“Tidak mau!” sergah Hoseok segera. Tinggal bersama ayahnya kembali tidak akan menjadi hal mudah. Apalagi sang Ibu pasti akan cerewet dengan kehamilan Jihye. “Bu, kenapa harus tinggal di rumah Ibu? Rumah kami lebih dekat dengan restoran dan kantor Jihye.”

Sebenarnya Jihye tidak keberatan tinggal di rumah mertuanya, tapi Hoseok bahkan tidak meminta pendapatnya.

“Tidak ada alasan. Lagipula jika Jihye tinggal bersama ibu, ibu bisa ikut memperhatikan kehamilannya. Bagaimana jika terjadi hal yang tidak-tidak lagi dan kau sedang tidak ada di rumah?

“Kenapa tidak Ibu saja yang pindah ke rumah kami?”

“Hoseok-ah!” panggil Jihye menginterupsi, lidahnya terasa kaku memanggil suaminya dengan cara itu. “Aku tidak apa-apa berangkat lebih pagi, asal ibu tidak marah dan kecewa lagi.”

Hoseok diam sejenak mendengar pernyataan Jihye. Berbeda dengan Nyonya Jung yang langsung bangkit menghampiri Jihye dan memeluknya hangat. “Kau memang menantu idaman Jihye. Benar, benar jangan terlalu menurut dengan anak nakal itu.”

Jihye tersenyum mendengarnya. Dari balik lengan Ibunya, Jihye dapat menangkap keraguan pada tatapan Hoseok, tapi perempuan itu tidak mau ambil pusing. Memangnya apa yang mengkhawatirkan dari tinggal bersama orangtua Hoseok? Dia dan Hoseok sudah terlalu lihai menampilkan kehangatan yang palsu. Entah orang-orang di sekitar percaya atau tidak, yang penting mereka sudah mengusahakan yang terbaik. Melakukannya lebih sering tentu tidak begitu sulit.

Jihye jelas tidak akan memahami alasan dari keengganan Hoseok kembali ke rumah itu lagi. Meski komunikasinya dengan sang ayah tidak seburuk sebelumnya, tapi hubungan keduanya tetap tidak bisa dikatakan hangat. Di mata Hoseok, ayahnya akan selalu mencari kesalahan dari apa yang dia lakukan. Hoseok malas jika harus menanggapi hal itu nantinya.

Menyadari suasana berbeda antara Jihye dan Hoseok, Nyonya Han memilih undur diri dari ruangan tersebut. “Kalau begitu, Ibu akan menghubungi orang rumah. Ibu rasa Ibu juga perlu membeli sedikit cemilan,” alibinya usai melepas pelukan Jihye.

“Ibu di sini saja, biar aku yang beli.”

“Ibu masih kesal ya dengan anak nakal sepertimu. Jangan mencoba merayu!”

Tepat setelah Nyonya Han menutup pintu ruang rawat, Jihye melepaskan tawanya yang ia tahan sejak tadi. Rasanya benar-benar lucu melihat Hoseok saat ini, ekspresi wajahnya tampak … bagaimana menyebutnya? Tercengang? Hoseok yang benar-benar tidak paham dengan komentar ibunya.

Hoseok menghela napas, menghampiri Jihye. Duduk di sisi ranjang dan mengambil alih piring Jihye yang menyisakan beberapa suap nasi. “Bagaimana keadaanmu?”tanyanya setelah beberapa detik berlalu.

“Lebih baik. Terima kasih sudah membawaku kemari,” ujar Jihye tulus. “Terima kasih sudah menghubungi Ibu. Aku sangat terhibur.”

“Terhibur melihatku dimarahi, begitu?” Hoseok mengangkat sendok berisi nasi dan lauk lengkap ke hadapan Jihye. Membuat Jihye diam sejenak sebelum akhirnya dengan ragu membuka mulut, menerima suapan Hoseok. “Tidak berniat minta maaf?”

“Minta maaf?”tanya Jihye, usai menelan makanannya.

“Kau tidak peduli pada kesehatanmu dan bayi kita. Kenapa sampai telat makan tadi? Jika butuh sesuatu kau bisa minta padaku.. Jangan sakit lagi. Jangan membuatku khawatir.”

Jihye memilih tidak langsung menanggapi dan kembali menerima suapan Hoseok. Mengunyahnya perlahan dengan tenang. Entah mengapa kali ini Jihye tidak merasa begitu canggung. “Kau khawatir?”

“Ya. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan bayinya?”

Hoseok hanya mengkhawatirkan bayinya Jihye, bukan kau. Tidak mengejutkan bukan?

“Aku minta maaf sudah membuatmu khawatir.”

Selanjutnya, Jihye menyelesaikan makan malamnya dalam diam. Hingga Hoseok membereskan semuanya, Jihye teringat sesuatu.

“Hoseok!” Laki-laki  itu menoleh, menunggu Jihye melanjutkan ucapannya. “Kalung berlian yang tadi kauberikan padaku … di mana?”

Hoseok mengangkat bahu. “Entah. Aku terlalu panik dan tidak memperhatikan tadi. Mungkin jatuh saat aku menggendongmu.”

“Jatuh di mana? Itu berlian mahal, bukan?”

“Ck! Kau hanya peduli karena itu mahal?”Hoseok kembali menghampiri Jihye dan duduk di tempatnya semula. Laki-laki itu merogoh sesuatu dari kantong celananya. “Aku memberikannya padamu bukan semata karena nilainya.”

Belum sempat Jihye berkomentar, Hoseok meraih satu tangannya yang bebas dan meletakkan sesuatu dalam genggamannya. “Tolong jangan dinilai dari mahal tidaknya,” ujar Hoseok serius.

Jihye menatap kalung yang kembali ada di genggamannya. Sejak awal dia masih bertanya-tanya. Apa yang telah dia lakukan hingga berhak mendapat perhiasan cantik ini? “Jadi apa maksud semua ini?” tanyanya memandang Hoseok, menuggu laki-laki itu berbicara.

“Aku minta maaf untuk semua hal buruk yang pernah kulakukan padamu,”ucap Hoseok mantap. Ada ketulusan yang sampai pada hati Jihye. Menghantarkan kehangatan yang kasat mata, yang membuat Jihye yakin Hoseok benar-benar merasa bersalah dengan perbuatannya. “Untuk betapa berengseknya sikapku selama ini, I am really sorry. Ketika aku mengatakan ingin memperbaiki semuanya denganmu, aku benar-benar mengingingkan itu, sungguh dari lubuk hatiku.”

“Apa ini sogokan?”Jihye mengangkat genggamannya ke hadapan Hoseok. Jika Hoseok pikir ia bisa disogok dengan sesuatu yang bisa ia beli sendiri, sungguh laki-laki itu kekanak-kanakan.

“Aku tidak bisa menyalahkanmu jika berpikir begitu, tapi tolong, anggap saja ini sebagai bukti aku benar-benar ingin jadi sosok suami yang baik untukmu. Ayah yang baik untuk anak kita. Tolong Jihye percaya padaku.”

Tidak ada alasan untuk Jihye tidak mempercayai ucapan Hoseok kali ini. Namun nyatanya, dia tetap tidak berani.

xxxxx
One step closer💜

05 April 2020

House of Cards✓Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora