[2] Kicau-kicau sengau

152 39 10
                                    

Beberapa puluh hari sebelum kematian Kila

"Kenar, sini dulu, Nak!" panggil Ibu dari dapur. Gadis kecil yang sejak tadi mewarnai di ruang keluarga itu menghentikan aktivitasnya. Ia berlari kecil menuju dapur

"Kenar, beliin Ibu garam, merica bubuk, sama kecap yang botol kecil, ya!" sahut Ibu begitu melihat Kenar berdiri di sampingnya.

"Di mana?"

"Di warung Bude Jumin aja. Bisa, kan?"

Gadis berambut keriting itu mengangguk.

"Coba ulangi beli apa?"

"Garam, merica sama kecap botolan yang kecil."

"Wah, pintar anak Ibu. Ini uangnya," sahut Ibu sambil menyerahkan selembar uang dua puluh ribu ke putrinya. Kenar memasukkan uang itu ke saku celana pendek bermotif stroberi ya ia kenakan. Tak lama, ia berlari menuju warung kecil yang hanya tiga rumah dari rumahnya.

Mata Kenar bergerak ke kanan-kiri, warung itu tampak kosong. Sesekali matanya tertuju pada boks es krim. Namun, ia ingat kalau Ibu nggak bilang kalau Kenar boleh beli es krim.

"Bude Jumin, tumbas!" serunya. Tak lama, seorang wanita usia empat puluhan dengan rambut yang digelung ke atas muncul. Ia tersenyum cerah, sama cerahnya dengan daster pink bunga-bunga yang dikenakan.

"Tumbas opo, Ndok?"

"Garam, merica, sama ... kecap. Kecapnya yang kecil," sahut Kenar. Di dalam hatinya ia merasa senang karena hapal bumbu-bumbu yang disebutkan Ibu tadi.

Bude Jumin tersenyum. Perempuan itu mengambil garam dan kecap dari lemari, juga menggunting satu sanchet merica bubuk yang tergantung di depannya.

"Mau masak apa ibunya?" tanyanya sambil memasukkan belanjaan Kenar ke plastik.

"Ndak tahu."

"Eh, perut ibumu sudah besar, ya? Adiknya mau lahir, dong sebentar lagi. Awas, lo! Kalau ada adik, ibunya nanti jadi ndak sayang lagi sama kamu," sahut Bude Jumin sambil menyerahkan plastik belanjaan dan uang kembalian pada Kenar.

"Kenapa?"

"Loh, kok kenapa. Kalau ada adik, ibumu kan jadi ngurusin adik terus. Gendong adik, tidur sama adik. Nanti kamu ndak diperhatikan," cerocos Bude Jumin. Kenar membatu mendengarnya. Melihat pembelinya membeku, Bude Jumin kembali bersuara,"Udah sana, nanti ditunggu ibumu belanjaannya. Makasih, ya!"

"Terima kasih, Bude."

Kenar kembali berjalan ke rumah. Kali ini, langkahnya terasa agak berat. Perkataan Bude Jumin terus mengalun di kepalanya.

Sesudah memberikan belanjaan dan sisa uang belanja pada Ibu, Kenar kembali ke ruang TV. Ia menatap kertas di depannya dengan gamang. Omongan Bude Jumin membuat Kenar mengingat-ingat ucapan serupa. Kenar ingat, waktu ia ikut Ibu mengantar tas pesanan ke rumah Tante Ara. Masih ada di kepala Kenar apa yang Tante Ara katanya kepadanya.

"Kalau Kenar punya adik, nanti sayangnya harus dibagi-bagi, loh. Mainan Kenar juga nanti dibagi-bagi. Makanya, puas-puasin jadi anak tunggal sekarang." Begitu perkataan Tante Ara saat itu. Ibu hanya tersenyum kala itu dan Kenar pun tak menanggapi ucapan teman Ibu itu.

Nggak hanya Tante Ara, Bulek Sri yang jualan sate keliling itu pernah bilang kalau Kenar nanti nggak disayang lagi kalau adiknya lahir.

"Waduh, Mbak Kenar mau punya adik. Wes, mengko ora digagas meneh karo ibu. Ibumu nanti sibuk urus adik baru," kata Bulek Sri sambil menuang bumbu kacang ke sepuluh tusuk sate yang Kenar pesan kala itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 01, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DOSA DI BALIK BANTALWhere stories live. Discover now