13

12.9K 689 54
                                    

Aku melewati Mas Danu yang berdiri di ambang pintu kemudian mengenyakkan diri di sofa, langsung bertingkah cuek dengan mengeluarkan hasil buruan dari supermarket tadi.

"Dari mana saja seharian?"

Aku masih kesal padanya, jadi aku menyahutnya dengan ketus. "Apa nggak lihat aku beli baju?! Kamu memberiku banyak uang, jadi aku membelanjakannya."

Ia mengacungkan kedua ibu jarinya ke udara. "Bagus. Kamu memang tidak bisa munafik."

Tentu aku tak terima dengan penghinaannya, tapi memilih bungkam. Lagian juga percuma menjelaskan. Persepsinya padaku telah telanjur negatif.

"Tapi aku tidak suka kamu pergi tanpa ijin."

Aku membalas tatapannya lalu menyentak napas, memberinya kode bahwa aku tak suka terus diganggu.

"Tadi kamu tidur."

"Tetap saja kamu harus ijin," sahutnya tak mau kalah. "Seharian aku di rumah, kamu malah keluyuran." Tatapnya tajam.

Aku beranjak bangun lalu menuju kamar, menghempaskan diri di kasur kemudian memejamkan mata.

"Aku sedang bicara, Li." Ia nengikutiku.

Aku juga tahu. Memangnya yang bicara setan? Akan tetapi aku tak suka perseteruan seperti ini. Aku memilih terus memejamkan mata tak peduli ia sesekali mengoceh dan mengembuskan napas keras-keras.

***

Aku terbangun dengan dada berdegup kencang. Sudah jam berapa ini? Kuusap mata karena silau matahari lantas menyingkap selimut. Mas Danu pasti sudah berangkat kerja.

Aku menatap jam yang telah menunjukkan pukul 8 dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum. Jantungku bertalu saat melihat Mas Danu sedang duduk santai di ruang makan, dihadapannya ada gelas kopi yang tinggal sedikit.

"Tumben nggak kerja," ucapku spontan saat ia menoleh. Ia mengerutkan kening.

Aku mengambil botol mineral di dalam kulkas, meneguknya cepat.

"Memangnya kenapa kalau aku tidak kerja? Yang penting kan aku selalu beri kamu uang."

Aku menyentak napas. Uang lagi. Uang lagi. Apa dikiranya aku benar-benar terobsesi dengan uangnya? Sudahlah. Tak guna meladeninya. Kuraih plastik transparan berisi terong ungu lalu mengambil ayam beku.

"Nanti sore ibu mau ke sini. Pura-puralah tak terjadi apa-apa."

"Ya."

"Aku akan membayarmu," imbuhnya.

"Nggak perlu. Aku sayang ibu."

"Tidak usah munafik. Tujuanmu menikahiku kan karena uang. Jadi, aku akan tetap membayarmu."

Dihina terus-menerus membuatku kesal juga. Aku membalas tatapannya dengan tajam lalu berlari ke kamar mandi, mengguyur tubuh sambil terisak. Begitu usai langsung menuju kamar dan mengganti baju.

"Mau ke mana?" Ia menatapku dari atas ke bawah. Kucueki.

"Aku sudah bilang ibu mau datang," katanya lagi.

"Aku pastikan sebelum ibu datang, aku sudah kembali, Mas!" Sambil menjawab ketus, aku meraih tas.

"Kamu tidak boleh pergi. Aku tidak ijinkan." Tangannya membentang menutupi pintu saat aku hendak lewat.

"Maumu apa sih, Mas?!"

"Jangan pergi. Bagaimana bisa kamu pergi ... astaga! Kamu bahkan tak membuatkanku sarapan."

"Kamu bisa membelinya di pasar."
Ia menyentak napas. "Aku lebih suka nasakanmu. Buatkan aku sarapan. Kubantu."

Aku nyaris tertawa saat mengingatnya memetik kangkung dengan kaku, namun mencoba menahannya agar tawaku tak meledak.

"Kenapa?" Ia mengernyit.

Aku menggeleng cepat.

"Kalau mau dibuatkan sarapan, jangan cerewet." Kuletakkan tas lalu menerobosnya. Ia segera mengikuti.

"Kamu ingin aku melakukan apa?"

"Terserah kamu." Aku mengambil terong lalu mengupasnya.

"Aku bantu ngupas bawangnya."

Aku tak menyahut. Ia segera meraih pisau dan plastik berisi bawang merah dan putih, duduk di lantai tak jauh dariku, kemudian mulai mengupas.

Aku mencuci ayam sambil sebentar-sebentar meliriknya. Mata Mas Danu terlihat berkaca-kaca, sesekali ia mengupas sambil memejamkan mata. Kalau tidak sanggup, kenapa terus melakukannya? Terlalu memaksakan kehendak.

"Sudah kukupas semua." Ia menyentak lamunanku. Tak ingin kepergok tengah memperhatikannya, segera kumasukkan ayam ke bumbu kuning dalam wajan yang telah mendidih. Kemudian menerima wadah berisi bawang darinya.

"Dua jam lagi, aku ada janji mau ketemu sama teman."

"Ya." Aku menjawab sekilas.
"Temani aku, karena dia juga bawa istrinya."

Aku meliriknya, dada berdebar menunggu lanjutan kalimatnya. Semoga, ia tak mengatakan akan membayarku.

"Mau tidak?"

"Ya."

Ia mengenyakkan diri di kursi, sesaat kemudian sibuk dengan HP-nya.

🌹 Beberapa part lagi, cerita ini akan kulanjut di KBM App, Teman. Cerita ini dulu pernah tamat di sini. Semua yang ngikutin cerita ini pada Februari 2020 kalau gak salah, semua baca sampai tamat. Jadi, cerita ini akan kutamatin di KBM App. Terpaksa Nikah, Dipaksa Nikah, Dilamar Dosen Killer bakal tamat di Wattpad (jangan lupa pantengin Karen kalau tertinggal cerita akan kuunpublish) Pokoknya yang kujanjiin tamat ya bakal tamat. Aku gak suka ingkari janji. Cerita ini dulu pernah kujanjiin tamat, jadi waktu itu, kutolak penerbit yang mau nerbitin cerita ini demi janjiku.

Naah, yang mau tetep baca cerita ini, silakan baca sampai tamat di Kbm Aap. KBM App bisa di download di google play (warna hijau) Setelah log in, ketik Suamiku Seperti Batu di pencarian lalu follow dan subcribe ceritanya biar gak tertinggal. Di Kbm Aap cerita ini udah part 13. Mau part 14.

 Mau part 14

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Suamiku Seperti BatuWhere stories live. Discover now