Bab 23. Barang Bukti

Mulai dari awal
                                    

"Kau tidak boleh terlalu emosi!" Eric mengingatkan sembari memijat ringan bahu kakak perempuannya yang terasa kaku. "Ingat kesehatanmu!"

Eve menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan. "Maaf!" ucapnya sembari menepuk ringan satu punggung tangan Eric yang masih berada di bahunya. "Masalah ini membuatku sangat emosi. Perkelahian tadi malam bisa mengancam masa depan Jae Yong dan masa depan mereka sendiri. Bagaimana jika ada seseorang yang tewas dalam perkelahian mereka?" tanyanya.

Sebuah jeda pendek tercipta. Pandangan Eve kembali tertuju ke memar merah di leher Jae Yong. "Kalian benar-benar membuatku khawatir!"

Jae Yong langsung menegakkan punggungnya. "Ini kali terakhir aku berkelahi. Pergilah untuk pengobatanmu tanpa rasa khawatir karena aku ..." jeda pendek, tatapannya beralih dari Eric ke Sam secara bergantian, "kami akan baik-baik saja di sini. Jangan mencemaskan kami. Kau harus memusatkan perhatian untuk kesembuhanmu sendiri."

Tidak ada jawaban. Eve hanya mengembuskan napas keras mendengarnya.

"Aku laki-laki." Jae Yong melanjutkan, diakhiri dengan senyum simpul menenangkan. "Wajar bagi kami untuk berkelahi." Ia mengangkat bahunya, tak acuh. "Terlebih jika hal itu untuk membela diri atau membela orang yang kami sayangi."

Eve terdiam lama hingga akhirnya mengangguk, mengerti. "Maaf karena aku selalu memperlakukan orang-orang di dekatku seperti anak-anak," ucapnya. Ia kembali menepuk pelan punggung tangan Jae Yong. "Karena kebiasan itu juga aku memperlakukanmu seperti anak-anak. Maafkan aku, Jae Yong!"

Jae Yong tersenyum lebar sembari menggelengkan kepala. "Aku tidak keberatan untuk terus diperlakukan seperti anak-anak, jika hal itu bisa membuatku terus mendapatkan kasih sayang dari kalian semua."

Ia tertunduk, terlihat malu dengan ucapannya sendiri. Jae Yong tidak mau jika keluarga angkatnya mengira ia mengatakan hal itu karena kekayaan Keluarga Lee. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Maaf jika aku terdengar egois!"

Sam tertawa keras hingga membuat Daniel terkejut dan menjatuhkan es krimnya. "Jika kakak perempuanku menganggapmu sebagai putranya, itu berarti aku pamanmu, bukan?"

Ruangan pun menjadi hening. Secara spontan Eric menatap lekat Jae Yong. Ia sengaja memasang pose berpikir. "Tidak bisakah kau menganggapnya sebagai adikmu?" Pertanyaan itu dilontarkan kepada Eve. "Aku terlalu muda untuk dipanggil 'Paman' oleh anak ini," sambungnya.

Ia menjeda, masih menatap lekat Jae Yong yang tersenyum kering dibawah tatapannya. Eric lalu mengangkat bahu dan berkata, "Tapi siapa yang bisa menolak keponakan tampan dan manis sepertinya?"

Sam dan Daniel mengangkat tinggi tangan kanan mereka sembari bicara kompak, "Aku setuju!"

Tawa pun kembali terdengar di dalam ruangan itu. Jae Yong hanya bisa tersenyum, walau dalam hati ia sangat bersyukur karena Tuhan mengirimnya keluarga baru. Sebuah keluarga yang mungkin tidak sempurna, tapi di sana ia mendapatkan kasih sayang yang bahkan tidak bisa diberikan oleh keluarga kandungnya.

Tatapan Jae Yong beralih keluar jendela. Di luar, langit terlihat mendung. Sebentar lagi pasti turun hujan, pikirnya. Pikiran Jae Yong berkelana. Ia mulai bertanya-tanya; bagaimana jika suatu hari keluarga kandungnya kembali untuk mencarinya?

Tersenyum pahit, Jae Yong berusaha mengenyahkan pemikiran konyol itu. Jika mereka akan mencarinya, bukankah seharusnya sejak lama mereka melakukannya?

Benar, seharusnya sejak lama mereka melakukannya. Bukan saat ini atau nanti, pikirnya.

.

.

.

Di tempat lain, Jung Woo terlihat sibuk membereskan masalah Jae Yong yang sudah sampai di meja kepala sekolah tempat remaja itu sekolah. Tentu saja laporan yang dibumbui kebohongan itu disampaikan oleh keluarga pelaku kepada kepala sekolah dengan maksud agar Jae Yong dikeluarkan dari sekolah.

Jung Woo duduk di ruang tamu kepala sekolah SMA Hwang. Ia duduk tenang di sana, sementara sang kepala sekolah yang tahun ini berusia lima puluh empat tahun menyodorkan berkas laporan di atas meja kepada Jung Woo.

