Pulang

154 0 0
                                    


"Kenapa?" Akhirnya aku bersuara, mencoba agar nada suaraku tidak terdengar aneh.

Kamu menatapku datar dengan manik mata kecokelatanmu yang menghunjam ke arahku. Entah kenapa, mendadak aura di antara kita berubah menjadi sangat dingin. Bahkan, aku seakan tersedot dengan aura aneh ini sehingga aku tergugup.

"Ma-- Maksudku, kamu kenapa melamarku? Bu-- Bukannya, kita tak pernah membicarakan sesuatu dengan serius? Bahkan, kita tidak seperti seorang kekasih. Jadi-- aku tak tahu perasaanmu, meskipun kamu melamarku, aku-- tak tahu alasanmu," jelasku panjang dengan susah payah menahan gugup tanpa menatap kedua manik mata indahmu.

Kudengar kamu menghela napas dengan kasar, sepertinya kamu tengah frustrasi menjawab semua omonganku. Tiba-tiba aku merasakan tangan kekar yang menyentuh daguku. "Hei, tatap aku. Aku akan menjawabnya."

Kugenapkan hati untuk menatap kedua manik itu yang kini tengah menyiratkan sesuatu. Dari situlah aku merasa dia tersenyum tipis ke arahku. Entahlah ...

"Kenapa aku melamarmu? Karena hanya kamu yang aku inginkan. Benar, kita memang tidak pernah berbicara dengan serius, tetapi aku telah menjadikanmu kekasih sepihakku. Bagaimana perasaanku padamu? Jawaban di poin pertama tadi sudah mewakilinya, kan?"

Aku terperangah. Ini pertama kalinya kamu berbicara panjang lebar dan seserius ini padaku. Apa kamu sudah berubah? Apa kamu sudah mencairkan diammu dengan berbagai macam perkataan yang keluar dari mulutmu? Apa kita akan selalu berbicara sepanjang ini?

Aku beralih menatap ke arahmu. Kulihat dirimu yang membutuhkan sebuah jawaban. Aku menghela napas perlahan. Mungkin, perkataanmu adalah kebenaran selama ini. Meskipun aku tak tahu untuk apa kamu mendiami aku di saat kita bersama.

Hati dan pikiranku tersinkron penuh dengan jawaban yang akan aku berikan padamu. Mungkin, ini adalah keputusan yang tepat untukku dan untukmu. "Ya. Aku menerima lamaranmu."

#

Sejak lamaran itu, aku dan kamu belum bertemu lagi. Bahkan, telepon dan chatting-mu yang bossy itu belum lagi kuterima. Biasanya, dalam dua hari sekali kamu akan memintaku menemanimu ke mana pun – melihat aktivitasmu tanpa sebuah obrolan.

Aku menghela napas perlahan, kenapa aku jadi sekhawatir ini?

"Na! Ngelamun aja!"

"Ish, apaan sih, Kak?!" bentakku. Seenaknya saja Kakakku ini mengagetkanku.

Kakak langsung duduk di sampingku begitu saja, mengabaikan tatapan memuja dari kalangan mahasiswi di kantin.

"Kakak ngapain di sini? Bukannya kerja malah ke kampus. Dasar makan gaji buta," cetusku lagi.

Kakak mengelus puncak rambutku. "Kakak mau minta tolong sama kamu, Dek."

Aku mengerutkan kening, "Minta tolong apa? Kan bisa diomongin di rumah dan bisa telepon juga."

"Enggak bisa, Dek. Acaranya nanti malam. Dan ... Kakak yakin kamu bakalan nolak makanya memilih datang ke sini ngebujuk kamu."

Aku memutar bola mataku. "Kalau udah tau aku bakalan nolak kenapa minta tolong juga ke aku? Emang minta tolong apa sih?" tanyaku dengan gemas sambil menikmati es teh.

"Gini, Dek. Kakak butuh temen ke acara reunian. Temenin, ya, Adekku sayang."

Aku yang sedang asyik minum es teh di teriknya siang hari ini pun tersedak.

"Enggak, enggak. Ogah!" sergahku.

Kakak yang sudah tahu mendapat penolakan pun tak tinggal diam dan melancarkan aksinya dengan menatap sendu ke arahku. "Yah, Dek. Kakakmu ini bisa dicibirin orang kalau belum bawa gandengan."

Aku tertawa keras di hadapannya. "HAHAHA ... Makanya, Kak. Cari pacar. Lagian, ya. Kakak ini ganteng kok. Cuma, ya, es batu! Dingin banget jadi orang. Gimana ada yang kuat cewek-cewek sama kamu, Kak?" cerocosku sambil menahan tawa.

