Sungai

60 7 2
                                    

Musim Panas, 3980 M.A., Rhovenland, Anglice.

Sir Montgomery terduduk di batu, menengadah ke atas. Matanya terpejam. Kaok burung bangau terdengar jelas bagai sahut-sahutan terompet pengiring senja. Bukit ilalang yang ia singgahi telah berubah menjadi gundukan keemasan yang memantulkan semburat kemerahan bercampur kuning mentari yang menghiasi langit di ufuk Barat.

Angin bertiup sepoi-sepoi, mengibarkan rambutnya yang panjang, gelap, dan mulai beruban. Diguncangnya botol airnya perlahan. Isinya sudah mulai tandas. Ksatria paruh baya itu mendesah, lalu jemarinya menyentuh bekas luka di mata kakinya. Samar-samar kenangan pertempuran berkelebat terlintas di benaknya. Sir Montgomery bergidik. Sudah lama sekali ia tidak berperang. Pertempuran terakhir yang dihadapinya adalah sebuah peristiwa traumatis yang takkan bisa ia lupakan. 

Selama lima puluh tahun hidupnya, belum pernah ada pertempuran dahsyat yang terjadi di Moontrose, sampai suatu saat api hitam dinyalakan dari Selatan, merambah dan merenggut jutaan jiwa tak berdosa di bawah panji-panji musuh. Pertempuran dahsyat itu merubah paras Moontrose yang dulunya aman tanpa marabahaya menjadi lembah gersang tanpa warna. Tak ada lagi lagu yang dinyanyikan, tak ada lagi syair yang dilantunkan, tak ada lagi dansa yang ditarikan. Kegersangan itu terjadi tepat tiga tahun yang lalu dan Montgomery ikut menyaksikannya, saat keping-keping bebatuan Moontrose membeku di bawah salju semerah saga.

Puji Tuhan, di musim dingin yang gersang itu pula, seorang pembela rakyat muncul mengibarkan panji-panji harapan. Namanya Louis, berjuluk Sang Pendamai. Mulanya ia hanya seorang pemuda desa yang tak punya apa-apa, bahkan menyentuh sepiring roti, namun dengan gagah berani, ia menerjang musim dingin yang gersang itu demi pun ia belum pernah. Betapa hinanya! Keberanian Louis tidak hanya menggerakkan hati kaum jelata, namun juga para bangsawan, tak terkecuali Montgomery sendiri, yang saat itu masih mengabdi pada raja lama. Sang raja yang semula kehilangan harapan akibat putra sulungnya baru gugur dalam pertempuran pun ikut tergerak hatinya untuk kembali berjuang. Ia pun menunjuk Louis sebagai panglima perang. Di sepanjang jalan setapak dan sisiran sungai, rakyat mengelu-elukan namanya, mendoakannya, dan menulis syair-syair untuknya. Penghormatan kepadanya tak pernah usai bahkan hingga ia berhasil memukul mundur pasukan musuh hingga menghilang di balik pegunungan. Rakyat bersukacita. Atas jasa-jasanya itulah kemudian Louis dinobatkan menjadi raja, dan Montgomery pun ganti mengabdikan diri padanya. Pengabdian yang tulus, sampai suatu ketika Montgomery memutuskan untuk pergi. Alasannya tak pernah ia beritahukan pada Sang Raja, dan tak ada seorangpun yang berani menanyakannya.

Sir Montgomery menarik napas dalam-dalam. Sudah tiga hari ia menahan lapar akibat pengembaraannya yang tiada berujung. Ia berharap, suatu waktu menemukan desa yang bisa menerimanya. Namun berbulan-bulan sudah ia melaju, tak kunjung ditemuinya barang satu pertanda adanya kehidupan. Daerah Rhovenland merupakan pembatas antara Moontrose dengan Nordland, negeri tetangga yang sama gersangnya, namun lebih sejuk dan lembab. Jarak negeri itu sendiri masih ratusan mil dari Rhovenland, namun pegunungan berkabutnya, nun jauh di utara sana, sudah menampakkan wujudnya, menjulang diantara awan-awan senja. Sekelebat ide terlintas di benak Montgomery. Jika ia mencapai Nordland nanti, ia ingin mendaki pegunungan itu dan mati di salah satu puncaknya.

Kuda putih Sir Montgomery, Gaoithe, sama lelahnya seperti tuannya. Sesekali ia menggoyang-goyangkan kepala, mengusir lalat yang kebetulan melintas. Sesekali pula Gaoithe menyapu-nyapukan ekornya ke udara. Sama seperti tuannya, Gaoithe mulai bosan melihat perbukitan gersang. Ia mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada selonjoran di bawah mentari senja yang temaram, tanpa teh dan biskuit, serta api unggun untuk mengahngatkan diri—itupun kalau Gaoithe mengerti apa yang dimaksud biskuit. Sir Montgomery membelai lembut surai kudanya. Ia lalu merogoh kantong kulit di sisi sadel, mengeluarkan sebatang suling. Suling itu memiliki lambang kasatriyan Wye Dungeon, kastil pemerintahan Moontrose, terpatri di pangkalnya.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now