Bab 2

87 40 26
                                    


"Beri hormat pada Putra Mahkota!"

Suara kasim kerajaan menggema dalam ruang aula yang dipakai dalam pertemuan penting. Para petinggi kerajaan, jenderal, bahkan tetua hadir memenuhi aula tersebut. Kedatanganku disambut baik. Mereka menundukkan kepala kecuali para tetua dan seorang pria paruh baya yang duduk di kursi berlapis emas, mengenakan mahkota kerajaan.

"Hormatku pada Baginda Raja. Semoga dewi selalu memberkati Anggrakasa," ucapku memberi salam berlutut dengan salah satu kaki di tekuk, kepala menunduk dan kedua tangan terkepal di depan kepala.

"Berdirilah, Putra Mahkota."

Aku mengikuti perkataannya dan duduk di samping singgahsana raja---kursi untuk putra mahkota. Tidak buruk. Aku dapat melihat wajah orang-orang yang hadir di dalam aula.

Pembahasan pun dimulai. Para jenderal melaporkan situasi di wilayah yang menjadi kekuasaannya. Para menteri melaporkan kondisi ekonomi kerajaan Anggrakasa. Lembaran berisi laporan upeti dan kekayaan Anggrakasa tertulis rapih. Aku membaca tak memedulikan ocehan si penjilat ulung.

Pajak yang memakmurkan rakyat katanya, tapi kenapa para kelas atas yang masuk ke dalam pejabat negara, hanya dibebankan seperempat dari jumlah yang harus dibayar rakyat biasa bahkan pedagang?

"Bagaimana menurutmu, Putra Mahkota?"

Tentu saja aku menolak. Kekuatan rakyat itu penting. "Sebaiknya Tuan Menteri meninjau kembali apakah sistem pajak ini layak. Mengapa menetapkan pajak besar pada rakyat kecil kalau bisa dibebankan pada pelancong dan pendatang. Kekuatan rakyat itu penting, Tuan Menteri."

Lihat itu, wajah berkerut yang semakin mengerut. Matanya menatap kesal walau bibirnya tersenyum. Aku menyingkirkan lembaran kertas di tangan. Rasanya lebih melelahkan bermain di sini.

Aku tidak mendengarkan dengan jelas diskusi selanjutnya. Aku tahu, raja bangga atas kemenanganku, walau tidak mengumumkannya secara besar. Namun, cukup dengan ia memanggilku kemarin ke ruang kerjanya.

"Karena keberhasilan putra mahkota Agni, Hamba sarankan agar beliau menikah dengan putri kedua kerajaan Wruhana. Itu akan sangat menguntungkan dalam pendekatan kali ini." Salah seorang tetua berbicara.

Apa? Menikah?

Aku menoleh ke singgahsana raja. Ayah tampak berpikir keras. Sungguh ayah, kau harus menolaknya.

"Memang benar untuk mendapatkan kepercayaan dan menarik mereka ke dalam bagian Anggrakasa kita membutuhkan suatu jaminan. Surat perjanjian saja tidak akan cukup dan aku tidak ingin berperang dengan Wruhana karena sudah lama mereka menjadi mitra dagang," ucap Ayahku.

"Karena keberhasilan Agni dalam menaklukkan pasukan Fayagius dan menjadikan wilayah Bhanusa menjadi bagian dari Anggrakasa, maka aku, Raja Dewastara akan melangsungkan pernikahan antara putraku, Agni Nanggalung Putra dengan putri kerajaan Wruhana dalam rangka menjadikan wilayah mereka menjadi milik kita."

"Hidup Baginda Raja!"

Semua yang hadir menunduk hormat padanya. Suara berat penuh percaya diri. Intonasi yang tegas berkata akan menikahiku.

Selesai rapat aku bergegas menuju ruang kerja raja. Tidak peduli pengawal pribadiku yang berusaha menghentikan bahkan penjaga pintu masuk berani menghalangi. Namun, kesabaranku tidak mudah ditahan. Jika ingin aku bisa membuat mereka yang menghalangi bungkam untuk selamanya.