Kakak mendengus kesal, "Au ah, bukannya dibantuin, malah dikatain. Cukup tau Kakak, Dek."

Wah, gawat nih. Kakak tercintaku merajuk.

Aku menghentikan tawaku yang sedari tadi tak berhenti, "Kenapa enggak ajak si Bagas? Kalian satu angkatan, satu kelas, temen sebangku dan satu sikap tuh. Duh, Kak, aku curiga kalian ada apa-apanya deh."

"Berisik, ah. Lagian, ya, dia itu enggak suka keramaian kayak gitu. Dia jelas beda sama Kakak yang suka keramaian." Kakak memilih berdiri meninggalkanku dengan kesal.

Aku menarik pergelangannya hingga membuatnya berhenti. "Karena Adekmu ini sayang denganmu. Baiklah, kutemani."

#

Tibalah kami di salah satu gedung ternama di ibu kota. Gedung ini sudah disulap dengan apik menjadi pesta para anak muda. Aku memakai gaun merah selutut dengan lengan terbuka, tak lupa rambut panjang kubiarkan tergerai bergelombang yang kubuat dengan catokan. Kakak memakai kemeja putih yang berada di balik tuxedonya serta celana bahan dan pantopel yang menghiasi jenjang kakinya.

Saat memasuki gedung itu, aku menggamit lengan kekar Kakak. Entah aura apa yang terpancar pada kami sehingga kami tiba-tiba menjadi tontonan publik seperti ini.

"Kak, mereka ngeliatin kita kayak mau makan kita hidup-hidup. Ngeri! Bulu kuduk Adek merinding tiba-tiba," bisikku pelan.

Kakak terkekeh, "Kakakmu ini salah satu most wanted semasa SMA. Ya, jelaslah. Kita bakalan jadi tamu yang ditonton."

Aish, pedenya tinggi sekali. Ya, aku akui sih. Kakakku tampan dan memang menjadi incaran banyak wanita sama seperti Bagas.

Kakak melangkahkan kakinya menuju pria-pria yang kuduga adalah teman-temannya.

"Woy, Ndra! Gila-gila lu dateng sama siapa? Pacar?" tanya seseorang dari kerumunan pria itu.

"Sembarangan lo! Ini Adek gue, Dina," jawab Kakak dengan datar selempeng jalan tol.

"What? Dina? Serius? Gila! Makin cantik aja dia. Gue pangling coy!"

Aku bersemu merah mendapat pujian seperti itu. Kakak menganggap pujian itu acuh tak acuh. Aku yang merasa salah tingkah pun memilih meninggalkan kerumunan pria itu. "Kak, aku mau ambil minum. Mau enggak?"

Kakak mengangguk, "Kakak temenin?"

Aku mencegah, "Eh, enggak usah. Kakak udah lama kan enggak ketemu mereka. Udah sana puasin kangen-kangenan."

Kakak tersenyum, mengelus puncak rambutku, "Oke, jangan lama-lama, ya."

Aku tersenyum manis, "Siap, Bos!"

#

Aku melangkahkan kaki menuju meja yang berisikan minuman bersoda merah. Meneguknya dalam sekali tegukan.

"Haus atau malu, Din?" tanya seorang pria yang sudah berada di sampingku. Aku terkejut, untung saja aku tidak menyemburkan isi air di mulutku. Bisa jatuh harga diriku.

"Eh, Kak. Ngagetin aja astaga," sahutku mengelus-ngelus jantungku.

"Aldo. Itu nama gue. Pertanyaan gue belum dijawab," senyum pria itu dengan matanya yang belum juga beralih dari kedua manik mataku.

"Sebenernya, Kak Aldo, aku tuh enggak biasa dapet pujian kayak gitu dari senior-senior most wanted kayak kalian," jawabku dengan malu-malu.

Kak Aldo terkekeh, "Astaga, Din. Lo polos banget! Lagian, ya, gue yakin banyak yang sekarang suka sama lo. Ya, kan?"

Aku mengangguk mengiyakan. Memang banyak yang menyatakan cinta padaku dari senior, seangkatan, bahkan adik tingkat. Tetapi, hatiku hanya sudah miliknya seorang.

"Kayaknya gue juga bakalan jadi salah satunya, Din," ucap Kak Aldo yang memberikan tatapan intens kepadaku. Aku agak risih dengan perlakuannya. Apa dia barusan mengatakan suka padaku?

"Dina!" teriak suara berat yang tak jauh dari keberadaanku.

Aku dan Kak Aldo menoleh ke asal sumber suara dan mendapati seseorang, seseorang pemilik hatiku.

Orang itu melangkah ke arahku dengan cepat, menarik pergelangan tanganku. "Pulang," ucapnya dengan nada dingin.

Relung DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang