Part 21

5.8K 329 10
                                    


***
Hari ini aku bangun kesiangan, aku tidak tahu kenapa. Mungkin saja efek obat pereda sakit yang aku minum sebelum tidur. Hah, sebenarnya diri ini malas beranjak dari ranjang, tapi bunyi perut yang minta di isi memaksaku untuk bangun dan mandi.

"Bi, hari ini bibi masak apa?" tanyaku pada bi Imah sambil menarik kursi kemudian duduk dan langsung mengambil piring.

"Bibi masak sop ayam, non. Terus ada sambal terasi, pempek goreng, sama sate kambing. Semuanya makanan kesukaan non." jawab bi Imah sambil menyodorkan sop ayam padaku.

"Wuaah, spesial nih. Oh yah, bi, tolong panggil satpam sama tukang kebunnya ke sini, yah. Kita makan sama-sama."

"Aduh, non, bukannya saya tidak mau. Tapi sangat tidak pantas bila kami ikut makan bersama majikan, tidak sopan."

"Ah, bibi bisa aja. Disini saya tidak memberlakukan prinsip itu, bi. Bagi saya kita adalah keluarga, dan saya tidak ingin ada yang makan sendiri-sendiri. Bukannya makan beramai-ramai lebih nikmat? Oke? Sekarang panggil mereka yah, bi."

"Emm, baik, non."

Sepeninggal bi Imah, aku langsung menyambar sate kambing dan Pempek goreng. Hmmmm, makanan enak, nih!

Baru saja aku hendak menyantap pempek goreng buatan bi Imah, aku kembali teringat pembicaraanku dan Dokter Adit tadi malam. Astaga!! Ponselku masih dalam keadaan non-aktif, bagaimana jika Sam menelpon? Atau Nurlan Wa? Hah, aku benar-benar lupa.

Dengan tergesa-gesa aku meninggalkan ruang makan dan langsung menuju ke dalam kamar, aku harus mengaktifkan ponselku karena aku butuh info dari Sam.

Baru saja aku mengaktifkan ponselku, ada beberapa notifikasi Whatsapp  bermunculan.

[From: Sam
Bos, hari ini lo harus ke Kantor yang di pimpin Pak Ramon. Sebab tadi malam Pak Ramon menghubungiku karena ponsel lo gak aktif, katanya Raisha memaksanya untuk membantu perusahaan mantan suami lo. Dan Pak Ramon butuh persetujuan lo, dia tidak mau gegabah.]

[To: Sam
Oke, sebentar lagi gue kesana.]

Aku beralih ke pesan selanjutnya,

[From: Nurlan
Bos, sebelumnya maaf, gue lupa kasih tahu lo tadi malam kalo dokter Adit sempat minta nomor kontak lo. Dan, gue kasih. Hehehehe.]

Hah, sudah aku duga, pasti si Nurlan biang keroknya. Itu anak kenapa semakin lancang yah? Mesti di beri pelajaran rupanya!

Aku mengabaikan pesan dari Nurlan, dan kembali beralih ke pesan selanjutnya.

[From: +6787798******
Dora... Ponselnya kok dimatiin? Padahal mama mau bicara sama kamu, mama ingin minta tolong kamu untuk menemaninya ke Toko Emas besok malam. Boleh, kan? Kalo tidak boleh, abaikan saja pesan ini.]

Tidak salah, nih? Kok minta tolongnya ke aku? Apalagi Aku baru kenal dengan ibu dan anak itu, kenapa tidak minta tolong sama pacar Dokter Adit saja?! Hah.

Sepertinya Pesan ini dikirim tadi malam, berarti malam ini dong?

Tapi, ibu Naimah kan sudah menolongku. Ahhhh!! Kesal juga sih. Mau tidak mau, aku harus mau, hitung-hitung balas budi.

[To: +6787798******
Iya, bisa. Saya yang jamput ibu Naimah, atau ibu Naimah yang menjemput saya, Dok?]

Beberapa saat kemudian, Dokter Adit membalas pesanku. Cepat juga dia membalas, mungkin dia tidak sibuk.

[From: +6787798******
Tidak dua-duanya. Saya yang akan jemput kamu."

Ha? Gak salah? Jangan ah, nanti aku bakal di sebut Pelakor lagi, bukan, lebih tepatnya Pepacor (Perebut Pacar Orang). Nanti akan Sama dengan Raisha dong, dan aku tidak sudi! Apalagi aku janda. Ihh, no!!

Salahku Apa?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang