"Nin...," panggilan lembut dari Revan lagi-lagi. Ia berusaha menenangkan gadisnya dengan tatapan yang meneduhkan. "Percaya deh, Lalis palingan bete doang. Besok juga dia baik lagi, masa cuma gara-gara gak jadi makan bareng dia sampe nangis-nangis di rumah, kan gak mungkin? Hmmm..." Cowok itu menaik-turunkan alisnya seraya tersenyum simpul.

Nina diam sejenak. Gadis itu menatap dalam bola mata elang milik Revan yang berwarna coklat.

"Kak?"

"Hmm?" Revan masih memandangi wajah cantik milik Nina, ia tidak pernah bosan dengan senyuman berlesung pipi itu.

"Kalo seandainya ternyata—ummm...,

Revan semakin penasaran, ia mendekatkan tubuhnya dan menyimak baik-baik kalimat Nina selanjutnya. Sedangkan gadis itu sengaja menggantung perkataan sambil mengulum bibirnya yang membuat lesung pipinya semakin tercetak jelas.

"Kalo seandainya..., Lalis ternyata punya perasaan lebih ke Kakak, gimana?"

Revan mematung, namun matanya berkedip tiga kali seolah ia bereaksi kaget. "Hah?"

Revan segera melebarkan tawa dan mengalihkan pandangannya. Ia merasa lucu atas pertanyaan Nina. "Hahaha..., kenapa sih semua orang nanyanya gitu? Gak sih Dimas, Gak Nina—

"Karena gak mungkin dalam lingkaran persahabat cewek dan cowok, mereka salah satunya gak ada yang suka." Nina berhasil membuat Revan terdiam lagi, dan kali ini cowok itu terlihat sedang mencerna baik-baik perkataan Nina.

"Kak, Lalis itu kelihatan banget kok dia nyaman sama Kakak. Ya, walaupun dia gak pernah ngomong langsung ke Nina, tapi itu terlihat jelas kok dari tatapannya waktu ngeliat Kakak," Nina sendiri pun merasakan perbedaan di diri Lalisa ketika dekat dengan Revan. Makannya ia tidak mau terlarut dalam kenyamanan bersama Revan, dirinya tidak boleh jatuh cinta pada Revan. "Jadi kayanya, mulai sekarang Kakak harus berenti peduli sama Nina. Kita harus jauh."

Deg.

Revan auto menoleh dengan bola mata yang membulat. Sementara Nina langsung menunduk, ia sebenarnya tidak ingin berbicara seperti itu, tapi semakin lama perasaannya berubah.

Ya, Nina mulai menyukai Revan.

"Nin!" Kali ini intonasinya tegas, bahkan Revan sudah memegang kedua punggung tangan gadis itu dengan sangat erat.

"Gak, Kak. Tolong jangan kaya gini." Nada suara Nina mulai gemetar, menandakan isak tangis akan keluar sebentar lagi. Kemudian, gadis itu melepas genggaman Revan dan menghadap depan.

"Kenapa?" Revan menatap sendu wajah gadisnya dari samping. Ia meminta penjelasan.

"Nina cuma gak mau, persahabatan Nina sama Lalis rusak." jawabnya dingin sekaligus berkaca-kaca.

"Nin...," panggil Revan benar-benar lembut, seakan ia memohon agar Nina tidak seperti ini.

Nina tidak menyahut, ia masih menundukkan kepalanya dan tidak ingin memalingkan wajahnya ke Revan sedikit pun. Dirinya takut akan luluh.

"Percaya sama Revan, Lalis itu cuma Revan anggap sebagai adik. Gak lebih."

Nina geram, ia terpaksa menoleh dengan tatapan berkaca-kaca. "Kak! Ini bukan masalah Kakak, tapi ini masalah Lalis. Ya, mungkin Kak Revan anggapnya Lalis itu adik. Tapi, Lalis?" gadis itu menaikkan alisnya sebelah, dan berbicara serius.

Revan hanya menggeleng, matanya juga ikut berkaca-kaca. Ia tidak siap kehilangan Nina, bahkan sebelum mendapatkannya.

"Mungkin aja selama ini Lalis memandam perasaannya sendiri." Nina terus menerka sambil membayangkan bagaimana ekspresi sahabatnya ketika ia curhat masalah Revan yang mulai berubah. Revan yang tak lagi perhatian kepadanya, dan itu semenjak Nina dekat dengan Revan.

YoursWhere stories live. Discover now