Prologue : It's not a ring

654 71 4
                                    


Up ulang gaes T_T

soalnya yang pertama kehapus, sebel sama wattpad akhir-akhir ini susah banget. Untung suri biasa nulis di word dulu jadi gak begitu bingung :)

Vote + Komen lagi ya gaes





######






Apa kau percaya dengan takdir?

Apa kau pernah bertemu takdir kalian?

Apa benang merahlah yang telah mempertemukan takdirmu?

Atau kalian sama sekali tak percaya dengan adanya benang merah yang selama ini mengikatmu dengan takdirmu yang berada jauh disana. Aku percaya dengan semua itu. Percayalah padaku.

Namaku Park Jimin, usiaku saat ini sudah menginjak pertengahan lima puluh jika perhitungannya menganut tradisi Korea. Jelasnya aku adalah seorang pemuda yang saat ini begitu dipuja-puja oleh banyak wanita setiap penjuru dunia. Bukan sombong jika aku berani membandingkan ketenaranku setara dengan penyanyi Justin Bieber, Sawn Mendes, atau Charlie Puth. Siapa lagi? Katakana artis mana lagi yang kalian suka pasti aku akan berani mengatakan, 'Hey, aku jauh lebih popular daripada mereka dan banyak wanita mencintaiku', atau harus kukatakan bahwa pria pun memandangku sama? Ah! Jangan dulu.

Sebenarnya aku menulis ini bukan ingin menyombongkan diri atau semacamnya. Maaf melenceng jauh sekali untuk permulaan, tapi akan aku mulai cerita ini dengan serius mulai sekarang. Cerita bagaimana aku bertemu dengan takdirku.

Aku lahir di Busan dan tinggal di perkampungan dengan indeks ekonomi rakyatnya dibawah rata-rata. Aku bukannya orang melarat yang tinggal dibalik rumah dari kayu yang disusun, setidaknya kelaurgaku masih tergolong mampu untuk menghidupiku dan adik laki-lakiku. Untuk sekolah aku termasuk siswa yang rajin hingga masalah biaya tak terlalu membebankan waktu itu. Omong-omong, aku ini menjabat sebagai ketua kelas selama 9 tahun. Maaf, aku bukannya sombong.

Sejak lahir aku memiliki sebuah tanda lahir berupa goresan melingkar pada kelingking sebelah kiri yang berwarna merah pudar. Tanda lahir itu nampak seperti sebuah cincin yang tersemat dalam kelingkingku, namun anehnya selama hidup di Busan taka da yang menyinggung masalah itu, termasuk kedua orangtuaku.

"Jimin! Kau sudah selesai mengemasi barang-barangmu, nak?" Teriakan ayahku yang menggema sama sekali tak mengejutkanku. Aku terlalu sibuk dengan kebingunganku pada tanda lahir yang warnanya semakin terang. "Jimin-ah!"

"Ah! Nde!" Balasku berteriak lalu segera bergegas keluar sambil menenteng tas punggungku yang lumayan berat.

Sebuah mobil pick up sudah terparkir tepat didepan rumahku dengan orang-orang yang berkumpul disekitarnya. Sebenarnya aku cukup terkejut karena para tetangga dan juga guru-guru serta teman-temanku tiba-tiba sudah berada di depan rumah. Apalagi yang dibicarakan ibu tentangku pada mereka?

"Ya ampun, Jimin! Bibi ingat sekali saat kau kecil kau pernah mengompol dihalaman rumah bibi. Bibi tak sangka kau tumbuh secepat ini dan sebentar lagi menjadi artis." Ujar salah seorang wanit dengan rambut pendek ikal yang datang sambil memelukku. Jujur aku tak pernah tau siapa bibi itu dan tak pernah mengingat kapan dan dimana saja aku mengompol saat kecil.

Setelah bibi tadi melepas pelukannya datang lagi seorang pria jakung dengan aroma tubuh menyengat karena tembakau yang dibakar. Ah! Aromanya tercampur dengan keringat dan aroma amis dari laut, sepertinya paman ini baru saja menangkap ikan. "Jimin, aku membawakanmu beberapa gurita besar dan abalone untuk kau makan bersama rekan artismu nanti."

The Red StringWhere stories live. Discover now