Kisah Pulau Timur

Start from the beginning
                                    

"Bapak kepala adat!", panggil Umar kepada kepala adat. "Harus dibilas terlebih dahulu, barulah bapak bisa pergi ke ladang."

"Tidak, ini wangi", jawab kepala adat sambil pergi meninggalkan para santri itu. Teriakkan para santri yang terus menyuruhnya untuk membilas busa yang menempel di tubuhnya itu tak didengarnya lagi, bau sabun dan sampo itu rasanya tak tega ia buang karena wanginya. Hari berlanjut, keesokannya para santri mengajak lagi kepala adat mandi sungai bersama. Kepala adatpun menyetujuinya, seperti hari lalu, ia tetap saja tak membilas busa dan membiarkannya mengering terpanggang sinar mentari. Iapun terus saja bergegas pergi menggarap ladangnya. Hari-hari berlalu, hampir sepekan busa tetap dibiarkannya mengering di tubuhnya. Di hari keenam, tepat setelah matahari tergelincir ke arah barat, kepala adat pulang dari ladangnya. Kala itu, mendung menutupi langit desa, hujanpun turun membasahi tubuh kepala adat. Sabun yang kering yang menempel di badannya, menjadi basah dan kembali menjadi busa. Lantas iapun menggosok-gosokkan dan bersihlah badannya dari sabun dan sampo. Terasa kesat dan wangi, hilangnya busa itu membuat badannya segar dan bugar, kemudian tidurlah ia dan bangun pada keesokan harinya tepat saat santri datang ke rumahnya mengajaknya mandi sungai lagi.

"Selamat pagi, Bapak...", belum selesai santri itu bicara, kepala adat langsung menimpalinya, "Anak-anak, mandi yang benar adalah mandi yang kalian ajarkan. Kemarin bapak sehabis pulang dari ladang, badan bapak basah diguyur hujan, lalu bapak merasa segar dan tidur. Belum pernah Bapak tidur enak seperti tadi malam."

"Bapak akan ikut mandi lagi?", tanya seorang santri.

"Ya", jawab kepala adat.

Kepala adatpun ikut mandi bersama para santri itu, dan kembali tidur pulas di malam harinya. Keesokannya, kepala adat memberitahukan kepada penduduk desa apa yang dirasakannya itu.

Apakah Tuan tahu apa yang akan penduduk desa itu lakukan? Betul Tuan, mereka berbondong-bondong menghampiri para santri dan memintanya untuk mengajari mandi. Tuan tahu berapa jumlah penduduk desa itu? Bukan ratusan Tuan, tapi ribuan, cerita yang saya dapati ada sekitar tiga ribu lebih penduduk desa itu. Tuan bisa bayangkan betapa ramainya kala itu.

Para penduduk itu kemudian berkumpul di tepi sungai, para santri mengajari dengan sabar tata cara mandi. Sabun yang dibawanya sebanyak 10 karton tak cukup dibagi satu-satu, kemudian dipotonglah masing-masing menjadi empat bagian. Tak selesai satu atau dua jam, bahkan empat jampun tak cukup. Semua penduduk desa belum merasakan mandi. Akhirnya diberhentikanlah sebentar oleh para santri karena waktu salat dhuhur telah masuk.

"Yang sudah mandi, jangan pulang dahulu, dan yang belum mandi juga janganlah pulang dahulu, kami akan melanjutkannya setelah salat dhuhur", teriak Umar agar terdengar oleh seluruh penduduk hingga ujung.

Merekapun berwudhu dan menuju panggung, mendirikan salat. Iqamah dikumandangkan, dan disusul suara takbir yang cukup keras, tanda dimulainya salat. Selama salat, penduduk desa memutari mereka di bawah panggung sambil memperhatikan gerakan yang dilakukan. Selepas salam, seorang kepala adatpun langsung bertanya dengan suara lantangnya,"Anak-anak apa yang kalian lakukan tadi?"

"Bapak kepala adat, kami kedua puluh orang ini adalah beragama Islam, kami diperintahkan Allah, Tuhan kami, untuk melaksanakan salat", jawab Umar.