"Hentikan Agni! Aku tidak membesarkanmu untuk menjadi arogan." Suara berat yang dingin menghentikan tindakanku mengarahkan pedang yang kurebut dari penjaga. Aku melempar pedang tersebut, lalu masuk ke dalam ruang kerja.

Pintu kututup dengan rapat hingga menimbulkan suara keras. Kini, hanya ada aku dan pria tua yang sedang merapihkan buku pada rak yang menjadi dinding di belakang meja kerjanya.

Aku sedang berbicara, sampai kapan kau mau memunggungiku? Aku pun menarik napas panjang. "Perihal perjanjian pernikahan itu ... aku menentangnya," ucapku dengan serius dan tegas. Ia berhenti dari aktivitasnya lalu menoleh. Mata kami bertemu. Sinar temaram dari lilin tidak membuat aku salah mengartikan tatapan yang diberikan ayah.

"Kau tahu, kau adalah putra mahkota negeri ini, Agni." Penuh penekanan di setiap katanya. Sedang berbicara dengan siapa aku saat ini.

"Ayahanda—"

"Ini adalah saran tetua. Kau harus mendengarkan mereka."

Tidak bisakah kau mendengarkan anakmu.

"Aku tidak menginginkan ini. Lebih baik aku berperang menaklukkan wilayah itu di bawah tanganku daripada aku harus menikah dengan wanita yang tidak kuinginkan."

"Agni!"

"Aku menentang." Percuma berdebat lebih lanjut. Tanganku yang menyentuh pintu ruang itu terdiam karena suara tinggi Ayah. Menggertakan gigi, itu yang kulakukan saat mendengar perkataan Ayah.

"Kau akan menerima akibat menentang perintah raja, Putra Mahkota! Aku sudah mengurus semuanya sebelum kau datang. Kau hanya perlu menjalankannya dengan baik karena ini adalah urusan pemimpin kerajaan, kau mengerti?"

"Lakukan apa pun. Aku akan tetap menentangnya." Kalimat itu kuucapkan sebelum pergi meninggalkan ayah.

Tidak ada gunanya. Beberapa hari berlalu dan Ayahanda tetap menjalankan rencananya. Semua permintaanku di patahkan. Pengawal pribadi sekaligus teman kecilku memasuki kamarku dengan napas terengah-engah. Dia merupakan prajurit terbaik tapi tidak kuijinkan menjadi panglima atau jenderal.

"Gawat!" wajahnya tidak setenang biasanya. Ada hal genting apa sampai dia lupa memberi salam.

"Ada apa?"

"Putri kedua kerajaan Wruhana sudah datang. Calon istrimu datang!"

Aku berhenti menulis. Menulis laporan yang menjadi pekerjaan putra mahktota ditinggalkan begitu saja. Langkahku bergegas menuju gerbang utama. Ayahanda tidak memberitahukanku kapan dia datang, sebenarnya kau anggap apa aku. Bahkan aku tidak tahu rupanya.

"Katakan padaku seperti apa rupanya? Kenapa tidak ada yang memberitahuku terlebih dahulu?" Suaraku sedikit meninggi. Temanku tetap mengikuti satu langkah di belakang. Ia menjawab semua pertanyaan dengan baik walau harus menyamakan langkahku.

Aku tidak dapat mendengar suara apa pun. Langkahku terhenti. Dari sini, aku dapat melihat iringan yang berjalan menuju aula utama. Seorang gadis dengan pakaian terbuat dari kain satin berlapis sutra halus berwana biru laut. Rambut hitam yang digulung dan dijepit ornament berbentuk bunga teratai. Kulitnya putih namun aku tidak dapat menangkap jelas wajahnya.

"Kau tahu siapa namanya?"

"Iya, Putra Mahkota. Putri kedua kerajaan Wruhana, Dayu Aiswara Yuvati," jawab temanku.

Aku tidak bisamenahan untuk menarik sudut bibirku. Bahkan sorot mataku enggan berpalingdarinya. Dayu, nama yang menarik.

The Great AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang