Bagian Kedua

163 3 0
                                    

16 Oktober 2014

Pagi  hari

"Kembaliin!"

Ia memohon kepada laki laki di seberang mejanya. Suaranya setengah berbisik agar tidak mengalihkan perhatian murid lainnya yang sedang mendengarkan guru menjelaskan pelajaran. Anak laki laki  itu tertawa tak mengeluarkan suara melihat temannya berupaya merebut ponsel yang digenggamnya. Pemuda iseng itu bernama Rudi, anak orang kaya. Tabiatnya terlalu menyebalkan. Saat ini misalnya, bermain ketika seharusnya berkonsentrasi agar pelajaran yang dibagikan tersimpan dibenaknya.

Rudi sering melakukan hal ini. Berulangkali diperingatkan oleh banyak guru, bahkan orang tuanya juga sering bolak balik ke sekolah untuk mendapatkan teguran agar anak semata wayang mereka bisa lebih terkendali perangainya selama bersekolah. Namun dalam hal kepintaran Rudi diatas rata rata murid murid lain. Ia memiliki kemampuan menyerap berbagai informasi serta mengolahnya dengan cepat dan akurat. Walau dikenal badung, Rudi selalu berada di peringkat 3 besar di setiap semester. Banyak yang menganggap kelakuan menggangu Rudi ini atas kesadaran akan kekayaan keluarganya. Susanto, ayah Rudi adalah seorang taipan terkenal pemilik perusahaan terbesar di negeri ini. Bisnisnya menggurita disegala bidang. Susanto juga dikenal sebagai raja media karena kepemilikan saham terbesar dari semua media cetak, elektronik dan dunia maya.

Laki laki yang memohon di belakang Rudi bernama Anto. Perawakannya yang kurus, tidak modis, diberi julukan si cupu oleh teman sekelas. Terlalu akrab dengan dunia imajinatif di video games, komik dan film namun kurang bergaul dengan banyak orang. Tempat teramannya hanyalah kamar pribadinya. Ketertarikan terhadap aneka produk fantasi membuat ia sangat menguasai alat alat elektronik. Anto adalah manusia generasi yang tidak bisa hidup tanpa didampingi oleh perangkat eletronik. Akrab terhadap benda mati namun hambar rasa kemanusiaan.

Imajinasi yang tinggi tidak sebanding dengan kemampuan yang dimiliki selalu menimbulkan masalah. Nafsu besar, tenaga kurang.

Anto tertarik dengan gadis tercantik dan terpopuler di sekolah mereka. Shinta namanya. Laki laki normal pastilah terpesona dengan segala dimiliki Shinta. Letupan hormon yang bergejolak di rentang waktu umur belasan tahun membuat remaja sulit membedakan dorongan kimiawi ditubuh dengan perasaan yang muncul jiwa mereka. Shinta menjadi figur imajinasi hormonal laki laki di SMA ini. Perasaan yang sebenarnya didorong untuk melakukan aktifitas seksual oleh hormon yang mempengaruhi tubuh para remaja.

Sadar dengan apa yang dimilikinya, Shinta pandai menolak berbagai rayuan laki laki yang sering diungkapkan seperti "ingin bersahabat lebih dekat", "ingin menjadi laki laki spesial di dalam hidupmu" atau lebih jelasnya lagi "ingin menjadi pacarmu".

Shinta menjadi figur fantasi Anto. Ponsel miliknya penuh dengan "all about Shinta". Takut, malu, minder, panik jika hal itu bocor ke seluruh murid di kelasnya apalagi jika Shinta gadis pujaannya tahu.

Rebutan ponsel antara Rudi dan Anto dilihat oleh seorang murid anti sosial duduk di pojok belakang kelas. Ketidaksukaannya berkumpul bersama banyak orang membuat dirinya benci berada di sekolah. Kebencian itu semakin menjadi jadi melihat polah kedua murid sekelas dengannya. 

Si sinis ini bernama Armand. Dia menganggap semua murid di dalam kelas adalah orang orang yang tidak mengerti tentang tujuan hidupnya di dunia ini. Ia tidak ingin terlibat terlalu dalam secara emosional dengan manusia di sekitarnya. Hakekat seseorang bersekolah menjadi pertanyaan penting di hidupnya, "Untuk apa berkumpul di tempat ini bersama sama makhluk ga mengerti akan hakekat dirinya tercipta di dunia ini hanya sekedar mendapatkan informasi yang seadanya padahal begitu melimpah di internet?", "Jika berkumpul bersama orang orang tujuannya untuk belajar berinteraksi dengan sesama manusia dalam kehidupan, apakah informasi yang didapat untuk kebaikan umat manusia ataukah cara saling menghancurkan dengan menipu, memanipulasi satu sama lain agar bisa bertahan dalam kehidupan ?" Pemikiran yang sangat jarang dimiliki oleh remaja 15 tahun.

Ada kemiripan antara Armand dan Rudi.  Sama sama berotak encer. Serumit apapun sebuah  informasi mampu Armand serap dan jabarkan dengan baik. Ia selalu bersaing dengan Rudi dalam daftar peringkat murid terbaik tiap semester. Perbedaan keduanya terletak pada kelas ekonomi dan cara pandang terhadap kehidupan. Armand berasal dari keluarga menengah, profesi kedua orang tuanya sebagai pegawai swasta. Hidup mereka tak berkekurangan, semua kebutuhan tercukupi. Cara pandang Armand terhadap kehidupan sangat pesimis, cenderung nihil. Tidak dengan Rudi yang cenderung semaunya, tanpa beban.

Armand terganggu dengan tingkah Rudi dan Anto. Ada kebencian muncul di hati Armand melihat Rudi. Mempermainkan kelemahan seseorang. Antopun tidak luput dari kekesalannya. Manusia lemah, bermental kerdil yang tidak percaya dengan potensi pada dirinya. Sementara murid lainnya menahan tawa melihat adegan itu, ikut menikmati kemalangan Anto. Tindakan yang tidak disadari seperti penonton menikmati adegan pembunuhan di film horror penyiksaan yang bersimbah darah.

Dengan sekali teriakan semuanya pasti berakhir. Tapi Armand tidak ingin dianggap sebagai pahlawan. Di depan Astuti, si guru terlalu asik dengan tugas yang diembannya sebagai pengajar. Rudi mulai menekan layar sentuh qwerty di ponsel bermaksud menyebar photo candid Shinta yang diambil Anto dari kejauhan. Dasar penguntit.

Tiba tiba Astuti, sang guru menoleh ke belakang.

"Rudi, Anto...apa apan itu?"

Keduanya terdiam.

Astuti mendekati mereka.

Seisi ruangan kelas pandangannya terpusat ke Rudi dan Anto. Ponsel sangat dilarang digunakan pada waktu proses belajar mengajar.

"Apa yang kalian rebutkan?"

"Saya mau pinjam catatan Anto bu."

Astuti diam, curiga.

"Apa yang ada di tangan kamu Rudi?"

"Ga ada apa apa bu."

Rudi menunjukan kedua tangannya ke Astuti. Kosong.

"Benar, Anto?"

Rudi menantap tajam Anto.

"Iya bu. Rudi mau pinjam catatan saya."

Anak anak lainnya menahan tawa.

Armand melihat ponsel yang diperebutkan tersembul di pantat Rudi, tak terlihat oleh Astuti.

"Jangan bikin ribut."

Astuti kembali ke depan kelas.

Rudi tersenyum menatap Anto yang menyerah. Anto sangat marah dengan kondisi itu, tapi tak bisa berbuat banyak.

Armand muak melihat ekspresi Rudi yang begitu pongah .

Dengan penuh kebencian Anto melihat ponsel miliknya diduduki Rudi.

Tiba tiba...

AAAAARRGGHHH !!!!

"PANTAT KU !!!"

"PANAAAASSSS !!!"

Rudi melompat dari kursi yang ia duduki. Berlari ke luar kelas sambil berusaha memadamkan api di celananya yang membara. Para murid terbagi perhatiannya ke Rudi dan bangkunya.

Anto, Armand beserta murid lainnya melihat kursi Rudi muncul kepulan asap disertai percikan listrik dari ponsel yang terbakar.

Bersambung...

Sambar Gledek : The LegacyWhere stories live. Discover now