Failentine [3]

29 7 1
                                    

Hari Valentine. Aku melihat toko-toko cokelat di Brooklyn dipenuhi oleh sejumlah pasangan berbahagia. Aku panas melihatnya. Astaga, mengapa aku mendadak jadi teringat pernikahanku yang gagal sepuluh tahun silam?

Kasihan diriku. Sudah batal nikah, pun sekarang harus menjadi tidak nyata di tengah-tengah kehidupan.

Manu sudah ada di sana ketika aku sampai di Jembatan Brooklyn. Ia tersenyum melihatku. Astaga. Ia tampan sekali dengan mantel hitamnya.

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku langsung. Tanpa aba-aba, Manu langsung menarik tanganku berjalan.

"Hey!" protesku. Aku ingin menarik tanganku, namun Manu mengunci tanganku erat-erat. "Kita mau kemana?"

"Ke Kings County." aku mengerutkan dahi mendengar jawabannya. Kings County adalah nama rumah sakit jiwa di Brooklyn.

"Mau ngapain?" tanyaku.

Manu menghentikan langkahnya dan menghadapku. "Karena kau tidak terlihat, jadi mudah untukmu mengambilnya."

"Mengambil apa?"

"Liontin."

"Jadi ini alasanmu menyuruhku ke sini?"

Manu mengangguk dan kembali menarikku berjalan. "Dan kita tidak punya banyak waktu."

"Memang ada apa dengan liontin itu?" tanyaku.

"Kau sadar hari ini Valentine? Ini hari yang spesial," kata Manu. "Aku ingin mengambil kembali liontin istriku yang dicuri oleh...salah satu pasien di sana."

Manu mencegat taksi dan membukakan pintunya untukku. Kami berkendara ke arah Manhattan menuju Kings County.

"Kau sudah menikah?" tanyaku. Manu mengangguk.

"Sebenarnya...bukan pernikahan secara resmi. Pernikahan resmiku batal diadakan karena kematian istriku, Rebecca. Tapi, aku tetap bangga menyebutnya istriku. Dan hari ini adalah dua puluh tahun gagalnya pernikahanku," jelasnya.

Aku mengangguk. "Aku mengerti mengapa hari Valentine begitu spesial untukmu. Beruntungnya kamu."

"Beruntung?"

"Aku tidak suka hari Valentine. Aku tidak suka melihat orang-orang bahagia karena cinta," aku menunduk.

"Boleh aku tahu kenapa?" tanya Manu iba.

Aku menggeleng, mengusap air mataku yang entah bagaimana sudah ada di pipiku. "Maaf. Lupakan saja."

Hah, aku tidak mungkin memberitahunya. Aku baru mengenalnya kemarin.

Kami sampai di Kings County. Tanpa memberiku kesempatan untuk menikmati bangunan rumah sakit ini, Manu langsung menarikku menyusuri lorong rumah sakit menuju sebuah lorong remang-remang yang dijaga ketat oleh dua perawat.

"Ini adalah lorong penyakit kejiwaan lanjutan," kata Manu. "Bangsal 216. Aku ingin kau mengambil liontinku dari sana."

"Bagaimana aku melakukannya?" aku menatap dua perawat itu dengan bimbang. Manu menaikkan sebelah alisnya.

"Kau tidak terlihat, bukan?" pertanyaan itu menghantam kepalaku. Astaga, kebiasaan. Terkadang aku lupa dengan eksistensiku di dunia ini.

"Aku akan menunggumu di Jembatan Brooklyn. Selamat bekerja!"

Aku menahan tangan Manu. "Tidak bisa secepat itu!"

Manu menoleh kembali. "Apalagi? Misimu kurang jelas?"

"Kau tidak bisa memintaku seenak itu. Aku butuh imbalan."

Ada perubahan pada sorot mata Manu. Sorot matanya jadi teduh. Ia mendekatiku. Tangannya menggengam lenganku dengan lembut. Bibir indahnya sangat dekat denganku.

"Aku akan menguak misteri hilangnya eksistensimu di dunia ini," kata Manu. Aku mengerutkan dahi.

"Bagaimana bisa?"

"Percaya saja padaku," Manu menyelipkan sehelai rambutku ke telingaku, lalu berbalik pergi. Meninggalkanku dengan penuh tanya.

FailentineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang