Lavi menunduk, jari-jarinya menggenggam kotak susu yang kini terasa seperti benda paling berharga di dunia. Rasanya hangat. Aneh. Tapi juga... nyaman.
"Aku... makasih," bisik Lavi pelan, hampir tak terdengar.
Sing tersenyum lagi—kali ini lebih lebar, tapi tetap dalam batasan khasnya yang kalem. Ia melirik jam tangannya, lalu berdiri tegak. "Aku balik dulu ke kelas. Jangan lupa diminum, ya. Dia pasti senang lihat kamu senang."
Dan sebelum Lavi sempat bertanya lebih lanjut, Sing sudah berjalan menjauh, menyisakan aroma ringan dari parfum yang samar, dan ribuan pertanyaan yang berputar di benaknya.
Tidak pernah dalam mimpinya, Lavi membayangkan bahwa di perpustakaan, Sing—pangeran sekolah, kapten basket yang dikagumi itu—akan memperhatikannya, apalagi memberikan sesuatu dengan senyum hangat yang membuatnya melupakan semua rasa canggungnya.
Ada yang suka.
Kata-kata itu terus menggema di kepala Lavi, seolah enggan pergi. Jantungnya berdebar semakin kencang, membuat napasnya terasa berat. Ia mencoba fokus kembali pada halaman novel yang terbuka di depannya, tetapi pikirannya terus melayang-layang. Kenapa rasanya seperti ini? Apa yang sedang terjadi?
🦢🦢
Sing tertawa kecil, masih memikirkan pertemuannya dengan Lavi. Wajah gadis itu yang begitu gugup ketika ia menyodorkan susu UHT membuatnya tersenyum geli.
Langkah kakinya membawanya kembali ke lapangan basket indoor sekolah, tempat ia biasa melepas lelah. Suara pantulan bola basket yang mengisi ruangan terasa seperti musik di telinganya. Namun pandangannya segera tertuju pada tribun pemain, di mana seseorang duduk sendirian, wajahnya suram.
Marsheleon Kafka, atau Leo, duduk dengan wajah masam. Sing mendekati sahabatnya itu dengan seringai yang sudah biasa Leo lihat—dan benci.
"Jadi, Leo," kata Sing dengan nada santai namun penuh ejekan, "I thought that bookworm would do you some good—"
"Pergilah, Sing!" potong Leo cepat, laki-laki itu lantas membuang napas kasar.
Nada suara Leo tidak main-main. Meski demikian, Sing hanya mengangkat alis, tak terganggu sama sekali oleh sikap dingin sahabatnya itu. Sebaliknya, ia malah merasa semakin di atas angin.
"Ingat perjanjiannya, kan?" Sing menambahkan dengan nada santai namun penuh penekanan.
Leo merasa amarahnya naik seketika. Perjanjian bodoh itu! Leo benar-benar tak percaya ia membiarkan dirinya terseret dalam permainan konyol Sing. Kekalahan—apalagi dari Killian Sinclair, sahabat sekaligus rivalnya di lapangan basket—masih terasa menyakitkan. Sing memang punya kemampuan untuk membuat Leo kesal setengah mati.
"Goddamn it, Killian Sinclair," geram Leo, "Gara-gara kamu dan perjanjian bodoh itu...!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cache | Leo Xodiac
Fiksi Penggemar"Apa yang terjadi jika kita menghapus 'cache'?..."
Prolog
Mulai dari awal
