Empat

123 15 0
                                    

"Kau baik-baik saja?"

Tidak. Jeonghan ingin menjawab dengan satu kata itu, sembari memutar kedua bola mata, bahkan kalau bisa memukul kepala si penanya. Mana ada orang yang akan baik-baik saja setelah tercebur ke dalam danau? Terlebih Jeonghan tidak terlalu pandai berenang.

Jeonghan kembali terbatuk-batuk dan merempet kesal. Hidungnya terasa luar biasa sakit dan rasanya ada berliter-liter air di dalam paru-parunya.

Paru-parunya luar biasa sakit hingga rasanya mau pecah. Dia menarik napas dengan susah payah. Penyelamatnya, orang yang juga membuatnya tercebur ke dalam danau terbatuk-batuk hingga terbungkuk. Dari sudut mata Jeonghan bisa melihat sosok penyelamatnya adalah seorang laki-laki yang mungkin berusia sama dengannya.

"Kau... gila..." Jeonghan menunjuk ke arah laki-laki itu dengan telunjuk gemetar. Dia menyedot ingusnya keras-keras, tidak peduli meskipun tindakannya terdengar sangat kurang ajar.

"Ma.. af..." Laki-laki itu tersedak dan terbatuk sekali lagi lalu berhenti dan kini dia berdiri tegap. Dia menyodorkan sapu tangan berwarna biru gelap dan Jeonghan menerimanya tanpa basa-basi.

Jeonghan menyeka wajahnya yang basah, membuang ingusnya ke sapu tangan milik laki-laki itu. Laki-laki di depannya berusaha membantunya berdiri, namun Jeonghan menggelengkan kepala

"Aku masih belum bisa berdiri, kau bodoh!" Semburnya dengan suara pelan. Kepalanya menggeleng lemah sementara kedua kelopak matanya masih terpejam erat.

Derai tawa pelan yang mengalun dari pemilik bariton tegas diatas tubuhnya membuat Jeonghan penasaran dan tergoda untuk membuka kedua mata.

Jeonghan mengangkat wajah dan baru lah dia bisa melihat dengan jelas siapa sosok laki-laki di depannya.
Meskipun kedua matanya terasa sangat sangat perih, ia memaksakan diri, hingga perlahan ia bisa melihat dengan jelas siapa yang mengejutkannya tadi.

Seorang laki-laki dengan rambut berwarna hitam tengah menatapnya dengan raut wajah khawatir dan juga kedua matanya memancarkan sorot terhibur dalam waktu bersamaan.

"Kau..."

Si penjaga bianglala mengangguk asal. Dia mendudukkan diri dengan cepat di depan Jeonghan membuat gadis itu terbelalak. "Oh. Kau sudah bisa melihat dengan jelas?" Dia bertanya dengan nada menahan tawa.

Seharusnya ini menjadi momen saat seseorang mengucapkan terima kasih kepada penyelamatnya dengan nada bicara yang dibuat semanis mungkin dan juga kedua kelopak mata yang sedikit diturunkan. Namun yang dilakukan Jeonghan justru sebaliknya. Ia mengacungkan telunjuknya tepat ke wajah si penjaga bianglala, bertanya dengan suara meninggi, "bagaimana kau tahu tempat ini juga?!"

Si penjaga bianglala terkekeh pelan. Ia menurunkan telunjuk Jeonghan yang teracung lalu meremas lembut kesepuluh jemarinya.

"Maaf sudah membuatmu tercebur ke dalam danau."

"Maaf saja tidak akan pernah cukup." Sahut Jeonghan cepat.

Laki-laki itu mengubah raut wajahnya menjadi jauh lebih bersahabat dibanding sebelumnya. Satu tangannya ia gunakan untuk memegang dada, sementara kepalanya sedikit ditundukkan. "Aku benar-benar minta maaf." Ulangnya dengan suara meyakinkan.

"Aku akan memaafkanmu," akhirnya, setelah menghitung satu sampai dua-lima, Jeonghan baru membuka mulutnya. "Asal kau mau jujur padaku. Siapa kau?"

Laki-laki di depannya tersenyum jengkel. Ia menghela napas pelan. "Aku Choi Seungcheol. Kupikir aku pernah melihat rambut seperti warna rambutmu saat kau pergi ke pasar malam waktu itu, dan ternyata aku benar... kau sering naik sepeda berkeliling Avery Street..."

"Astaga..."

"Aku sering melihatmu di sini, duduk di tepi danau menjelang sore hari. Dan akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapamu tadi..."

"Sapaan yang terlalu mengejutkan..." Sahut Jeonghan kesal dan Seungcheol tidak membantahnya.

Jeonghan mengerutkan kening. Dia masih terduduk di tepi danau, air masih menetes dari rambut dan juga pakaiannya. Dia juga menggenggam sapu tangan berwarna biru gelap yang tadi disodorkan padanya oleh Choi Seungcheol. "Kau bilang sering melihatku? Di sini? Di Avery Street?!"

Seungcheol mengangguk. "Ya. Lebih dari tiga kali aku melihatmu di sini, di sepanjang jalan Avery Street dan duduk di tepi danau."

"Itu berarti kau tinggal di dekat sini?"

Seungcheol kembali mengangguk. "Yep... aku tinggal tidak jauh dari sini. Di ujung jalan situ, lebih tepatnya..." Seungcheol menunjuk dengan dagunya meskipun Jeonghan tak yakin dia bisa melihat dengan jelas yang mana rumah Choi Seungcheol.

"Kalau begitu apa yang kau lakukan di Eton waktu itu?!"

Seungcheol tertawa pelan. "Aku membantu pamanku. Pamanku yang punya bisnis pasar malam di Eton. Dan karena waktu itu ada satu karyawannya yang tidak bisa bekerja karena diare, jadi aku menggantikannya sebagai penjaga wahana."

Keduanya kembali diam. Keduanya melemparkan pandangan ke arah lain, menghindari kontak mata masing-masing. Yang terdengar hanya suara knalpot dari kendaraan yang tengah melaju di sekitar danau, diiringi tawa riang anak-anak kecil yang sedang berlarian mengejar teman-temannya. Hingga akhirnya Jeonghan memberanikan diri menatap kembali Seungcheol.

"Jadi apa kita bisa bertemu lagi di lain waktu?"

Seungcheol tidak segera menjawab. Dia mengubah posisi duduknya, menumpukan kaki kanan ke kaki kirinya. "Kurasa begitu..." Senyuman kecil mengembang di wajahnya.

Matahari telah kembali ke peraduan. Samar-samar terdengar suara serangga malam dari semak belukar yang ada di dekat danau. Jeonghan mendorong sepedanya, berjalan pelan sambil sesekali berbincang dengan Choi Seungcheol.

Jeonghan segera tahu bahwa Seungcheol adalah tipe laki-laki pendiam yang hanya senang menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala atau senyuman simpul.

Mereka tiba di persimpangan jalan. Seungcheol memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya yang basah sementara Jeonghan kembali menaiki sepedanya. "Kita akan bertemu lagi," ucap Seungcheol dengan senyuman simpul.

"Ya... kita akan bertemu lagi. Kupegang janjimu..." Setelah itu mereka saling melambaikan tangan dan berpisah. Seungcheol berjalan menjauh dengan kedua tangan masih berada di dalam saku, sedangkan Jeonghan mengayuh sepedanya kembali ke rumah sambil bersenandung.

FERRIS WHEEL | JEONGCHEOLWhere stories live. Discover now