"Saksi memberatkan Jae Yong," kata kepala sekolah. Pria itu menggelengkan kepala lalu menyesap teh hangatnya, pelan sementara Jung Woo mulai membaca berkas di tangannya dengan saksama. "Mereka kompak mengatakan jika Jae Yong yang memulai perkelahian itu," tambahnya. "Pak Kim mendesakku untuk menjatuhkan hukuman berat kepada Jae Yong."

"Dengan mengeluarkannya?" tebak Jung Woo, tepat sasaran. Satu alisnya diangkat naik saat kepala sekolah menjawab dengan menganggukkan kepala.

"Aku tidak bisa percaya begitu saja dengan laporan yang diberikan oleh Pak Kim kepadaku mengingat sikap Jae Yong selama ini," aku kepala sekolah, jujur. Dia meletakkan cangkir tehnya di atas meja. Ekspresinya sangat serius saat berkata, "Namun, Jae Yong memerlukan bukti sangat kuat untuk membebaskannya dari hukuman itu. Dia bisa keluar dari jeratan hokum atas jaminamu, tapi hukuman dari pihak sekolah harus tetap ditegakkan, bagaimanapun hal ini menyangkut nama baik SMA Hwang."

Jung Woo menganggukkan kepala. "Aku mengerti," ucapnya sembari meletakkan kembali berkas itu di atas meja. "Karena itu aku sedang mencari barang bukti untuk membebaskan Jae Yong dari tuduhan itu."

Ia menjeda. Keningnya ditekuk dalam. "Pak Kim pasti menekan para saksi," ucapnya, yakin. "Tolong beri aku waktu beberapa hari untuk mendapatkan bukti itu," pintanya. "Akan sangat tidak adil jika Jae Yong dikeluarkan dari sekolah karena membela diri."

Jung Woo kembali menjeda. Ia menegakkan punggungnya. "Aku tahu jika Jae Yong tetap salah karena terlibat dalam perkelahian, tapi kita tidak bisa mengabaikan alasannya berkelahi, bukan? Dia bisa saja mati jika tidak membela diri malam itu."

"Aku mengerti," jawab kepala sekolah. "Karena itu aku memberimu waktu tiga hari untuk mendapatkan barang bukti itu," tegasnya. "Kau sudah mulai bergerak untuk mendapatkan barang bukti itu, bukan?"

Jung Woo menganggukkan kepala. "Seharusnya barang bukti itu bisa aku terima siang ini," jawabnya diakhiri senyum tipis.

"Bagus," kata kepala sekolah. "Semakin cepat kau mendapatkan bukti itu, akan semakin baik karena aku yakin hari Senin besok Pak Kim akan datang ke kantorku."

Kepala sekolah mengangkat kedua tangannya ke udara. "Apa kau bisa menyelamatkanku dari mulut berbisanya saat itu?"

Jung Woo terkekeh pelan dan menjawab, "Sepertinya bisa."

"Camkan kata-katamu!" tekan kepala sekolah. "Karena aku akan menghajarmu jika kau tidak bisa melakukannya, Kim Jung Woo!"

Jung Woo terkekeh. "Bukankah marga kami sama, Paman? Dia juga bermarga Kim, bukan?" oloknya.

"Ya, tapi Kim menyebalkan." Kepala sekolah mengibaskan tangan di depan wajah. "Aku menunggumu di sekolah Hari Senin besok. Pastikan kau datang dengan barang bukti!"

"Aku mengerti, Paman! Aku akan melempar barang bukti itu di depan wajah Pak Kim."

"Pastikan kau melakukannya atau aku yang akan melemparmu dengan meja kerjaku!" ancam kepala sekolah, serius. Ia mendengkus saat Jung Woo tertawa keras. "Sebentar lagi ada pertandingan basket antar sekolah. Aku tidak mau kehilangan salah satu pemain terbaikku karena kasus ini. Pertandingan ini akan disiarkan secara nasional. Jae Yong bisa terkenal dan dilirik oleh universitas ternama. Kau mengerti maksudku, kan?"

Jung Woo mngerutkan kening. "Paman akan memainkan Jae Yong? Dia sudah kelas tiga," ucapnya, terdengar seperti protes.

"Kenapa aku tidak boleh memainkannya?" Kepala sekolah balik bertanya. "Apa dia harus terus belajar hanya karena sudah kelas tiga?"

"Bukankah Paman tadi mengungkit universitas ternama?"

"Ya, tapi bukan berarti Jae Yong harus terus belajar tanpa jeda," jawab kepala sekolah. "Entahlah, aku merasa sistem belajar di Negara kita terlalu menekan murid." Ia menggelengkan kepala. "Aku sudah kehilangan lebih dari sepuluh muridku karena bunuh diri, Woo. Aku tidak mau kehilangan satu orang lagi," terangnya, sedih.

.

.

.

TBC

TAMAT - Lavender DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang