri untuk bertanya. Pasalnya ini sudah dua jam Chika terus menatap layar ponselnya. Selain khawatir, Vito sebenarnya ingin mengobrol dengan Chika, ingin kenal Chika lebih. Dia tidak mungkin membiarkan kecanggungan mereka berlanjut. Seminggu ke depan, dia akan bersama dengan gadis ini, dia hanya ingin mengakrabkan diri.

Chika menoleh, pria ini mengkhawatirkannya. Pikiran-pikiran negatifnya kemarin tentang Vito, runtuh satu persatu. Kekakuan justru ada dalam diri Chika, ia sesungguhnya masih bingung ingin membuka pembicaraan dari mana. Tapi ternyata Vito lah yang memulai bicara dengan dirinya terlebih dahulu. Ada rasa lega di dalam hati Chika, jadi dia bisa dengan tenang menyimpan ponselnya.

"Hehe, tanggung kak," hanya itu yang lolos dari mulut Chika. Dia masih mengolah kata-kata yang akan ia lemparkan ke Vito.

"Gak baik loh Chika, baca di kendaraan," Chika menegapkan badannya. Kali ini Vito memberinya petuah. Bukannya jengkel karena acara membacanya diganggu, dia malah terkesima. Peringatan-peringatan sepele seperti ini sudah sering Chika dengarkan, tapi suara Vito entah kenapa membuatnya membeku. Seperti terhipnotis, dia mulai menutup aplikasinya dan menyimpan ponselnya.

"Hmm iya kak, makasih udah diingetin," Chika tersenyum ke arah Vito membuat pria itu sedikit kehilangan keseimbangan, padahal dia sedang duduk.

"Ini tadi dari Azizi, katanya perut kamu karet," Chika melotot tak percaya.

"Dia ngomong gitu?" Chika memajukan sedikit untuk menengok Zee yang sudah tertidur dengan kepala Lala di dadanya. "Gak ada akhlak emang," lirih Chika sambil menerima bungkusan dari tangan Vito. Ia mengambil susu kotak dan sebungkus wafer.

"Kak Vito mau? Ambil aja, kemarin Kak Lala beli banyak kok,"

"Saya juga bawa kok, kalau kamu mau susu lagi, saya ada," Chika hanya mengangguk sambil mengunyah wafer yang baru berhasil ia keluarkan dari bungkusnya itu.

"Udah pernah ke Boyolali?" Chika menoleh, oke Vito sepertinya ingin ditemani mengobrol.

"Belum kak, baru denger kota itu aja akhir-akhir ini, gara-gara kampanye haha," Vito ikut tertawa, dia tak lagi heran. Memang sedikit yang paham dengan kota susu itu. Biasanya orang asal sana jika ditanya mengakunya dari Solo.

"Kakak udah pernah?"

"Sering, setiap lebaran saya ke sana, ke rumah mbah," Melihat Chika dengan lahapnya memakan wafer, Vito menjadi haus, iya, dia seolah merasakan tenggorokannya yang seret dengan wafer-wafer itu. Dia raih botol mineralnya dan meneguk isinya.

"Oh iya baru inget, kemarin Kak Lala bilang bakal nginep di rumah mbahnya Kakak,"

"Iya,"

"Dilemparnya jauh banget ya kak,"

"Kelompok kami dapat undian terkahir soalnya, Chika. Ada dua pilihan, Boyolali sama Klaten, saya usul ke kelompok buat pilih Boyolali, mereka setuju, ya sudah, sekalian majuin desa mbah saya aja. Kebetulan udah dapet izin, proposal juga diacc sama pihak desa, tinggal penjelasan mengenai proker aja, saya cukup kenal sama orang-orang sana, jadi gampang nanti koordinasinya," jelas Vito panjang lebar. Chika hanya ber-oh ria, karena dia tidak paham perihal KKN, yang ia tahu hanya cerita horor KKN desa penari.

"Untungnya, Kak Vito paham ya daerahnya, jadi kayanya gak masalah," Vito mengangguk. Dia mulai bisa tenang ketika Chika menatapnya. Bahkan, ada yang menghangat di dalam dadanya sekarang. Wajah samping Chika yang terkena sorot sinar matahari siang terlihat sedikit bercahaya. Membuatnya tambah menarik, tapi gadis itu ternyata sadar akan sinar yang menyilaukan matanya. Lantas dia menarik gorden agar matahari tak mengenai wajahnya.

Perbincangan itu berlanjut cukup lama. Vito ternyata tak seperti yang Lala katakan, tak asik. Iya dia memang agak sedikit kaku, berulang kali jokes Chika tak masuk ke Vito. Dibalik itu, Vito cukup pintar mencari topik pembicaraan saat tiba-tiba mereka terdiam.

Kali ini Chika benar-benar terdiam, dia tidur. Vito tak ingin melewatkan kesempatan itu. Dia terus memerhatikan tenangnya muka ayu Chika. Gadis belia ini memang membawa ketenangan tersendiri untuk Vito, entah Vito sepertinya menganggumi gadis belia ini. Mengagumi, bukan berarti jatuh hati, tidak, hmmm belum mungkin.

Di seberang, ternyata Azizi tak bisa menahan senyumnya ketika mendapati Vito mempertahankan senyum dibibirnya sambil terus memperhatikan Chika yang tengah tidur. Chika memang juara membuat pria gila saat didekatnya. Jadi, Zee tidak heran jika Vito dalam sekejap terkagum-kagum dengan sepupunya itu.

"Psstt pssttt," Vito menoleh ketika Zee memanggilnya dengan isyarat.

"Pepet aja bang... dia belum ada pacar, pepet!" Ucap Zee nyaris berbisik. Ia tak ingin membuat Lala bangun. Vito yang di bisikin itu pun hanya diam dan tersenyum. Ada rasa tak percaya jika Chika belum memiliki pacar. Biasanya perempuan cantik seperti Chika akan menjadi primadona di sekolah yang bisa gonta-ganti pacar seminggu sekali, atau bahkan sehari tiga kali.

Vito tak menanggapi ocehan Zee, dia lebih memilih untuk memjamkan matanya, berat juga tak tidur dari tadi.

Chika membenarkan posisi kepalanya, mencari kehangatan dari bantalan kepalanya. Agak keras tapi membuatnya nyaman. Detak jantung yang ada di bawah telinganya bak lullaby yang siap membawa Chika lebih dalam ke dunia mimpi. Dia mengeratkan pelukannya, menikmati rengkuhan tangan kekar yang menempel di lengannya. Memang tidak ada yang bisa mengalahkan kenyamanan rengkuhan dan alunan lembut ritme jantung Papanya, mutlak itu.

"Papa?!" Chika tersentak. Ia menarik tubuhnya cepat. Dadanya bergemuruh diikuti rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh.

Apa ini?

tbc

------

Hahhhhhhhhh memang niat ngademin suasana dan menuntaskan janji hehe :)

Gimana? Semoga terhibur ya :)

Kasih masukan boleh bangetttttt ngettt ngettt 

Satu hal yang harus kalian tahu.... Vikuy keknya beneran karam gaesss. Ya udah lah ya gpp, biarin Chika menenangkan diri dan mencari yang lain haha Biar kisah mereka manis di dunia orange aja :')

Semoga ga bosen ya!

Makasih buat yang masih mau baca :') seneng saya tuhh huhu

Bye ketemu... hmmm kapan ya, tungguin aja*pd bgt ada yang nungguin

Jaga Kesehatan, jangan begadang wey!!!

Salam Sobat Vikuy!

Rhythm Of LoveWhere stories live. Discover now