Oma mengangguk dan mengelus pucuk kepala cucunya itu. "Lain kali kalau sakit bilang ya." Grahita tersenyum tipis dan mengangguk.

"Emm, mohon maaf, ini sudah malam, saya undur diri dulu." Lantas Gandhi mencium punggung tangan Oma dengan sopan dan membuat Oma Shinta tersenyum. "Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam."

Kemudian Oma memilih duduk di kursi yang sudah di sediakan, "Nak Gandhi sopan banget ya Ta. Oma jadi pengen punya cucu mantu kayak dia." Ucapnya pada Grahita kemudian. Grahita menatap Omanya horor.

"Apa sih Oma. Tata nggak mau nikah. Udah titik." Perlahan senyum Oma Shinta memudar, tergantikan dengan wajah serius.

"Oma harap ucapanmu tadi hanya main-main saja Tata." Grahita menggeleng, "Tata serius Oma."
Kemudian Oma Shinta menatap Grahita serius, "Alasannya apa sehingga kamu nggak mau nikah?" Oma Shinta berharap ucapan Grahita hanyalah angin lalu saja, tetapi mendengar alasan perempuan itu membuat Oma terdiam.

"Simple Oma. Grahita nggak mau disakiti sama laki-laki lagi. Cukup dulu, sekarang tidak lagi." Ucap perempuan itu serius. Oma Shinta menghembus nafasnya pelan.

"Nak, memang menikah bukan kewajiban di agama kita, tapi apa kamu tidak berpikir untuk menghabiskan waktu dengan orang yang kamu cinta? Menua bersama itu indah nak."

Grahita menatap Omanya kembali, "Tata hanya akan hidup dengan Oma. Itu lebih dari cukup."

Oma mencoba tersenyum, "Oma sudah menua nak. Kamu perlu teman hidup, bukannya Oma memaksa kamu menikah, tapi bukanlah lebih indah jika kamu bisa bersama dengan orang yang kamu cintai?"

Grahita tersenyum penuh makna. Apa lagi ini, ia sudah muak berurusan dengan laki-laki. Baginya laki-laki hanyalah manusia brengsek yang selalu menghancurkan perasaan perempuan walau mungkin banyak dari mereka di dunia yang menyalahkan statementnya, tapi mereka tidak pernah tahu di posisinya sehingga mereka tidak tahu rasanya di campakkan oleh orang tua sendiri, di khianati dan di telantarkan. Rasanya mencaci pun tak cukup. Apalagi ia pernah punya kenangan buruk dengan yang namanya laki-laki.

"Tata mau istirahat dulu Oma." Lantas Grahita berbaring dengan pelan dan tidur membelakangi sang Oma. Perasaannya kembali hancur kala di ingatkan tentang laki-laki. Entah dosa apa sehingga Grahita sangat sensitif dengan yang namanya laki-laki, cukup Dirga yang ia percaya sebatas teman, tak lebih dan lainnya, entah sampai kapan Grahita akan menghindar.

Grahita memejamkan matanya, rasanya sangat sulit sekali untuk membuka hatinya. Ia terlalu larut dalam sakit hati yang terlalu dalam hingga rasanya semua terasa salah di matanya.

*****

"Lagi apa?" Grahita yang sedang menatap taman rumah sakit lantas menoleh. Tatapan pertamanya jatuh pada laki-laki yang masih mengenakan seragam loreng. Terlihat tegas dan berwibawa. Walaupun Gandhi tak memiliki kulit putih tetapi Gandhi cukup tampan untuk seukuran laki-laki Indonesia. Begitu Grahita lihat, tapi Grahita tak tertarik.

"Hari ini saya dapat piket tapi sore trus pagi sampai siang ini free. Akhirnya saya memilih kesini." Jelas laki-laki itu tanpa Grahita meminta.

Grahita diam, memilih menatap pancuran di bawah pohon rindang taman rumah sakit. Sedikit demi sedikit Gandhi bisa mempelajari watak Grahita yang keras kepala, cuek, judes dan angkuh. Namun hal itu justru membuat Gandhi tertarik pada perempuan di sampingnya itu, entah mengapa ia juga tak tahu.

Gandhi selalu kepikiran dengan Grahita, perempuan yang irit bicara dengannya itu, perempuan yang ia tabrak sehingga ia bisa mengenal Grahita lebih dekat. Grahita yang amat cuek tapi Gandhi justru ingin mengenal lebih. Tak pernah ia sekepo ini dengan perempuan. Terakhir kali Gandhi merasakan asmara ketika menjadi taruna, tetapi kandas karena sang pacar tak tahan dengan yang namanya LDR. Setelah itu, Gandhi lebih memilih fokus dengan karir ketimbang percintaannya.

"Suka lihat air mancur ya?" Kembali Gandhi mengajak Grahita berbicara karena Grahita tak kunjung merespon ucapannya itu. Gandhi meringis pelan, ia tak pernah se agresif itu dengan perempuan dan ini pertama kalinya.

Grahita menghembuskan nafasnya pelan, "Tidak," Jawabnya pelan.

"Lalu? Kenapa kamu lebih memilih melihat air mancur ketimbang merespon ucapan saya?"

Grahita menoleh cepat ke arah Gandhi, "Apa penting? Maksud saya apa setiap ucapan harus di respon seperti tanya jawab?" Grahita menatap Gandhi tanpa ekspresi yang justru menambah kesan jutek yang mendalam bagi perempuan itu.

Gandhi tersenyum tipis, Grahita memang bukan sembarang perempuan dan cukup jengkel juga jika berbicara dengan perempuan itu. Tapi Gandhi tak menyerah, ia sudah terlalu penasaran dengan sosok Grahita yang akhir-akhir ini menyita perhatiannya itu. Latihan di hutan dengan di atas kekuatan manusia bisa dengan mudah ia lakoni, apalagi ini mengulik pribadi seorang perempuan berdarah campuran itu.

"Tidak, tapi kamu cukup unik di mata saya. Kamu memandang saya seperti memandang pecundang yang kerap kali menyakiti kamu, mungkin." Ucapan Gandhi membuat Grahita menyipitkan matanya menatap laki-laki yang seakan-akan tahu tentangnya, tetapi nyatanya ia benar, Grahita menatap laki-laki semuanya sama, ia menatapnya dengan perasaan benci, minus Dirga yang ia sudah kenal sejak dulu kala, selain itu, hanya tatapan benci dan datar.

Grahita ikut tersenyum tipis, kemudian menatap menundukkan badannya sejenak dan kembali tegap lagi menatap ke depan. "Saya nggak tau kenapa ada orang baru tetapi seakan mengenal saya puluhan tahun."

"Kamu unik nona." Grahita kembali terkekeh, entah mengapa ia lebih mudah tersenyum tipis dan terkekeh dengan Gandhi yang notabene ia tak kenal. Apalagi laki-laki itu terlihat ngebet ingin mendekati dirinya, dalam artian ingin berbicara dan mengetahui satu sama lain di saat Grahita sudah tidak percaya dengan yang namanya laki-laki.

"Saya bukan barang yang memiliki nilai estetik yang unik." Ujar perempuan itu pelan.

"Saya nggak tahu dengan anda yang sepertinya tertarik berbicara dengan saya ini. Apalagi setiap hari anda datang hanya untuk lihat keadaan saya yang bisa saja anda tanyakan lewat via whatsapp. Tetapi saya nggak tahu kenapa anda bisa meluangkan waktu hanya ingin melihat keadaan orang yang tak begitu penting. " Ucapan perempuan itu justru membuat Gandhi tersenyum kecil. Secara terang-terangan Grahita tak nyaman dan terganggu, tapi Gandhi mana peduli. Hal itu membuat Gandhi semakin di buat penasaran dengan sosok perempuan judes dimana banyak laki-laki yang akan menghindarinya.

"I don't know but i feel that i interested with you. Kamu boleh bilang saya aneh, ngaco atau gimana, silahkan."

Grahita tertawa kecil, "Anda aneh." Ucap Grahita kemudian. Namun Gandhi tak tersinggung sedikitpun.

Grahita memilih bangkit dari duduknya. Ia sudah bisa berjalan dengan baik setelah kakinya yang sempat agak bengkak kemarin. Namun tangannya masih butuh pengobatan sehingga masih di perban.

"Saya bantu?" Tawar Gandhi. Grahita menggeleng, "Yang sakit bukan kaki saya,"

Gandhi tersenyum tipis di belakang Grahita. Laki-laki itu kembali tertarik dengan Grahita. Entah demit mana yang membuat Gandhi penasaran setengah mati hingga mengorbankan kesangarannya hanya demi seorang perempuan yang tak ada anggun-anggunnya itu. Setidaknya Gandhi bisa bernafas lega ketika perempuan itu mau menanggapi ucapannya daripada kemarin-kemarin yang mengacuhkan setiap ucapannya itu.

Gandhi yakin jika ada sesuatu yang membuat Grahita seperti itu. Tatapan matanya yang tajam mengandung banyak makna tetapi Gandhi tak mau berspekulasi lebih dalam lagi. Intinya ia tertarik dengan Grahita. Perasaan tertarik itu membuat Gandhi nekat dan tak malu untuk mendekati Grahita yang jelas-jelas menolak dan judes dengannya itu. Rasa penasaran Gandhi yang begitu tinggi membuat laki-laki itu seakan tak tahu malu dengan kecuekan sikap Grahita pada dirinya itu.

.
.
.

Samira : Angin

Sebenarnya ada banyak ide cerita tapi mau eksekusi satu-satu dan ini malah lagi ngadat idenya, mon maap yap kalau terkesan memaksakan🙈

Aksara Dan SuaraWhere stories live. Discover now