BAB 02

497 94 24
                                    

Sena fokus melihat layar televisi di depannya. Kedua alis cowok itu saling terpaut. Wajahnya serius kentara.

"Sialan."

Sena menoleh sedikit, namun sedetik kemudian kembali asik lagi dengan televisi dan kontroler PlayStation-nya.

"Ah, Bet, gue bilang juga apa, jangan gue yang deketin Fika!"

"Gak apa-apa, Dit, yang penting infonya."

"Info sih info, tapi ini cewek gue gimana?!"

"Lah emang lo udah jadian?"

"Ya belum sih."

"Hahaha."

Tanpa memedulikan obrolan di belakang, Sena masih terus berkonsentrasi pada karakter Leon yang tengah dimainkannya. Cowok itu tahu jelas, Albert dan Radit paling-paling cuma lagi membicarakan kejadian di kantin beberapa hari yang lalu, kejadian di mana Radit dengan kerennya diperebutkan oleh dua cewek yang pada akhirnya justru membuat kericuhan di kantin dengan aksi cakar-cakarannya.

Sena jelas ada di sana. Bergerombol bersama Albert dan anak-anak cowok yang lain. Duduk tak jauh dari TKP. Tapi satu di antara mereka, tak sedikit pun ada yang menduga bahwa hal tersebut dapat terjadi. Sehingga pada akhirnya ketika keributan itu berlangsung, baik Sena maupun Albert, cuma bisa terbengong-bengong sendiri menonton drama tersebut.

"Sen, gimana?"

Mendengar namanya dipanggil oleh suara yang familier, Sena otomatis langsung menjeda game yang dimainkannya dan menoleh penuh.

"Udah dapet apa aja?" tanya Albert kemudian. Radit di sebelahnya yang sedang sibuk menata bola-bola di mini size biliar milik Albert, cuma ikut melirik sekilas dengan wajah kusut luar biasa.

Sena buru-buru meraih ponselnya lalu mengotak-atik benda pipih itu dengan sigap. "Masih on progress, Bet, tapi ini udah ada beberapa. Kontaknya juga udah ada."

"Kirim kontaknya ke gue." Radit tahu-tahu menyambar cepat, mengabaikan bola-bola biliar yang tadi tengah disusunnya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana.

Sena melirik Radit malas. Meskipun cowok itu ada di urutan kedua setelah Pak Oto (guru pelajaran olahraga yang menyebalkan di sekolah) dalam list orang-orang yang setengah mati harus Sena hindari, tak pelak cowok itu tetap membuka kolom obrolannya dengan Radit lalu mengirimkan kontak dengan nama Nirina Gilbi di sana.

"Udah dapet apa aja Sen?" tanya Albert lagi.

"Oh, iya." Sena cepat-cepat beralih membuka kolom obrolannya dengan yang lain lalu membaca teks yang ada di dalamnya keras-keras. "Namanya Nirina, cuma anak-anak biasa manggil dia Nigi. Anak IPS 2. Seringnya selalu keliatan bareng Sarah, Dimi, sama Davi—"

"Davi?"

"Iya, Davi."

"Oh."

Melihat tak ada tanda-tanda Albert akan bicara lagi, Sena pun melanjutkan.

"Dia sejenis buka jasa buat orang-orang. Kebanyakan yang dateng ke dia cewek-cewek. Mereka minta tolong supaya Nigi ngasih advice ke mereka. Yang lebih aneh lagi, mereka bilang kalau Nigi bisa baca orang, makanya banyak yang dateng ke dia karena minta dibacain sesuatu."

Albert mengerukan kening. "Baca orang? Maksudnya dia bisa baca pikiran atau gimana?"

Sena mengangkat bahunya.

"Ngaco banget. Mau tipu-tipu kali tuh orang!" Radit tahu-tahu menyahut, terdengar sangat dongkol setelah sejak tadi cuma diam menguping sambil memainkan ponselnya. "Putri juga kayaknya kena tipu tuh sama dia."

Paper & InkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang