"Terima kasih," Ucap Gandhi. Kemudian laki-laki tinggi itu keluar dari kamar inap Grahit dengan langkah panjang yang terkesan terburu-buru.

"Lu nggak papa Ta? Ada yang sakit?"
Grahita menggeleng, "Nggak papa kok,"

Kemudian dokter yang menangani Grahita datang. "Permisi, saya dokter Hanum, dokter yang menangani Anda tadi. Gimana ada yang dikeluhkan?"

"Ini dok, kenapa tangan kiri saya di perban? Patah ya?" Tanya Grahita pelan.

"Bukan patah, tapi retak, cukup di perban dan pemulihan tulang. Setelah itu bisa sembuh, tapi jangan bawa berat dulu ya, soalnya masih tahap pemilihan. Dan kakinya mengalami pembengkakan sehinggga saya sarankan untuk opname lebih lama untuk memantau tulang Anda yang retak." Jelas dokter Hanum dengan baik.

"Baiklah, saya permisi dulu, jika ada apa-apa silahkan hubungi kami dengan cepat. Semoga cepat embuh ya." Lalu dokter Hanum tersenyum dan pamit pada Grahita dan yang lain.

"Kok kamu bisa gini Ta? Kenapa?" Tanya sang Oma.

Grahita lantas melirik Dirga, "Ceritanya panjang Oma. Intinya aku yang nggak liat pas lagi nyebrang, Tiba-tiba aja tubuh Tata udah melayang."

"Syukurlah kamu nggak terlalu serius lukanya. Oma sampai khawatir nak."

Grahita tersenyum lemah, "Maaf Oma, Tata udah buat Oma khawatir."

"Ck! Nggak lah. Ini musibah dan nggak ada yang patut di salahkan." Ujar Oma Shinta bijak. Lalu Oma Shinta mengambil kursi di sebelah tempat tidur Grahita.

Lalu Dirga mendekat ke arah Grahita. "Sementara ini lo nggak usah kerja dulu. Fokus sama penyembuhan lo." Ucap Dirga. Grahita lantas mengangguk dan berbaring lagi. Badannya masih terasa sangat sakit.

"Tadi yang nabrak kamu, nak?" Grahita mengangguk.
Oma menghela nafasnya pelan, lalu mengusap dahi Grahita dengan lembut. Lantas tangan kanannya menyentuh pelan tangan Grahita yang di infus di sebelah kanan karena tangan kirinya yang retak. Di sela-sela itu Grahita tersenyum tipis kepada Oma yang setia merawatnya sedari kecil, beliaulah yang selalu mengulurkan tangannya disaat semuanya lepas tangan dan tak peduli dengannya.

*****

Grahita menoleh ketika pintu kamarnya seperti di buka. Laki-laki yang menabraknya kini berdiri menjulang di sana dengan membawa satu kantong plastik berwarna putih.

"Permisi," Lalu Gandhi meletakkan kantong plastik di nakas kamar inap Grahita.

Gandhi tersenyum canggung ke arah Grahita yang malah terlihat sedikit aneh di mata Grahita. Namun tak ayal Grahita ikut tersenyum tipis.

"Masih sakit?" Tanya Gandhi pada Grahita.

"Sudah lumayan tidak nyeri lagi." Jawab gadis itu singkat. Lantas Gandhi mengangguk. Grahita membatin karena Gandhi tidak menggunakan seragam dinasnya hari ini.

"Maaf saya telat datang kemari, saya tadi pulang dulu." Jelas laki-laki itu tanpa di tanya sekaligus menjawab batinan Grahita.

"Oh ya ini, saya bawakan makanan, di makan ya nanti." Gandhi menengok ke arah bungkusan di nakas, Grahita mengangguk.

Lantas Gandhi merasa agak canggung dengan Grahita yang terlihat lebih banyak diamnya. Tak berkata banyak dan cukup menjawab dengan secukupnya saja.

Lalu pikiran Gandhi tertuju ke arah untuk memilih keluar saja, namun sebelum keluar, Grahita mengangkat bicara, "Terima kasih sudah bertanggung jawab sepenuhnya. Anda tidak perlu datang kemari jika sibuk. Saya sudah tidak apa-apa." Grahita  tersenyum walau tipis untuk pertama kalinya pada Gandhi yang mematung di tempatnya. Lantas Gandhi tersenyum kagok dan memilih pamit ke Grahita. Selama ini Gandhi hanya melihat wajah lempeng Grahita.

Aksara Dan SuaraWo Geschichten leben. Entdecke jetzt