Dia sangat menghargai kebaikan Pak Adi selama ini. Kalau bukan karena beliau, entah apa yang terjadi dengan dirinya dan Halimah.  Masih teringat di benak Kirana segala kebaikan Pak Adi untuk keluarganya.

Pak Adi adalah orang yang menolong Kirana. Pria paruh baya itu masih kerabat jauh dari Halimah. Kepulangan Kirana ke desa dengan kondisi berbadan dua membuat seluruh penduduk bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan gadis itu?
Kirana yang cantik dan pintar, merantau ke Kota untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi terkenal di sana. Demi mencapai cita-cita tingginya sebagai Desiner.

Tak ada yang menyangka kalau Kirana akan mengandung tanpa suami. Berkali-kali di tanya pun, mulutnya bungkam tak menjawab. Kejadian itu membuat dia dan Halimah di usir dari desa asalnya. Kehadiran Kirana di anggap mencoreng nama baik desa itu.
Manusia bisa menghakimi, tapi Allah adalah sebaik-baiknya hakim. Di balik rasa putus asanya, Allah mengirimkan penolong untuk mereka.
Pak Adi menawarkan bantuan, memberikannya pekerjaan dan tempat untuk tinggal, hingga Kirana bisa menjalani hidup seperti sekarang.

Kirana menghela napas berat. Matanya kembali memanas mengingat peristiwa itu. Ia segera mengusapnya, sebelum air mata jatuh lebih deras.

Kesempatan besar katanya? Apa kesempatan itu memang masih ada untuk diriku?
Batin Kirana.

🌸🌸🌸🌸🌸

"Pergilah, nak." Halimah duduk di tepi ranjang mengelus rambut panjang Kirana.

"Kenapa? apa ibu bosan aku tinggal di sini?"

"Kiran! Kenapa kamu tega berkata begitu sama ibu?" suara Halimah meninggi, tidak menyangka putri kesayangannya berkata begitu. Putri yang selalu ia bela dan lindungi dengan segenap jiwa dan raganya.

Kirana mulai terisak, "Maaf ibu. Aku tahu, hanya ibu satu-satunya yang menerima aku yang kotor ini."

"Ibu hanya ingin kamu kembali bangkit! tersenyumlah. Semua sudah berlalu. Lihatlah Danish, dia sudah besar sekarang. Ini semua demi masa depan kamu dan Danish. Kamu punya bakat dan kemampuan, nak. Kalau kamu merasa sakit kamu harus kuat, balas semua rasa sakit hati kamu selama ini. Tunjukan kepada mereka yang menghina kita, kalau kamu mampu untuk kembali bangkit di tengah keterpurukan."

Akhirnya Halimah mengeluarkan segala isi hatinya selama ini. Halimah berusaha menahan dukanya seorang diri. Ibu mana yang tidak sakit begitu melihat putri semata wayangnya terluka. Bahkan ketika putrinya mencoreng noda padanya, tapi Halimah yang paling tahu kalau ada alasan di balik itu semua.

"Bagaimana dengan ibu?"

"Ibu akan tetap di sini. Kamu bisa pergi sendiri. Biar ibu yang menjaga Danish."

Kirana langsung menggeleng cepat. Dia tidak akan sanggup berpisah lama dengan putranya.

"Gak bu. Kalaupun aku pergi, Danish harus ikut. Aku akan menyekolahkan dia di sekolah yang terbaik."

"Kalau itu keputusan kamu. Ibu manut."

"Ibu ikut saja ya..." rayu Kirana.

"Gak usah. Nanti siapa yang jaga rumah ini."

Sebenarnya Kirana mengerti, apa penyebab Halimah tidak ingin ikut. Dia hanya pura-pura tidak tahu selama ini.

"Baiklah, aku kan pergi. Tapi dengan satu syarat."

Halimah mengerutkan keningnya. Wanita berumur empat puluh tahunan itu menatap putrinya dengan penuh tanda tanya.
"Apa itu?"

"Ibu harus menikah. Supaya aku tenang meninggalkan ibu di sini. Dengan Pak Adi mungkin?" ucap Kirana sambil mengulum senyum, dan mengusap sisa-sisa air matanya.

Wajah Halimah seketika memerah. Dia mengalihkan pandangannya ke segala arah untuk menutupi rasa gugupnya.

"Ibu, aku sudah tahu kok. Kalau Pak Adi itu mantan pacar ibu dulu kan? Hayoo ngaku."

"Kiran..."

"Gak apa. aku udah tahu kok kalau kalian sebenarnya saling mencintai. Gak usah sungkan sama Kiran, Bu. Menikahlah. Kiran setuju. Justru Kiran senang karena ada yang jaga ibu." Kirana mengusap punggung tangan Halimah dengan lembut.

Sekeras apapun Halimah menyembunyikannya, tetap saja Kirana tahu. Bagaimana Pak Adi begitu banyak menolongnya dengan mengaku kerabat jauh dari Halimah. Padahal laki-laki itu adalah cinta pertama Halimah. Kirana tidak sengaja mendengarkan pembicaraan keduanya saat mereka bertemu sebulan yang lalu. Pak Adi datang malam itu, melamar Halimah. Tapi Halimah menolaknya karena memikirkan perasaan Kirana.

"Baiklah, ibu nanti akan bicara lagi dengan Pak Adi." jawab Halimah pelan.

Kirana tersenyum senang, "Begitu dong, Bu. Kasihan Pak Adi jangan di gantung terus, kayak jemuran aja."

"Ah, kamu ini." Halimah mencubit pelan perut Kirana. Membuat mereka tergelak bersama. Melupakan segala kesedihan yang selama ini mereka rasakan.

🌸🌸🌸🌸

"Mama, jadi Danish akan ikut mama ke Dakarta?" tanya Danish, ketika menemani Kirana mengepak baju ke dalam koper.

"Jakarta sayang...bukan Dakarta."

"Ohh iya, tadi juga Danish mau bilang itu, mah. Cuma lidah Danish keseleo. Jadi salah deh."

Kirana tersenyum kecil. Danish itu memang sangat bawel. Dan dia juga tidak suka di salahkan.

"Terus Danish sekolah di sana dong, ma?"

Kirana hanya mengangguk, dia sangat sibuk sekarang, di tambah Danish yang yang kini menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.

"Kapan kita berangkat, mah?"

"Tiga hari lagi. Setelah acara Nenek selesai ya, Nak."

"Oh.. kalau begitu Danish keluar dulu ya, mah. Danish mau pamitan sama teman-teman di sini. Biar mereka gak kangen dan nyariin Danish." setelah berkata begitu, Danish langsung mengenakan kaca mata bergaya Iron Man, yang seminggu lalu baru saja di belikan oleh Pak Adi untuknya.

Segala gerak gerik Danish yang lucu tak luput dari perhatian Kirana saat ini. Bagi Kirana, Danish adalah segalanya.
Meskipun banyak orang yang memandang Danish sebelah mata, sebagai anak tanpa ayah.

****************************************

KIRANAWhere stories live. Discover now