"Lalu kalian berdiri, mengangkat tangan dan bicara-bicara itu apa maksudnya?", tanyanya lagi.

"Tadi kami berdiri, kami menyerahkan seluruhnya, jiwa, raga, dan kehidupan hanya kepada Allah. Kami tadi bertakbir, Allahu Akbar, Allah yang Maha Besar. Diri kami begitu kecil sehingga kami malu, kami sangat malu dalam dada kami tersimpan kesombongan yang membesarkan diri, lantas kami menutup dada kami dengan tangan kiri dan juga menutupnya dengan tangan kanan", jawab Umar.

"Tapi sesudah itu anak-anak membungkukkan badan, kenapa membungkukkan badan?", tanya kepala adat.

"Tadi kami membungkukkan badan kami, supaya kami melihat apa yang Allah karuniakan bagi kami di bumi, ada tanah, batu, pasir, air, hewan, tumbuhan, semuanya pemberian dari Sang Pencipta untuk manusia, yang harus dinikmati dan juga dilindungi, karena masih ada manusia selanjutnya setelah kami", jawab Umar.

"Kemudian mengapa harus turun mencium papan?", tanya kepala adat.

"Kami turun mencium papan, menangisi dosa kejahatan yang kami lakukan di bumi, kami merendahkan diri meminta ampun kepada Allah", jawab Umar. "Daging, kulit, darah, dan tulang yang ada pada kami sekarang akan dileburkan menjadi tanah kelak, sebelum dileburkan-Nya kami menyatukan kepala, telapak tangan, lutut, dan jemari kaki menangis meminta ampun kepada Allah."

"Tapi kenapa setelah itu kalian melihat ke sebelah kanan dan kiri?", tanya kepala adat.

"Kami melihat ke sebelah kanan, jika ada yang belum tahu tata cara mandi, tugas kami mengajari mandi, tugas kami memberi pakaian jika penduduk disini belum memiliki pakaian, tugas kami memberi makan jika masih ada penduduk yang kekurangan makan, dan tugas kami mencarikan obat bagi yang sedang sakit badannya", jawab Umar dengan tersenyum. "Kemudian kami melihat ke sebelah kiri, jika disini belum ada yg mengenal Allah dan Rasul-Nya, kami hadir mengenalkan Allah dan rasul-Nya."

"Kalau begitu kalian kedua puluh orang, turunlah ke bawah", kepala adat tadi mempersilahkan para santri untuk turun dari gubuk panggung itu.

Kemudian kepala adat itu memanggil kepala adat lain, untuk naik ke gubuk panggung itu membahas kehadiran para santri di desa. Setelah beberapa waktu, selesailah mereka dengan rapatnya itu.

"Hari ini kita begitu senang", kata seorang kepala adat dengan lantangnya memberi pengumuman. "Anak-anak ini sudah mengajarkan agama yang benar, dan dalam rapat adat kami sepakat kita semua masuk ke dalam agama anak-anak itu."

Keduapuluh santri itupun bersujud dan mulai membimbing para penduduk desa bersyahadat. Hati mereka begitu bergetar karena bahagianya. Kemudian di hari-hari berikutnya, dibimbinglah para penduduk dengan ajaran Islam, dan jadilah desa itu seperti yang saya ceritakan tadi.

Begitulah ringkas kisahnya Tuan. Itu seperti yang saya dapati setahun lalu saat hadiri kajian di Masjid Raya kota ini. Jika Tuan ingin menjumpai Umar, seorang santri yang saya kisahkan tadi, Tuan bisa mengunjunginya di tepi barat pulau ini. Ada sebuah pesantren yang megah berdiri, dia adalah pimpinan disana. Tapi, jikalau Tuan kesana dan tak menemuinya, barangkali dia sedang dipenjara lagi. Iya, dia biasa dipenjara karena banyak yang benci dengan dakwahnya. Semoga dia dijaga Allah.

KISAH PULAU TIMURWhere stories live. Discover now