Kisah Pulau Timur

35 0 0
                                    


Kalau Tuan hendak berkunjung ke Pulau Timur, kiranya rugilah Tuan kalau tak sampai di pedesaan kecil yang ada di pedalaman pulau itu. Kalaulah Tuan mengunjunginya, pastilah hati Tuan akan terpikat dengannya. Tuan tak akan dapat menjulukinya dengan sebuah julukan saja, karena seribu keelokannya. Pegunungan yang tinggi menjadi pagar alami, bak benteng yang melindungi sebuah negeri. Kalau malam telah tiba, ada seribu bintang yang berkelap-kelip menghias langit. Terkadang lewatlah kunang-kunang di sekitar alang-alang. Ketika matahari sudah mengintip dari pegunungan timur, burung-burung berkicau dan mulai bersiap meninggalkan sarang mereka. Ayam jagopun tak mau kalah, memamerkan kejantanannya lewat kokokkan gagahnya. Ranting dan dedaunan bergerak-gerak seolah menyapa penduduk yang tengah bersiap memulai aktivitasnya.

Tak hanya keelokan alam yang sejuk dipandang mata, telingapun akan sejuk mendengar lantunan adzan yang berkumandang merdu lima kali. Anak-anak dengan lantang mengeraskan bacaan kitab sucinya, seolah tak mau kalah memperdengarkan hapalan surat di masjid yang berdiri megah di tengah desa. Pastilah hati Tuan ragu dengan ucapanku, aku bukan seorang pembual, Tuan. Tuan pasti mengira kalau Pulau Timur tak kenal Islam, apalagi di pedalamannya. Tidak Tuan, bahkan ia akan muncul di depan membawa cahaya Islam, kelak. Biar kuceritakan kepada Tuan, kisah dibalik eloknya desa itu, begini kisah yang kudapati setahun yang lalu.

Satu kali, pergilah seorang lelaki berkulit hitam keling dan berambut keriting bersama sembilan belas kawannya, pergi menuju Pulau Timur. Beberapa lembar pakaian dan perlengkapan lainnya tak muat disimpan dalam tas besar yang mereka gendong di pundak bidangnya, satu orang juga membawa dua karton yang diikat kencang dan ditentenglah dengan kedua tangan yang berotot itu. Merekalah para santri yang mengemban dakwah Islam di desa pedalaman itu.

Dahulu, desa itu tak seelok yang kuceritakan pada Tuan tadi. Kala itu, penduduk disana hanya berpakaian adat. Tuan pastilah tahu bagaimana pakaian adatnya, ya, seperti itulah. Jikalau matahari menyengat tubuhnya akan menghitamlah kulitnya, dan jikalau udara sedang dingin, terasalah dinginnya menusuk ke tulang-tulang. Mereka mandi dengan berluluran lemak babi, pastilah Tuan akan jijik dengannya karena baunya itu. Jikalau Tuan berdiri searah angin berhembus, maka pastilah Tuan akan pingsan dengannya. Babi-babi tak terkandang, bebas berlari kesana kemari. Para wanita melahirkan bak binatang yang beranak. Tak jarang orang asing membawa minuman keras, membagikannya kepada penduduk dan mabuklah seluruh penduduk sehingga bergeletaklah layaknya dedaunan yang jatuh berguguran di tanah.

Menurut Tuan, saya sedang membual lagi? Tidak Tuan, inilah yang memang terjadi pada saudara kita di Pulau Timur sana dahulu. Memang tak layak, sangat tak layak, di sebuah negeri yang merdeka, di ujungnya masih pula terdapat manusia yang tak merdeka dalam hidupnya. Tertinggal jauh dari sapaan dunia luar yang membanggakan teknologinya atau menantang Tuhan dengan gedung tingginya. Sungguh hati saya terasa pilu dan berderailah airmata ini.

Para santri itupun pastilah merasa hati yang pilu juga, dihadapannya penduduk satu desa tak berkehidupan layaknya manusia merdeka lainnya. Dalam cerita yang saya dapati, kali pertama mereka menginjakkan kaki disana mereka bersujud, menangis dan meminta ampun kepada Allah. Lantas para santri itupun menyusun rencana dakwah. Mulailah mereka mendirikan gubuk kecil yang tinggi layaknya panggung, sebagai tempat salat di tanah lapang desa itu. Pagi setelahnya, para santri mengajak salah seorang kepala adat mandi bersama di sungai desa itu. Setelah sampailah mereka di tepi sungai, merekapun menjatuhkan diri ke sungai, merasakan segarnya air yang membilas keringat mereka itu. Salah satu dari santri itu, Umar, berdiri tepat di samping kanan kepala adat. Kemudian menyuruh kawan-kawan santri lainnya mengambil sabun dan sampo. Umarpun memberikan satu batang sabun kepada kepala adat, seraya berkata, "Bapak kepala adat, silahkan ikuti gerakan kami". Para santripun menggosokkan sabun ke tubuh badan sebelah kanan, begitulah pula dengan kepala adat. Kemudian mereka menggosokkan sabun ke tubuh badan sebelah kiri, diikutilah juga oleh kepala adat. Setelah tubuh badan mereka terselimuti oleh busa sabun, Umar mengambil sabun dari tangan kepala adat dan menggantinya dengan sebotol sampo. Keramaslah kepala adat itu, hingga rambut keritingnya mengembang tinggi, bak bunga yang sedang mekar. Semakin tinggi rambut itu mengembang, hingga jatuhlah setetes sampo tepat di hidung kepala adat, "Wangi", katanya sambil tersenyum. Kepala adat langsung naik ke tepi sungai.

KISAH PULAU TIMURWhere stories live. Discover now