1. PERLAHAN MENGHILANG

672 136 27
                                    

Jasad itu menghilang, terkubur tanah perlahan-lahan

Yang terlupa terkadang, ujaran bisa memercikkan kematian

***

Surakarta, pagi menjelang siang

Perlahan-lahan, jasad mungil itu menghilang, terkubur tanah merah. Jasad seorang bayi perempuan. Manusia kecil yang baru berusia sebelas hari ketika jantungnya berhenti berdetak. Tak ada yang mengira ia akan pergi secepat itu, pun dengan cara yang tak biasa.

Doa-doa terus diperdengarkan. Para penggali telah mundur perlahan setelah meratakan tanah. Kini, Orang tua bayi itu, serta para kerabat mulai menaburkan bunga. Termasuk seorang gadis kecil berambut keriting yang ikut menabur bunga dari pinggir gundukan. Entah apa yang sedang ia pikirkan, tetapi matanya seolah terus menerawang.

Tanah merah telah tertutupi bunga, dan kalimat duka cita sudah berpuluh kali dikata. Berlalu waktu, hingga satu per satu pelayat pamit meninggalkan makam bertuliskan 'Kila Namira' itu. Kini, sang bayi sudah kembali ke tanah seperti yang Tuhan nyatakan. Mungkin, ia telah bercanda bersama-Nya. Bayi tak berdosa tentu tak pantas menginjakkan neraka.

Ibu sang bayi terduduk sambil meremas-remas ujung tunik hitam yang ia kenakan. Air mata terus menetas deras dari pelepuknya. Sungguh ia begitu terpukul. Tanya-tanya di kepala begitu cepat menguar di kepala. Mengapa bayi itu sudah pergi di saat nifasnya saja belum selesai? Mengapa ia harus ditinggal pergi? Mengapa semua ini harus terjadi? Mengapa yang tak kunjung terjawab sebabnya.

Seorang lelaki berambut cepak yang tak lain merangkul perempuan itu. Sang suami terlihat membisikkan kata-kata yang membuat tangis perempuan itu pecah. Lelaki itu memeluk istrinya erat-erat. Tidak ada orangtua yang ingin menyaksikan pemakaman anaknya, termasuk mereka berdua.

Perkuburan telah sepi. Menyisakan segelintir manusia yang tak lain keluarga dekat sang bayi. Anak perempuan berambut keriting tadi terdiam digendongan tantenya. Nama anak perempuan itu Kenar. Gadis kecil yang tadi pagi membuat seisi rumah gempar. Ia menutup wajah sang adik dengan bantal.

***

Rana adalah adik kandung Rio, ayah Kenar dan bayi nahas itu. Perempuan itu terkejut mendengar telepon sang kakak di pagi hari yang mengabarkan kematian keponakannya. Rana nggak pernah menyangka keponakan tersayangnya itu bisa berbuat tega pada sang adik. Rana yakin ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi.

Kenar tampak duduk di kasurnya ketika Rana datang. Wajahnya pucat pasi dan ia menggenggam boneka kelinci berwarna biru. Rana tidak tahu apa yang ada di benak Kenar. Ia memeluk keponakannya beberapa saat sebelum mengajak berganti baju. Ia pun mengajak Kenar duduk di dekat ibunya, ikut membaca doa selama jenazah sang adik disemayamkan. Rana mencoba menjaga jarak antara Kenar dengan sang ibu. Seperti yang sang ayah katakan, sang ibu begitu murka ketika mengetahui perbuatan putri pertamanya.

Telinga Rana tidaklah tuli untuk sekadar mendengar bisik-bisik tetangga. Tentang betapa kejamnya Kenar, betapa tidak becusnya sang orangtua mendidik anak, sampai betapa lengahnya pengawasan orangtua. Semua sudah berbumbu, dan ia hanya bisa mengepalkan tangan mendengar semua itu. Hal yang tidak pantas didengar, tetapi semakin ramai ia dengar ketika pemakaman selesai.

Malam ini, ada acara yasinan di rumah Kenar. Bapak-bapak berkumpul untuk berdoa bersama. Namun, Rana memutuskan agar Kenar di rumah Eyang saja, jauh dari hingar bingar tetangga. Sejak tadi siang, Kenar menolak untuk makan dan memilih tidur di kamar tantenya. Menjelang sore, barulah Rana membangunkan Kenar dan menyuruhnya mandi.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam saat Kenar duduk manis di sofa. Rumah Eyang sepi, semua ada di rumah Kenar. Kenar duduk sambil melihat-lihat Majalah Bobo terbitan zaman purb. Ia menunggu Rana memanaskan makanan. Tak lama, tantenya muncul dari dapur membawa dua buah piring berisi nasi, ayam kecap, dan tumis tempe dengan kacang panjang.

"Makanan sudah siap!" seru Rana. Kenar menutup majalah dan menaruhnya di meja. Ia kemudian menghampiri Rana yang duduk di meja makan. Uap nasi terlihat mengepul di udara.

"Kenar mau disuapin atau makan sendiri?"

"Sendiri aja," jawabnya. Rana menyodorkan piring putih berisi makan malam mereka. Kenar meraih sendok dan mulai menyuap makanan ke mulut mungilnya. Sejak pagi, belum ada yang masuk ke perutnya selain sekotak susu rasa pisang yang Rana berikan. Rasa aneh di dadanya merampas habis rasa laparnya tadi siang.

Keduanya makan dengan khusyuk. Biasanya, Kenar akan sesekali nyerocos soal apa pun. Bertanya soal bumbu dapur, kecap yang dipakai, atau hal lain yang ia lihat sebelumnya. Namun, kali ini Kenar memilih diam. Selepas makan,Rana mengajak Kenar ke kamar. Ia merasa begitu penasaran dengan pertanyaan yang terus bercokol di otaknya. Sejak kejadian nahas yang menimpa bayi itu, pertanyaan itu terus saja menyeru.

"Kenar, Kenar mau cerita sama Tante Rana, kenapa Kenar nutup muka Kila pakai bantal tadi pagi?" pertanyaan itu meluncur begitu saja tanpa bisa Rana kendalikan. Kenar mengentikan aktivitas membuka-buka majalah Bobo tantenya. Gadis mungil itu mengangkat kepala dan matanya mulai mengawang. Tak lama ia menatap sang tante dalam diam.

Bagaimana Kenar harus menceritakannya?

***

Semoga cerita ini bisa selesai, ya!

ossyfirstan

22/12/2020

DOSA DI BALIK BANTALDove le storie prendono vita. Scoprilo ora