Failentine [1]

42 7 0
                                    

Malam Valentine, aku duduk di balkon apartemen Stacy memandangi kota Manhattan yang ramai. Uh, aku benci malam ini.

Hai, namaku Ariana. Aku tinggal di apartemen Stacy di Manhattan, New York tanpa cewek itu ketahui.

Ya, Stacy tidak bisa melihatku di apartemennya. Aku ini tidak nyata. Aku hidup di relung fana. Saking tidak ada yang bisa melihatku, aku sampai pernah berkeliaran tanpa busana di Times Square.

Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku sudah hidup dalam ketidak-nyataan ini sejak sepuluh tahun yang lalu. Eksistensiku bahkan sudah hilang dari pohon keluargaku. Seolah mereka tidak pernah memilikiku.

Menjadi hantu? Tidak. Aku tidak ingat bagaimana aku mati. Aku yakin aku masih hidup. Sebab, aku masih bisa merasakan kebencian dalam diriku. Kebencian terhadap hari Valentine. Ya, sepuluh tahun silam, pernikahanku yang seharusnya diadakan saat hari Valentine batal. Kalian tahu darimana kebencian itu berasal.

Sehari setelah aku batal menikah, aku terbangun dari tidurku. Menyadari kalau semua orang sudah tidak bisa lagi melihatku. Seolah aku tidak pernah lahir di dunia ini. Foto-fotoku di ruang tengah hilang. Kamarku sudah menjadi gudang berdebu seolah tidak pernah dihuni selama bertahun-tahun. Adikku, Jessica, bahkan sampai menyebut dirinya sebagai anak tunggal.

Aneh, tapi aku tetap mencoba bertahan hidup. Bertahan hidup versiku tidak susah. Aku hanya perlu mengikuti orang-orang yang kusuka.

Ting-tong! Aku dikejutkan dengan bel pintu Stacy. Oh, cewek itu sudah pulang. Seperti biasa, ia tidak sendiri.

"Manu baby, kau ingin kubuatkan makan malam?" aku dengar suara Stacy memasuki ruang makan. Aku menutup pintu balkon dan mengekori Stacy yang menenteng banyak tas belanjaan.

Pria yang disebut Stacy sebagai Manu itu memasuki ruang makan. Aku tersedak melihat kehadirannya. Hal pertama dari dirinya yang langsung membuatku terpana adalah garis rahang dan kakinya yang panjang.

Juga bibirnya.

Wow, aku tidak percaya Stacy membawa pulang pria berumur 40 tahunan ke apartemennya. Kupikir dia hanya berselera pada cowok-cowok muda.

"Bagaimana kalau kita langsung saja?" Manu melingkarkan tangan di pinggul Stacy. Oh, oh, aku suka ini.

Tanpa babibu, Stacy langsung melepas blatzer-nya. Mendorong Manu ke sofa ruang tengah sembari melumat bibir seksi cowok itu.

Aku duduk di sofa lainnya, menonton Stacy menunjukkan kegarangannya di atas Manu. Tontonan favoritku tiap hari. Stacy memang suka membawa pulang cowok secara acak dari club tempat ia bekerja.

Manu terlihat gerah ingin membuka bra yang dikenakan Stacy. Namun sebelum ia melakukan itu, entah bagaimana, mata Manu mendarat ke tempatku.

Tatapannya berbeda. Bukan tatapan menerawang seolah aku ini tembus pandang.

Dia melihatku.

Dia bisa melihatku.

Dan Manu terlihat...syok?

FailentineWhere stories live. Discover now