Note📝:
Sebelum kita mulai, perlu diingat bahwa ada beberapa umpatan dan bahasa kasar di dalam cerita ini. Jika kamu merasa tidak nyaman, silakan baca dengan bijak ✨
Happy reading~
---
Perpustakaan SMA Arven, yang biasanya tenang dan damai, seperti biasa dipenuhi aroma kertas dan debu. Rak-rak buku tinggi menjulang, menciptakan labirin tempat Lavi sering bersembunyi dari keramaian dunia luar. Di sinilah gadis itu merasa aman, terasing dari suara bising kantin dan tawa teman-temannya. Namun, hari ini, ketenangan itu buyar ketika suara seorang laki-laki memanggil namanya.
"Lavinia Estrella, kan?"
Suara itu membuat Lavi sedikit melonjak, memecah fokusnya yang sedang asyik membaca novel. Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia menoleh pelan ke arah sumber suara.
"I-iya?" jawab gadis itu terbata, bingung dan canggung. Ia sama sekali tidak menduga ada yang akan memanggilnya, apalagi di tempat seperti ini.
Lavi akhirnya menyadari sosok yang berdiri di sampingnya. Seorang laki-laki mengenakan vest abu-abu gelap berdiri di sana. Tangannya terulur, menyodorkan kotak susu UHT cokelat.
Killian Sinclair atau Sing—nama laki-laki itu—tampak sedikit terkejut melihat reaksi Lavi. Ia sadar dirinya membuat Lavi merasa tidak nyaman. Namun di dalam hatinya, ada keinginan untuk tertawa kecil melihat betapa lucu reaksi gadis itu. Sing berusaha menahan diri.
"Maaf kalau bikin kaget," ucap Sing pelan, suaranya rendah. "Ini buat Lavi, diminum saja."
"Bu-buat aku? Kenapa?" tanyanya hampir berbisik, suaranya lirih, hampir tenggelam di antara bunyi halaman buku yang dibalik di sekeliling mereka.
Sing hanya tersenyum kecil, senyum yang singkat namun hangat. "Iya, ada yang suka."
Deg.
Kata-kata itu menusuk ke dalam pikiran Lavi, membuat hatinya berdebar tak karuan. Apa tadi Sing bilang? Ada yang suka? Rasanya sulit untuk mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
Lavi membeku. Kalimat itu menggema di kepalanya, membentur-bentur dinding pikirannya yang belum siap menerima kejutan semacam ini. Matanya menatap kotak susu di tangannya, lalu beralih menatap Sing. "A-ada yang suka... sama aku?"
Sing tidak langsung menjawab. Ia menunduk sedikit, lalu mengusap tengkuknya, seolah sedang menahan sesuatu yang nyaris lolos dari bibirnya. "Iya. Dia bilang kamu beda."
"Laki-laki itu..." Lavi menelan ludah. "Siapa?"
Sing mengangkat bahu ringan, lalu menyandarkan tubuhnya pada rak buku. "Kalau aku kasih tahu sekarang, nggak seru dong."
"Lagian..." lanjutnya, kali ini menatap Lavi dengan mata yang teduh, "orang itu cuma pengin kamu tahu, kamu nggak seaneh yang kamu kira. Kamu dilihat. Diperhatikan. Dan... disukai. Itu aja."
